Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Ular Simbol Kejahatan itu Keliru dan Heru Gundul Hendak Meluruskannya
email: [email protected]
27 November 2019 13:56 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sore pekan lalu orang-orang berkumpul di halaman Taman Buah Karangrejo, Ngadirejo, Borobudur. Di tempat itu diadakan Festival Ular Indonesia. Tak hanya warga sekitar yang datang, bahkan tamu-tamu dari luar kota termasuk saya yang datang jauh-jauh dari Jogja.
ADVERTISEMENT
Festival Ular Indonesia diselenggarakan oleh Komunitas Sioux. Komunitas ini didirikan tahun 2003 dan salah satu pendirinya adalah Heru Gundul, host program TV Jejak Si Gundul.
Tyas, salah satu anggota Sioux, mengatakan salah satu tujuan dengan diselenggarakan acara ini adalah mengubah paradigma negatif tentang ular. Selama ini ular dikenal sebagai makhluk jahat di berbagai budaya dan agama.
“Secara ilmu pengetahuan, tidak ada ular yang berani menggigit manusia, kecuali kalau tersakiti terlebih dahulu. Sebagai respon dia menggigit. Habitat ular itu ada di mana-mana. Kenapa ular sering muncul di tempat tinggal manusia? Karena dia mencari makan. Salah satu makanan ular adalah tikus,” Kata Tyas memberi penjelasan kepada para peserta.
Dalam festival itu dipamerkan berbagai jenis ular yang habitatnya berada di wilayah Jogja dan Solo. Janu, anggota Sioux, mengatakan dari 30-40 jenis ular yang ditemukan di Jogja, Solo, dan sekitarnya, hanya sedikit yang berbisa. Ular-ular tersebut diantaranya : Ular Kobra, Ular Gibuk, Wular Welang, Ular Weling, Ular Pucuk, Ular Gadung Luwuk, dan Ular Cabe.
ADVERTISEMENT
Ular Weling biasa ditemukan di pinggir sungai yang kondisinya lembab, Ular Gebug, atau juga dikenal dengan nama “ranjau darat” hidup di semak-semak. Biasanya yang tergigit adalah orang yang tidak memakai alas kaki. “Dia itu detektor panas. Kalau kita pakai sepatu otomatis suhu tubuh kita teredam,” terang Janu.
Sementara Ular Pucuk biasa berdiam di atas pohon. “Pernah waktu di Magelang waktu saya rescue di rumah warga ditemukan 50 Ular Pucuk di pekarangan warga,” katanya.
Praktik Memegang Ular
Dalam acara itu hadir pula Heru Gundul. Dia mempraktikkan langsung cara penanganan bila bertemu ular baik yang berbisa maupun yang tidak berbisa. Untuk ular berbisa, dia mempraktikkannya dengan Ular King Kobra. Ular itu dilepas di hadapan para peserta acara yang mengelilingi Heru. Sesekali penonton berteriak takut karena ular menggeliat dengan cepat ke arah mereka. Sementara Heru berusaha menaklukkan ular tersebut dengan sebuah sapu ijuk.
ADVERTISEMENT
“Intinya hambat pergerakannya. Lalu tutup kepalanya. Kenapa kepalanya? Supaya dia tidak banyak bergerak dan menyerang kita. Setelah kepalanya terjepit, kita bisa pegang tengkuknya. Kalau sudah, jangan hadapkan ke orang sekitarnya. Tapi usahakan hadapkan ke bawah. Karena dia punya kemampuan untuk menyemburkan bisanya,” Jelas Heru sambil memperagakan apa yang diomonginnya itu dengan Ular King Kobra.
Setelah itu, gantian ular lainnya yang dikeluarkan. Kali ini Ular Piton berukuran besar. Ular itu langsung bergerak cepat ke arah penonton setelah Heru menyentuh ular itu dengan sepatunya. Untung saja panitia dengan sigap menangkap ekor ular itu. “Kalau menangkap ular besar, yang aman itu dua orang. Satu menggoda dari depan untuk mengalihkan perhatiannya, dan satu mengendalikan dari belakang,” Jelas Heru.
