Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Ulasan 'The Social Dilemma' Bagian 1: Manusia sebagai Boneka Voodoo bagi Medsos
email: [email protected]
28 September 2020 19:02 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Film dokumenter terbaru keluaran Netflix: The Social Dilemma, menjadi perbincangan hangat di jagat maya belakangan ini. Segera seusai diluncurkan, film yang disutradarai oleh Jeff Orlowski ini langsung merangsek sebagai salah satu film di Netflix yang paling banyak ditonton. Pada pekan kemarin The Independent menulis, Social Dilemma masuk urutan 5 sebagai film di Netflix yang paling banyak di Inggris . Independent juga meyebut, The Social Dilemma sebagai film dokumenter paling penting di zaman kita.
ADVERTISEMENT
Film ini membongkar dampak-dampak negatif penggunaan media sosial, bagaimana sebenarnya secara mendasar ada yang keliru dengan cara kerja media sosial. Bahwa, teknologi yang bekerja dalam media sosial sudah sama sekali berbeda dengan teknologi yang sebelum-sebelumnya manusia gunakan, katakanlah sepeda, komputer sebelum era internet, atau bahkan teleskop terbaru NASA yang mampu melacak Alien.
“Teknologi sebelumnya hanya menunggu kita memakainya, lihatlah sepeda, dia diam dengan sabar sampai kita memakainya. Media sosial menuntut kita untuk terus menggunakannya. Ini sama sekali ekosistem teknologi yang berbeda,” demikian kata salah satu narasumber 'The Social Dilemma'.
Kekuatan film ini mampu mendorong banyak pengguna media sosial untuk segera menghapus aplikasi facebook dari gawai mereka.
Seperti apa sebenarnya media sosial mengubah hidup manusia modern dan membawa bahaya yang luar biasa bahkan kehancuran spesies manusia?. Ini adalah naskah pertama dari 5 serial yang akan mengupas film dokumenter Netflix The Social Dilemma.
ADVERTISEMENT
Mari kita mulai dengan Facebook di Myanmar.
Facebook di Myanmar
Masih ingat bagaimana pembersihan etnis Muslim Rohingnya yang begitu mengerikan itu?. Pembunuhan dan pemerkosaan massal, serta pembakaran seluruh tempat tinggal yang mengakibatkan terusirnya sekitar 700 ribu umat Muslim Rohingnya, ternyata tidak bisa dilepaskan dengan bagaimana informasi berkembang dan dikelola di negara itu.
Dalam film dokumenter The Social Dilemma, diceritakan bagaimana penduduk Myanmar sangat dekat dengan Facebook sampai Facebook menjadi sinonim dari kebenaran yang datang dari internet.
“Di Myanmar, saat orang memikirkan media massa, memikirkan internet, yang terpikir adalah Facebook,” kata Chyntia M. Wong, mantan Peneliti Internet Senior di Lembaga HAM dalam film tersebut.
Setiap orang yang membeli ponsel, penjual akan memasangkan aplikasi Facebook sekaligus membuatkan akun di ponsel barunya. Sehingga, hal pertama yang dilakukan oleh mereka dengan ponsel barunya adalah membuka Facebook.
ADVERTISEMENT
Hal itu dimanfaatkan pemerintahan junta militer Myanmar, dengan menjadikan media sosial, khususnya Facebook sebagai senjata untuk melakukan narasi-narasi propaganda. Militer dan pelaku kejahatan lainnya memanipulasi opini publik terhadap kaum Muslim Rohingnya sampai Facebook kewalahan mengatasi maraknya berita bohong dan ujaran kebencian di Myanmar.
Fitur yang dimiliki oleh Facebook memungkinkan pelaku propaganda semakin mudah untuk menyebarkan narasi manipulatif. Akibatnya, jurang polarisasi di tengah masyarakat menjadi semakin lebar dan dalam.
Narasi kebencian terhadap umat Muslim Rohingnya begitu mudah disebarkan, sehingga memicu kemarahan pihak-pihak tertentu terhadap umat Muslim Rohingnya. Maka, semua kejahatan yang dilakukan terhadap mereka dianggap wajar, bahkan memang mestinya seperti itu.
