Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Upaya Pemuda Kampung Serangan Jogja Meruntuhkan Stigma Kampung Hitam
email: [email protected]
4 Januari 2020 15:51 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gerimis belum reda sepenuhnya sejak sore, padahal jarum arloji di tangan sudah menunjukkan waktu tengah malam. Hawa dingin menyeruak, menembus jaket jins yang saya kenakan. Suasana seperti itu seharusnya sangat cocok untuk tidur, tapi karena mata tak mungkin semudah itu terpejam, saya putuskan untuk keluar dan mencari penghangat.
ADVERTISEMENT
Sebuah angkringan di bantaran kali Winongo menjadi tujuan saya. Kabar dari seorang kawan, di Kampung Serangan, Notoprajan, Ngampilan, Yogyakarta baru-baru ini telah dibuka taman kuliner yang buka sampai malam, namanya Riverside Winongo. Lokasinya hanya beberapa meter di sebelah barat Terminal Ngabean, persis di bantaran kali Winongo hanya sekiloan arah barat dari titik nol Malioboro Jogja.
Lampu kelap-kelip dengan beragam warna menghiasi sepanjang taman Wiranata, nama taman yang menjadi tempat berjualan Riverside Winongo. Gemericik air dari kali Winongo yang baru saja diguyur hujan memberikan terapi alami terhadap pikiran saya yang seharian tadi dibombardir hiruk pikuk kota.
Sejumlah pemuda duduk di sekitar gerobak angkringan, ada yang saling bersenda gurau, ada juga yang sedang asyik bermain game online. Karena baru saja diguyur hujan deras, tak banyak pengunjung yang ada di sana. Setelah memesan segelas jahe susu, sate ati, beberapa tahu bacem dan sate bakso saya memilih tempat duduk yang persis menghadap aliran kali Winongo. Di sebelah utara, jembatan Kali Winongo membuat malam saya semakin romantik.
ADVERTISEMENT
Pesanan saya datang, seorang pemuda yang saya taksir masih duduk di bangku SMA mengantarkan segelas jahe susu dan beberapa makanan yang saya pesan. Perlahan saya seruput jahe susu yang masih panas, kehangatannya menjalar ke sekujur tubuh saya. Malam yang lumayan.
Kampung Kafir di Perempatan Jalur Gaza
Sejak puluhan tahun lamanya Kampung Serangan, tempat saya menikmati segelas jahe susu ini, mendapat stigma buruk dari masyarakat. Kampung Serangan dikenal sebagai kandangnya para preman, pencopet, tukang begal, tukang mabuk, serta para begundal yang hobi rusuh.
“Sudah dari dulu, sudah puluhan tahun dari zaman almarhum ayah saya, Serangan itu terkenal dengan kampung hitam. Orang-orang enggak enak, pokoknya tempat tinggalnya di Serangan,” ujar Abdullah Lubis, Ketua Wiranata Saestu, sebuah organisasi pemuda Serangan, Sabtu (28/12) malam.
ADVERTISEMENT
Nyaris tak ada kegiatan kampung yang tak berujung kerusuhan. Lomba tujuhbelasan antar RT tawur, dangdutan tawur, malam Idul Adha dan Idul Fitri tawur, tahun baru, kampanye pemilu tawur, bahkan kadang tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba bisa saja tawur. Masalah sekecil apa pun selalu berpotensi mengakibatkan kerusuhan. Pokoknya, tawur sudah menjadi nama belakang Kampung Serangan.
Lawan tawuran juga bisa siapa saja, bisa antar RT, antar RW, antar kampung, antar simpatisan politik, atau bisa antar siapa saja yang berani nyenggol. Saking seringnya rusuh, bahkan ketika ada kerusuhan di dekat kampung Serangan, kampung hitam itu selalu menjadi pihak tertuduh.
“Jalan depan situ (perempatan Ngabean) kan terkenalnya Jalur Gaza, karena saking seringnya rusuh,” lanjut pemuda yang akrab disapa Dullah itu.
ADVERTISEMENT
Pada musim pemilu 1990-an, Dullah mengatakan ada isu yang menggemparkan masyarakat luas gegara kampungnya dituduh terlibat dalam kasus pembakaran musala. Gegara isu yang tak jelas kebenarannya itu, menurut Dullah, setiap pemilu Kampung Serangan kerap dicap sebagai kampung kafir.
