10 PTN Mau Bikin 'Beras' dan Mi dari Sagu, Dananya Rp 12 M dari Kemendikbud

Konten Media Partner
14 November 2022 17:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Launching program Matching Fund Patriot di UGM. Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Launching program Matching Fund Patriot di UGM. Foto: Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
Krisis pangan global dinilai jadi momentum mengembalikan kejayaan bahan pangan lokal seperti sagu, singkong, ganyong, dan berbagai jenis umbi-umbian lokal lainnya. Pasalnya, selama ini bahan-bahan pangan lokal itu semakin ditinggalkan seiring besarnya dominasi gandum yang berasal dari luar negeri.
ADVERTISEMENT
Hal itu disampaikan oleh Rektor IPB yang juga ketua Program Matching Fund Patriot Pangan, Arif Satria. Program Matching Fund Patriot Pangan sendiri merupakan program yang dijalankan oleh 10 perguruan tinggi negeri (PTN) sebagai Konsorsium 10 PTN yang baru saja diluncurkan di Balai Senat UGM, Senin (14/11).
Arif menjelaskan, konsumsi gandum dalam negeri meningkat pesat. Pada 2010, konsumsi gandum Indonesia mencapai 4 juta ton. Pada 2021, impor gandum Indonesia mencapai 12 juta ton. Artinya dalam kurun waktu sekitar 11 tahun, kenaikannya mencapai 3 kali lipat.
“Artinya ketergantungan kita (pada gandum) semakin lama semakin meningkat, seiring dengan penurunan konsumsi beras,” kata Arif Satria, Senin (14/11).
Situasi ini membuat Indonesia sangat rentan terdampak krisis pangan global seperti negara-negara Eropa. Karena itu, krisis pangan global ini mesti jadi momentum untuk mengembalikan lagi kejayaan bahan-bahan pangan lokal yang potensinya sangat besar.
ADVERTISEMENT
“Sagu di Indonesia ini lahannya kurang lebih sekitar 5 juta hektare, dengan produktivitas 40 ton per hektare. Dan itu tinggal panen, tidak perlu menanam,” lanjutnya.
Untuk mengatasi masalah rasa, saat ini teknologi yang ada di Indonesia menurut dia sudah bisa mengolah sagu jadi berbagai macam produk pangan.
“Sekarang sudah ditemukan beras dari sagu. IPB sudah bisa membuat beras dari sagu, mie dari sagu, jadi untuk mensubstitusi impor sebenarnya sangat gampang,” kata dia.
Rektor IPB yang juga ketua Program Matching Fund Patriot Pangan, Arif Satria. Foto: Widi Erha Pradana
Tak hanya sagu, bahan pangan lokal lain seperti sukun, ganyong, sorgum, sagung, singkong, dan sebagainya juga bisa diolah jadi aneka produk pangan yang sangat bervariasi.
“Secara teknologi sudah selesai, kita bisa bikin beras dari sagu, beras dari jagung, beras dari sorgum semua sudah bisa,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Yang jadi persoalan saat ini menurut Arif adalah bagaimana menciptakan proses hilirisasi yang nyata di tengah masyarakat supaya produksinya bisa meningkat dan kualitasnya bagus, dengan begitu konsumsinya bisa ditingkatkan. Jika konsumsi produk pangan lokal sudah meningkat, maka ketergantungan pada impor akan menurun.
Untuk itulah Kemendikbud Ristek tahun ini menggelontorkan anggaran sebesar Rp 12 miliar untuk menginisiasi terbentuknya Konsorsium 10 PTN. Kampus-kampus inilah yang bertugas untuk mengoptimalkan pemanfaatan pangan lokal melalui inovasi-inovasi dosen dan mahasiswanya.
“Aplikasinya di masyarakat bervariasi, ada yang masuk di dunia peternakan, pertanian pangan, gizi, perikanan juga ada. Tapi prinsipnya semua bisa berbagi sisi, ada yang di sisi produksi untuk meningkatkan produktivitas, mensosialisasikan masyarakat, pengolahan, ada juga yang bermain di konsumsi,” kata Arif Satria.
ADVERTISEMENT
Di sektor produksi misalnya, banyak peneliti yang memiliki inovasi untuk meningkatkan produktivitas pangan, seperti program panen massal 1.000 ekor sapi. Di sektor pengolahan ada yang fokus menciptakan sistem penyimpanan logistik yang bagus. Sedangkan di sektor konsumsi, ada peneliti yang fokus menyelesaikan masalah food waste melalui platform digital.
“Jadi hulu dan hilir, semua terintegrasi. Kita berangkat dari sistem pangan,” tegasnya.
Sebagai informasi, ada 10 perguruan tinggi yang tergabung dalam Konsorsium 10 PTN, di antaranya adalah Universitas Syiah Kuala, Universitas Negeri Gorontalo, Universitas Tanjungpura-Pontianak, Universitas Pattimura-Ambon, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Universitas Mulawarman, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Universitas Mataram, dan Universitas Negeri Lampung.
Wakil Rektor III, Arie Sujito. Foto: Widi Erha Pradana
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni UGM, Arie Sujito, mengatakan bahwa komitmen 10 perguruan tinggi tersebut menjadi jawaban atas keraguan bahwa Indonesia bisa menghadapi krisis pangan global yang ada saat ini.
ADVERTISEMENT
“Tidak semata-mata perguruan tinggi selama ini memproduksi teori, tapi secara praksis membuat kolaborasi ini,” kata Arie Sujito.
Rektor Universitas Negeri Gorontalo, Eduart Wolok, juga menyampaikan optimismenya bahwa Konsorsium 10 PTN dapat memberikan kontribusi yang nyata terhadap ancaman krisis pangan global yang dihadapi Indonesia. Kolaborasi 10 kampus yang terdiri atas kampus dari ujung barat sampai timur Indonesia ini menurut dia akan mampu menguatkan kedaulatan pangan Indonesia yang ditopang oleh bahan-bahan pangan lokal dari Sabang sampai Merauke.
“Dengan kolaborasi ini akan semakin memperkaya pangan yang ada di Indonesia, dan untuk menuju kedaulatan pangan yang kita inginkan itu bisa kita wujudkan dengan kolaborasi dari seluruh perguruan tinggi dengan seluruh sumber daya yang dimiliki,” kata Eduart Wolok.
ADVERTISEMENT