“Jika kita ingin mengendalikan populasi negaramu, tak pernah ada alat yang seefektif Facebook,” kata Roger McNamee, Early Investor Venture Capitalist Facebook.
ADVERTISEMENT
Tapi ini bukan hanya tentang Facebook. Ini adalah tentang bagaimana algoritma media sosial bekerja, merayu dan mengeksploitasi manusia, hingga bermuara pada hancurnya kehidupan manusia.
Jika Kau tak Membayar, Berarti Kaulah Produknya
Tidak bisa dipungkiri, sosial media telah memberikan banyak kemudahan untuk kita saat ini. Salah satunya adalah bisa membuat kita terhubung dan seolah menjadi sangat dekat dengan saudara, sahabat, atau kawan lama, yang ada di belahan dunia lain. Kita juga tidak bisa menampik fakta bahwa media sosial telah menciptakan sebuah keindahan yang menakjubkan dari relasi yang dimungkinkan oleh internet.
Tapi di sisi lain, media sosial turut berkontribusi besar dalam kasus pencurian data, kecanduan teknologi, berita palsu, juga polarisasi di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar orang mungkin berpikir bahwa Google hanyalah sebuah mesin pencarian, sementara Facebook, Instagram, Twitter, dan media sosial lainnya, sekadar tempat untuk melihat kabar terbaru teman-temannya.
Yang jarang disadari, perusahaan dan platform-platform tersebut selalu berlomba-lomba menarik perhatian pengguna. Mereka berlomba-lomba bagaimana supaya manusia bisa terpaku berjam-jam di depan layar sembari menggunakan platform mereka.
Banyak layanan di internet yang seolah gratis, namun sebenarnya tidak. Semua itu dibayar oleh pengiklan. Untuk apa pengiklan membayar layanan tersebut? Supaya iklan mereka bisa ditampilkan ke kita melalui layanan tersebut. Sederhananya, perusahaan teknologi, dalam hal ini media sosial, menjual perhatian penggunanya kepada pengiklan. Perhatian kita adalah produk yang dijual kepada pengiklan.
“Jika kau tidak membayar produknya, berarti kaulah produknya,” kata Aza Raskin, Co-Founder Center for Humane Technology yang juga pernah bekerja di Firefox & Mozilla Labs.
ADVERTISEMENT
Perubahan perlahan, kecil, dan tidak terlihat dalam persepsi dan perilaku kita, adalah produk yang dijual oleh perusahaan teknologi kepada pengiklan. Karena itu, mereka akan berlomba-lomba untuk mengubah perilaku, cara pikir, dan jati diri kita dengan sangat perlahan dan kecil sehingga tidak pernah kita sadari. Dan semua aktivitas kita di internet akan direkam, menjadi sebuah data yang berharga bagi bisnis mereka untuk menentukan prediksi bisnis yang tepat.
Memahami Algoritma Media Sosial Bekerja
Semua kegiatan yang kita lakukan di internet akan diawasi, direkam, dan diukur. Setiap tindakan yang kita lakukan direkam dan dipantau dengan hati-hati. Misalnya gambar yang kita lihat dan berapa lama kita melihatnya, konten seperti apa yang sering kita sukai, komentari, juga bagikan.
ADVERTISEMENT
Dari semua itu, perusahaan teknologi akan mengetahui kapan kita sedang senang, sedih, kesepian, depresi, bahkan tahu ketika kita sedang melihat foto mantan. Mereka tahu apa yang kita lakukan saat larut malam, mereka tahu semuanya, entah kita seorang ekstrovert maupun introvert.
Mereka tahu lebih banyak tentang kita, ketimbang yang pernah dibayangkan dalam sejarah manusia. Data-data itu akan digunakan untuk memprediksi konten seperti apa yang akan direkomendasikan ke kita, sehingga kita semakin betah menatap layar ponsel untuk menambah pundi-pundi uang mereka.
“Jadi, semua data yang kita berikan setiap saat, dimasukkan ke sistem yang nyaris tak diawasi manusia, yang terus membuat prediksi yang makin membaik tentang apa yang kita lakukan dan siapa kita,” kata Sandy Parakilas, mantan Manajer Operasi Facebook.
ADVERTISEMENT
Semua data yang diberikan akan digunakan untuk membuat model diri kita yang bisa memprediksi tindakan kita. Dan siapapun yang memiliki model terbaik, maka dia akan memenangkan persaingan.