Pernah juga ada kabar, seorang perempuan yang terkena gangguan jiwa dimandikan oleh para preman di situ lalu disetubuhi sampai hamil. Saya bergidik mendengar semua kengerian itu.
Sutra Fidana, bercerita bagaimana kelamnya kampung Serangan beberapa tahun silam. Dia mengatakan, setiap ada acara-acara besar, tawuran sudah menjadi tradisi wajib. Pernah suatu malam, ketika Idul Adha, Sutra tengah duduk santai di pinggir jalan. Tiba-tiba, dari arah jalan raya masuk beberapa orang polisi mengendarai sepeda motor trail dengan sesekali menembakkan pistol ke udara.
ADVERTISEMENT
Perasaan Sutra langsung tak enak, dia tahu telah terjadi bentrokan, dan lagi-lagi pemuda Kampung Serangan yang menjadi terduga pertama. Tanpa pikir panjang Sutra lari tunggang langgang, masuk ke gang-gang sempit.
“Tapi tetap dikejar terus mas, hampir aku ketangkep,” kata Sutra.
Hal semacam itu sudah biasa di kampung Serangan. Sutra dan warga kampung Serangan juga menyadari betul, betapa buruknya nama kampung mereka di luar sana. Tak ada yang tahu, kapan semua itu dimulai, yang mereka tahu hal itu merupakan warisan dari para pendahulunya. Celakanya, mereka harus menanggung semua itu.
Kisah Cinta pun Kandas
Kampung hitam yang melekat pada kampung Serangan selama bertahun-tahun lamanya membuat generasi pemuda sekarang yang tak tahu menahu pun harus menanggung getahnya. Untuk mencari teman dari luar kampung saja menjadi hal yang sulit. Dullah kerap kali ditolak bergaul hanya karena dia anak kampung Serangan. Saking buruknya wajah Serangan, warganya juga kesulitan ketika mau mengkredit sepeda motor.
ADVERTISEMENT
“Kalau tahu orang Serangan, pasti enggak bakalan turun kreditnya, langsung di-blacklist,” ujarnya.
Muhammad Radoza Agatama, pemuda lain di Serangan menceritakan kisah yang lebih nyesek. Ada pemuda Serangan yang sedang menjalin kisah asmara dengan gadis dari kampung lain. Setahun, dua tahun, kisah cinta mereka berjalan manis sebelum suatu hari sang cowok datang ke rumah kekasihnya dan bertemu orang tua si gadis.
“Besok mending nggak usah ke sini lagi mas, nggak usah dilanjut,” kata Agatama menirukan jawaban ayah si gadis setelah mengetahui pacarnya adalah pemuda Serangan.
Kisah mereka kandas, harapan suci yang telah dirajut bersama untuk membangun bahtera rumah tangga sirna. Salah kah Tuhan yang telah menakdirkan mereka lahir di kampung bantaran kali Winongo itu? Dan jangan salah, cinta yang pahit itu tak hanya terjadi sekali saja, itu terus berulang seperti kaset nglokor.
ADVERTISEMENT
Serangan Ngebul Nyawiji
Meski sama-sama menjadi suporter PSIM Yogyakarta, pemuda RW 1 dan RW 2 Kampung Serangan tak pernah akur, mereka punya laskar masing-masing yang selalu bersitegang. Setiap ada pertandingan, tawuran hampir tak pernah terelakan. Ketika PSIM berlaga di Stadion Mandala Krida, mereka selalu menjadi salah satu sumber utama kekacauan lalu lintas.
Dengan knalpot racing yang memekakan telinga, sepeda motor mereka tak peduli lampu lalu lintas sedang berwarna apa. Pokoknya, merekalah penguasa jalanan saat itu. Ketika pertandingan usai, bukan berarti mereka pulang ke rumah masing-masing.
Laga memang berakhir, tapi urusan mereka dengan tim suporter lain, termasuk RW sebelah, baru dimulai. Bentrokan tak bisa dihindarkan, tak afdhol rasanya kalau pulang tanpa membuat keributan dulu.
ADVERTISEMENT
Tapi itu dulu, sudah sekitar setahun ini, hal serupa tak terjadi lagi sejak dibentuk “Serangan Nglebur Nyawiji” pada awal 2018, sebuah perkumpulan yang menyatukan RW 1 dan RW 2 Kampung Serangan. Pada pembentukan Serangan Nglebur Nyawiji, mereka mendeklarasikan tidak akan lagi ada tawuran di antara mereka.
“Kalau PSIM tanding, sekarang semuanya kita minta naik Transjogja, jadi nggak pernah bikin macet jalanan lagi. Kalau ada yang masih ugal-ugalan di jalan, berarti itu bukan anak kampung Serangan,” kata Agatama.
"Serangan Nglebur Nyawiji" itu menjadi benih-benih persatuan dan kerukunan di kampung Serangan. Sejak saat itu, kata Dullah, pemuda Serangan sering mengadakan kegiatan bersama. Setiap ada event-event baik dalam skala besar maupun kecil juga tak ada lagi kerusuhan.
ADVERTISEMENT
Para pemuda Serangan sudah jenuh, terlalu lama menanggung stempel buruk warisan dari para pendahulunya. Mereka sadar, harus ada yang memutus lingkaran setan itu demi memperbaiki wajah kampungnya dan nasib generasi penerus mereka.
“Kasihan generasi-generasi penerus kita kalau keadaannya begini terus, mereka juga punya hak untuk mendapat kehidupan yang layak tanpa diskriminasi karena stigma buruk kampungnya,” kata Dullah.
Mendobrak Pola Pikir
Geliat pemuda Serangan sebenarnya sudah dimulai sejak 2011 silam dengan dibentuknya Karangtaruna Generasi Muda Ngampilan Yogyakarta (GMNY). Mereka sukses mengadakan sebuah acara pertunjukan musik di Taman Wiranata Saestu dengan jumlah penonton yang membludak, di luar ekspektasi. Sayangnya kegiatan mereka hanya sampai di sana.
Usulan Dullah dan teman-temannya kepada sesepuh kampung untuk melibatkan pemuda dalam pembangunan sering mendapat penolakan halus. Padahal, Taman Wiranata Saestu sangat potensial untuk mempersatukan dan mengembangkan minat anak-anak muda di dunia kreatif.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, sepuluh tahun berjalan, pengelolaan Taman Wiranata Saestu mangkrak. Los-los yang awalnya ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat, hanya dikuasai orang-orang tertentu saja.
“Kondisinya bener-bener kumuh pokoknya, enggak layak lah,” kata Dullah.
Padahal potensi di kampung Serangan, kata Dullah, sangat besar. Ada yang punya bakat menari, jathilan, musik, membuat berbagai kerajinan, dan sebagainya. Akhirnya sekitar setahun yang lalu, setelah terbentuknya "Serangan Nglebur Nyawiji," gerakan pemuda kembali bergeliat.
Mereka mulai meminta untuk dilibatkan dalam pembangunan kampung halamannya. Pemuda Kampung Serangan kembali meminta akses kepada pengurus RW untuk ikut andil dalam mengelola Taman Wiranata Saestu. Langkah pertama adalah dengan mendirikan taman kuliner berbasis potensi lokal yang sepenuhnya dikelola oleh pemuda.
Grand design usaha dibuat, dimulai dari angkringan yang menjual makanan-makanan buatan warga setempat yang dikelola secara profesional dengan nama Riverside Winongo. Konsep dan gagasan itu dibawa ke rapat RW. Namun bukan perkara mudah meyakinkan generasi tua bahwa para pemuda bisa berkontribusi untuk kampungnya. Perdebatan alot antara pemuda dengan beberapa pengurus wilayah yang tidak percaya dengan kemampuan pemuda, terjadi.
ADVERTISEMENT
Tak hanya harus meyakinkan sesepuh kampung, para pemuda juga harus memberi pengertian pada beberapa penjual makanan yang sudah berjualan di Taman Wiranata Saestu lebih dulu. Pasalnya, para pemuda kampung ini dituduh ingin mematikan rezeki orang lain, padahal konsep mereka adalah ingin merangkul semua pedagang.
Ada isu juga, oleh mereka yang takut ladang mencari nafkahnya hilang, Agatama dituduh ingin mencari keuntungan pribadi. Isu itu menjalar dari mulut ke mulut hingga sampai ke telinga Agatama.
“Tapi kalau ini belum sempat aku konfirmasi, cuma ada yang bilang gitu,” ujarnya.
Padahal dia dan pemuda kampung lain merasa sudah memberikan segala kemampuannya agar konsep taman kuliner yang digagas itu bisa berjalan. Mereka swadaya memasang jaringan internet sampai memberikan sejumlah uang untuk menyemangati anak-anak SMA yang bertugas menjaga warung.
ADVERTISEMENT
“Soalnya kalau mereka (anak SMA) males, habis kita. Enggak ada lagi yang bisa handle,” kata dia.
Bukan Sekadar Motif Ekonomi
“Cuman angkringan kok, enggak bakal laku,” kata Agatama mengulangi perkataan seorang pedagang lama setelah beberapa hari warung mereka buka. Tapi anjing menggonggong, kafilah berlalu, Riverside Winongo tetap mencoba eksis.
14 Desember 2019, menjadi hari yang bersejarah untuk Sutra, Dullah, Agatama, dan pemuda kampung Serangan lainnya. Warung impian mereka, Riverside Winongo buka untuk pertama kalinya, tentunya dengan persiapan seadanya.
Karena sama sekali tak punya modal, selama seminggu sebelumnya mereka mencari kawat-kawat sisa pembangunan bronjong di sungai Winongo untuk dijual sebagai modal awal. Dari situ mereka berhasil mendapatkan uang sebesar Rp 1.100.000 yang dipakai untuk menyewa gerobak angkringan dan membeli beberapa perlengkapan.
ADVERTISEMENT
Mereka juga mencari ban-ban bekas dan mengecatnya untuk dijadikan meja. Semua dilakukan secara swadaya oleh para pemuda.
Anak-anak SMA, yang notabene tidak terlalu sibuk ditugasi untuk mengelola angkringan. Sedangkan pemuda yang lebih tua, baik yang kuliah maupun yang sudah bekerja bertugas memikirkan bagaimana mengelola Riverside Winongo agar bisa berkembang seperti yang direncanakan.
“Sekarang omzet rata-rata sehari Rp 700 ribu. Kalau keuntungan bersih ya sekitar Rp 100 sampai 200 ribu lah,” kata Sutra.
Keuntungan Riverside Winongo sebagian besar masuk ke kas RW dan RT, sisanya baru digunakan untuk pengelolaan warung. Di masa depan harapannya Riverside Winongo bisa menjadi tempat kerja para pemuda, sehingga tak ada lagi yang harus merantau atau bekerja di luar kampung. Tapi motif ekonomi bukanlah satu-satunya alasan Riverside Winongi didirikan.
ADVERTISEMENT
Dullah justru mengatakan motif ekonomi hanya bagian kecilnya saja. Ada tujuan yang lebih besar, yakni memberikan kesibukan kepada para pemuda agar tidak lagi mencari kegiatan-kegiatan yang negatif. Dullah yang termasuk dituakan di kalangan pemuda lain sadar betul, anak-anak muda dengan segala potensinya harus diberikan ruang seluas-luasnya untuk berekspresi. Sedangkan generasi tua cukup membimbing dan mengingatkan seperlunya saja kalau anak-anak muda mulai melenceng.
“Saya bilang sama sesepuh, sampeyan sekarang tugasnya tinggal nonton, mendoakan, dan mengingatkan kalau sudah tidak bijak,” kata Dullah.
Bagi Agatama, ini adalah momentum pemuda Serangan memutus stigma negatif terhadap kampungnya. Sudah terlalu lelah rasanya menjadi warga Serangan yang selalu mendapat stempel urakan dan tukang bikin onar. Kini, pemuda Serangan dihadapkan pada dua pilihan: melanjutkan sejarah atau menciptakan sejarah baru sebagai generasi pembawa perubahan.
ADVERTISEMENT
“Kita enggak salah lahir dan besar di Serangan kampung hitam ini, tapi kita salah kalau generasi setelah kita masih mewarisi masalah berkepanjangan ini,” tegasnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)
**Punya kisah usaha perubahan di kampung-kampung di Jogja? kasih kabar di kolom komentar atau email ke [email protected], kami akan dengan senang hati mampir untuk berbagi cerita.