Konten Media Partner

Minyak Jelantah Sisa Dapur Rumah Tangga RI Bisa Suplai 10% Biodesel Nasional

30 Maret 2023 19:16 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Minyak Jelantah. Foto: Traction Energy Asia
zoom-in-whitePerbesar
Minyak Jelantah. Foto: Traction Energy Asia
ADVERTISEMENT
Rumah tangga dan usaha mikro di Indonesia menghasilkan minyak jelantah dengan jumlah cukup besar. Bahkan, jumlah minyak jelantah atau minyak sisa dapur yang dihasilkan Indonesia setiap tahun disebut bisa memenuhi 10 persen kebutuhan biodiesel nasional.
ADVERTISEMENT
Penelitian dari Traction Energy Asia, menyebutkan bahwa potensi minyak jelantah dari sektor rumah tangga dan unit usaha mikro di kota-kota besar di Jawa dan Bali mencapai 204.231,84 kiloliter per tahun. Sedangkan di level nasional mencapai angka 1.243.307,7 kiloliter per tahun.
Manajer Riset Traction Energy Asia, Refina Muthia Sundari, mengatakan bahwa minyak jelantah yang dihasilkan ini bisa menjadi bahan baku pembuatan biodiesel. Pasalnya, minyak jelantah atau Used Cooking Oil (UCO) menurut dia memiliki komposisi kimia yang menyerupai Crude Palm Oil (CPO).
“Ketersediaan minyak jelantah ini bisa memenuhi 8 persen sampai 10 persen kebutuhan biodiesel nasional,” kata Refina Muthia Sundari dalam talk show daring bertajuk “Inovasi Transisi Energi dengan Minyak Jelantah”, Kamis (30/3).
ADVERTISEMENT
Guru Besar Teknik Industri Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Erliza Hambali, mengatakan bahwa dari aspek kelayakan teknis sebagai bahan baku biodiesel, minyak jelantah yang merupakan limbah juga memiliki emisi gas rumah kaca yang lebih rendah dibandingkan dengan CPO.
Talk show daring Inovasi Transisi Energi dengan Minyak Jelantah. Foto: Tracton Energy Asia
Kajian Traction Energy Asia juga menunjukkan bahwa pencampuran minyak jelantah dengan komposisi sebanyak 10 persen sampai 30 persen dengan CPO dalam produksi B30 saat ini, dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 2,4 persen – 24 persen dari total target penurunan emisi sektor energi.
“Minyak jelantah untuk biodiesel dapat mengurangi 91,7% emisi CO2 dibandingkan dengan solar biasa,” kata Erliza Hambali.
Meski terdapat kekhawatiran mengenai kualitas biodiesel yang dihasilkan dari minyak jelantah di Indonesia masih rendah dan berpotensi merusak mesin kendaraan, namun International Council on Clean Transportation (ICCT) dalam laporan penelitiannya menggarisbawahi bahwa biodiesel dari minyak jelantah dapat dihasilkan dengan kualitas yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Eropa telah mempraktikkan penerapan Gold Standard dalam produksi biodiesel dari minyak jelantah berkualitas tinggi dan dapat mengatasi berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas biodiesel itu sendiri, seperti kandungan asam lemak bebas atau free fatty acids (FFA), fraksi air atau padatan, dan phospholipids.
Berbagai aspek telah menunjukkan bahwa minyak jelantah layak untuk dijadikan bahan baku komplementer biodiesel nasional, namun tantangan utama yang perlu diatasi ialah terkait tata kelola dan tata niaga minyak jelantahnya itu sendiri.
“Hingga saat ini minyak jelantah di Indonesia diekspor, belum ada demand minyak jelantah di dalam negeri. Tantangannya ada di tahap pengumpulan minyak jelantah,” ungkap Associate Researcher dari ICCT, Tenny Kristiana.
Pengumpulan minyak jelantah. Foto: Traction Energy Asia
Menurutnya, contoh regulasi di luar negeri tentang minyak jelantah dapat diterapkan di Indonesia, seperti di India yang sedang melembagakan minyak jelantah menjadi bahan baku alternatif biodiesel. Harga dan insentif minyak jelantah ditetapkan lebih tinggi daripada minyak nabati lain karena emisi karbon lebih rendah.
ADVERTISEMENT
Tenny juga menyatakan bahwa potensi ketersediaan minyak jelantah yang tinggi perlu dilembagakan di dalam program biodiesel Indonesia sehingga diharapkan kedepannya juga ada dorongan insentif fiskal maupun non-fiskal.
Specialist New & Renewable Energy Research Pertamina, Rachma Fitriani, juga mengatakan bahwa saat ini Pertamina mulai melirik penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel.
“Selain proses produksi lebih sederhana dan biaya produksinya relatif lebih rendah, penurunan emisinya pun lebih besar dibandingkan jika kita menggunakan CPO,” kata Rachma Fitriani.