Di balik layar yang setiap hari kita gulir, mereka memiliki semacam boneka voodoo yang menyerupai diri kita. Semua yang pernah kita lakukan, semua klik yang kita buat, semua video yang kita tonton, semua tombol like, semuanya akan diolah menjadi boneka voodoo yang terus berkembang hingga terus mendekati diri kita.
Mereka akan tahu ketika durasi kita dalam menggunakan media sosial lebih pendek dari biasanya. Dan itu kabar buruk bagi mereka, karena akan membuat iklan yang kita lihat menjadi semakin sedikit.
Maka mereka akan merekomendasikan hal-hal menarik sesuai dengan model diri kita yang mereka punya. Aktivitas teman atau keluarga kita, apa yang sedang dilakukan oleh orang yang kita suka, atau jenis video-video yang sering kita tonton. Dan, ponsel kita akan bergetar, layarnya akan menyala, menampilkan notifikasi tentang sesuatu yang mereka rekomendasikan.
ADVERTISEMENT
Dan secara refleks, jari kita akan menekan notifikasi itu. Kita kembali membuka aplikasi mereka, dan orang-orang di balik layar itu akan girang karena berhasil membuat kita kembali aktif menggunakan layanan mereka.
Celakanya, ketika mereka tahu umpan yang mereka berikan berhasil menarik kita, mereka akan terus memberikan umpan-umpan berikutnya sehingga tanpa sadar kita akan terpaku, hanya jari kita yang terus bergerak menggulir beranda sosial media kita.
Ada tiga tujuan utama di banyak perusahaan teknologi semacam ini. Ada tujuan untuk meningkatkan penggunaan agar terus menggulirkan layar. Ada tujuan pertumbuhan supaya kita kembali dan mengundang semakin banyak teman. Lalu ada tujuan iklan untuk memastikan bahwa seiring semua itu terjadi, mereka akan menghasilkan uang sebanyak mungkin dari iklan.
ADVERTISEMENT
“Masing-masing tujuan ini ditenagai oleh algoritma yang bertugas mencari tahu apa yang harus ditunjukkan agar jumlahnya terus naik,” kata Tristan Harris, mantan Desain Artistik Google yang sekarang menjadi Presiden Center for Humane Technology.
Mereka akan berusaha membuat kita merasa tidak nyaman, kesepian, takut, tak pasti, ketika kita tidak memegang gawai. Dan perangkat keras yang kita miliki, yakni otak, yang berusia jutaan tahun, dihadapkan dengan sebuah layar yang di baliknya ada ribuan teknisi dan super komputer yang punya tujuan berbeda dari tujuan kita.
“Jadi, siapa yang akan menang dalam hal itu? Siapa yang akan menang?” lanjutnya.
Bunuh Diri Remaja
Celakanya, teknologi ini tidak dirancang oleh psikolog anak yang berusaha melindungi dan mengasuh anak. Teknologi media sosial hanya didesain untuk algoritma yang mahir merekomendasikan video berikutnya untuk kita tonton atau membuat kita bisa berfoto dengan filter.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, media sosial tidak hanya mengendalikan perhatian kita. Media sosial terus menggali lebih dalam ke batang otak, mengambil alih harga diri dan identitas anak.
Anak-anak remaja dengan kondisi psikologis yang masih sangat labil, sangat mudah terpuruk hanya karena satu komentar negatif di unggahan foto di media sosialnya. Misalnya, telinga yang terlalu besar, kulit yang agak gelap, pipi yang tembem, semua itu akan sangat mudah membuat anak menjadi insecure.
Anak merasa dituntut untuk mengikuti standar kesempurnaan seperti yang ada di media sosial yang tidak realistis. Dimana standar itu diukur dengan ikon hati, suka, dan jempol. Hal itu dianggap menjadi sebuah kebenaran, padahal hal itu tidak lebih dari sekadar popularitas yang palsu dan rapuh yang hanya sesaat namun akan membuat kita kecanduan.
ADVERTISEMENT
Tidak ramahnya media sosial terhadap psikologis anak bisa dilihat dari data jumlah gadis remaja di AS yang harus dirawat di rumah sakit karena menyayat atau melukai diri sendiri. Sebelumnya, angka itu cukup stabil hingga sekitar tahun 2010/2011, lalu mulai naik pesat setelah itu.