ADVERTISEMENT
Heru kemudian menawarkan seorang penonton untuk menjadi sukarelawan. Karena tak ada yang mengajukan diri, saya mengacungkan tangan dengan perasaan takut. Heru Gundul kemudian menyuruh saya maju dan seorang panitia memberikan pada saya sebuah kain karung besar.
Dengan gemetar, saya memegang kain karung itu, menjulurkannya di depan ular seperti seorang matador. Maksudnya adalah, saya akan menutup kepala ular itu dengan karung itu. Ternyata tidak semudah itu. Ular itu justru menghindari kain karung yang saya julurkan. sepertinya ia memang sudah mengincar saya sejak awal.
Sebisa mungkin saya tetap menutup pandangan ular itu dengan karung. Tapi sepertinya ular itu sudah hafal dan mencari celah untuk terus mengincar saya. Heru kemudian memberi perintah menaruh karung itu pelan-pelan untuk menutup kepala si ular itu. Tapi entah karena saya terlalu lambat menaruhnya, kepala ular itu selalu berontak.
ADVERTISEMENT
Akhirnya pada kesempatan yang kesekian saya dapat menutup kepala ular itu. Heru kemudian memerintahkan untuk mencari tengkuk kepala ular itu. setelah dapat saya pegang kepalanya dari luar dengan tangan kiri, lalu memasukkan tangan kanan saya ke bawah karung. Di sini saya merasa takut karena berarti tangan kanan saya akan memegang kepala ular secara langsung tanpa alas apapun. Tapi semua ini dilakukan dengan perintah Mas Gundul, jadi saya percaya saja.
Tangan kanan saya berhasil menggenggam tengkuk ular itu. Lalu Heru meminta saya untuk menaikkannya. Karena tidak bisa mencerna baik-baik perintahnya dan juga karena dipikir tugas saya sudah berakhir sampai di situ, saya melepaskan genggaman saya terhadap kepala ular begitu saja. Ini membuat Mas Gundul kaget, namun dengan sigap dia sudah bisa mengamankan kepala ular yang kembali bisa bergerak bebas itu. Karena kejadian itu saya harus digantikan dengan sukarelawan lain.
ADVERTISEMENT
Sukarelawan yang menggantikan saya bisa terus memegang tengkuk ular sampai ular itu melilit lengannya. Tapi apabila kepala sudah dalam genggaman, mudah untuk melepaskan lilitan itu.
Modal Nekat Keliling Indonesia Demi Ular
Heru Gundul sudah mengenal ular sejak kecil. Rumahnya dulu terletak di pinggir hutan. Ketemu ular merupakan hal yang biasa bagi dia. Namun waktu itu dia punya gambaran ular itu berbahaya. Jadi kalau bertemu ular Heru biasanya akan langsung membunuhnya.
Pandangan Heru tentang ular mulai berubah sejak SMP. Waktu itu dia menjadi ketua kelompok pramuka. Ada ular yang masuk ke tenda kelompoknya. Walaupun sebenarnya takut, sebagai ketua dia bertanggung jawab untuk mengusir ular itu keluar tenda. Kemudian dengan menggunakan jaket dan sarung tangan kulit, dia merogoh tas satu persatu dan akhirnya bisa menangkap ular itu.
ADVERTISEMENT
Heru hampir saja membunuh ular itu. Namun saat hendak membunuh, seorang kakak pembina menghampirinya dan memintanya untuk tidak membunuh ular itu. “Lepasin saja. Itu ular nggak apa-apa,” kata Heru menirukan ucapan kakak pembinanya.
Ucapan kakak pembinanya itu membuat Heru penasaran. Bagaimana bisa ular dibilang nggak apa-apa? Dia kemudian membawa ular itu ke pinggir sungai. Di sana ia tidak melepasnya, melainkan memasukkannya ke dalam kaus kaki dan kemudian mengikatnya. Setelah itu ia kembali ke kakak pembina.
“Kak, kok ular nggak apa-apa sih?”
Karena tidak bisa menjelaskan pada Heru, setelah kemah itu berakhir kakak pembinanya mengajaknya untuk bertemu Pak Zamzuri.
Waktu bertemu Pak Zamzuri, dia sedang mengisi materi tentang ular. Waktu itu Heru dipanggil maju ke depan audiens untuk membuktikan kalau digigit ular itu tidak apa-apa. Ular itu menggigit Heru dan tetap tidak apa-apa. Di situ Heru tambah penasaran.
ADVERTISEMENT
Setelah acara itu Heru selalu mengikuti Pak Zamzuri mengisi materi tentang ular. Dia-pun juga selalu datang ke rumahnya untuk bertanya segala hal tentang ular. Di samping dari Pak Zamzuri, Heru juga mencari buku-buku soal ular.
“Zaman segitu literatur belum banyak seperti sekarang mas. Saya cari buku-buku cuma ketemu satu, buku karangan Budi Suwono. Judulnya 10 ular berbisa di Jawa. Sebenarnya banyak buku berbahasa Inggris, tapi itu mahal. Jadi kita belajar otodidak,” jelas Heru.
Oleh karena itulah kemudian Pak Zamzuri mengajak Heru untuk lebih banyak berduskusi dan menulis materi baru. Dari situ Heru lebih terbakar semangatnya lagi belajar ular. Tak puas mengenal ular di Jawa karena sedikit menemukan spesies baru, ia nekat pergi ke Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi hanya untuk melihat keberagaman ular di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Modal saya cuma jempol mas. Karena saya bukan anak orang kaya, minta duit uangel e ra njamak. Akhirnya saya hanya backpacker-an. Nyegat truck, mobil pick up, bisa numpang ya numpang, kalau tidak bisa ya sudah. Minta makan sama orang yang kerja di kebun. Saya datangi dia, lalu bilang, ‘ada yang bisa saya bantu?’. Saya bantu orang, saya dapat makan,” ceritanya.
Selepas perjalanannya keliling Indonesia, Heru kembali ke Jogja. Di sana ia melihat ular dari aspek bisnis. “Waktu itu tahun 90-an. Kobra harganya 30.000. modal cuap-cuap, saya jual kobra yang saya tangkap dengan harga 15.000. Saya waktu itu jadi pembantai ular. Tiap hari saya bisa bantai 50 ekor.
"Tapi seiring waktu saya mulai berpikir. Ular kalau dibantai terus nanti apa tidak habis? Kalau ular habis, manusia sendiri yang rugi, sebab ular memiliki banyak sekali manfaat untuk menjaga ekosistem. Mulai dari situlah saya mulai ada niatan untuk konservasi. Tapi kemudian saya berpikir lagi, kalau paradigma masyarakat tidak dibenahi, konservasi-pun akan susah dilakukan,” jelas Heru.
ADVERTISEMENT
Paradigma yang dimaksud Heru adalah pola pikir masyarakat bahwa ular itu musuh manusia, berbahaya, dan mematikan. Bahkan dalam agama dan budaya masyarakat, ular dijadikan simbol sebagai makhluk jahat atau marabahaya. Karena itulah kemudian Heru mulai sering memberi pelatihan soal ular kepada masyarakat.
“Saya mulai dari lingkungan saya di pramuka dulu. Saya ajari mereka bahwa nggak semua ular itu berbahaya. Akhirnya dari mereka mulai banyak yang senang ular. Tahun 1997 kita mendirikan pramuka ular,” kenangnya.
Mulai dari sanalah kemudian Heru mengumpulkan teman-teman dekatnya sesama ular untuk bekerja sama mengenalkan ular di tengah masyarakat. Kemudian pada tahun 2003, dia mendirikan organisasi Sioux Indonesia. (Agam Shani Rasyid / YK-1)
ADVERTISEMENT