Kasus yang dialami gadis remaja usia 15 sampai 19 tahun naik sekitar 62 persen, sedangkan kasus yang dialami gadis usia 10 sampai 14 tahun hingga 189 persen.
Lebih mengerikan lagi, angka bunuh diri yang dialami oleh remaja di AS juga mengalami kenaikan signifikan. Remaja usia 15 sampai 19 tahun naik sebesar 70 persen dibandingkan dekade pertama di abad ini, sedangkan kasus bunuh diri remaja usia 10 sampai 14 tahun naik sebesar 151 persen.
ADVERTISEMENT
Generasi Z, anak-anak yang lahir setelah tahun 1996, adalah generasi pertama dalam sejarah yang terjun ke media sosial di sekolah menengah. Bagaimana mereka menghabiskan waktu?
“Mereka pulang dari sekolah dan memakai gawai mereka. Seluruh generasi ini lebih cemas, rapuh, dan tertekan. Mereka kurang nyaman mengambil risiko,” kata Jonathan Haidt, seorang psikolog dari New York University Stern School of Business.
Hilangnya Kendali Manusia atas Teknologi
Algoritma yang dibuat oleh perusahaan teknologi tidak pernah obyektif. Algoritma dioptimalkan ke sebuah definisi kesuksesan. Jadi, bisa dibayangkan ketika sebuah perusahaan komersial membuat algoritma, tentu bertujuan untuk kepentingan komersial.
Sangat sedikit pengguna internet, juga media sosial, yang memahami bagaimana algoritma ini bekerja. Hingga kita nyaris kehilangan kendali atas sistem yang ada ini. Karena mereka mengendalikan informasi yang kita terima, akibatnya mereka mengendalikan kita melebihi kita mengendalikan mereka.
ADVERTISEMENT
Internet akan mempelajari terus menerus apa yang kita cari, sehingga dia akan semakin baik dalam merekomendasikan apa yang kita sukai. Ingat, yang kita sukai, bukan yang kita butuhkan.
Internet akan memberikan yang kita mau, alih-alih yang kita butuhkan. Kita hanya akan menerima informasi-informasi yang kita sukai dan kita mau saja, begitu juga dengan orang lain. Kita juga akan dihubungkan dengan orang-orang yang satu pemikiran dengan minat yang sama dengan kita saja.
Misalnya orang-orang yang menyukai hal-hal berbau teori konspirasi, maka algoritma akan merekomendasikan dia dengan orang-orang yang juga menyukai hal tersebut. Atau lebih jelas lagi akan terlihat pada masa-masa pemilu.
Jika kita mendukung calon A misalnya, maka algoritma akan menghubungkan kita dengan para pendukung calon A. Tak hanya itu, algoritma juga akan menyajikan berita-berita positif tentang calon A. Sebaliknya, berita-berita tentang calon lainnya yang direkomendasikan ke kita adalah berita-berita negatif. Hal itu akan menjadikan kita semakin fanatik dengan calon A, sebaliknya kita akan menjadi semakin benci dengan calon dan kelompok lainnya.
ADVERTISEMENT
Kita cenderung lebih waspada ketika teknologi mengalahkan kekuatan dan kecerdasan manusia sebab, hal itu akan membuat teknologi mengambil alih pekerjaan manusia. Tapi kita cenderung terlena saat teknologi menyentuh sesuatu yang sangat emosional, sehingga mampu melampaui batas kekuatan manusia dan menyentuh titik paling lemah spesies manusia. Batasan-batasan yang dilampaui ini berakar pada kecanduan, polarisasi, radikalisasi, memicu kemarahan, keangkuhan, dan semuanya.
“Ini akan mengalahkan sifat manusia, dan ini berarti sekakmat bagi kemanusiaan,” kata Tristan mantan Desain Artistik Google yang sekarang menjadi Presiden Center for Humane Technology.
Jika diringkas, semua fenomena ini tergambar dalam sebuah kalimat pembuka dalam The Social Dilemma.
“Nothing vast enters the life of mortals without acurse”. Tak ada hal besar yang memasuki kehidupan manusia tanpa kutukan. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT