Konten Media Partner

4 Januari 1946 Bayi Indonesia Terancam, Kraton Jogja Pasang Badan untuk Republik

4 Januari 2022 19:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Defile atau parade bregada rakyat Jogjakarta memperingati 76 tahun Jogjakarta Ibukota Republik Indonesia pada Senin (3/1) malam di Malioboro. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Defile atau parade bregada rakyat Jogjakarta memperingati 76 tahun Jogjakarta Ibukota Republik Indonesia pada Senin (3/1) malam di Malioboro. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pagi yang mencekam, 4 Januari 1946, Sukarno dan Hatta, tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta setelah melalui perjalanan panjang lebih dari 12 jam menggunakan kereta api luar biasa (KLB) dari Stasiun Manggarai ketika senja jatuh di Jakarta. Kereta itu khusus disiapkan untuk memboyong Sukarno dan Hatta, yang kala itu nyawanya berada di ujung tanduk karena diburu oleh tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA), yang kembali ke Indonesia membonceng tentara sekutu.
ADVERTISEMENT
Tak hanya nyawa Sukarno, Hatta, dan para pejabat negara lain yang terancam, tapi juga Republik Indonesia yang umurnya belum genap setahun. Situasi yang chaos dan makin tak menentu itulah yang memaksa bayi Indonesia mesti dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta sebagai ibu kota baru. Sebelumnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX memang telah menawarkan diri untuk menjadikan Yogya sebagai ibu kota Indonesia, yang kemudian disambut baik oleh Sukarno dan para petinggi negara lain.
“Suasananya sangat-sangat mencekam,” kata Ketua Sekber Keistimewaan DIY, Widihasto Wasana Putra, saat menceritakan situasi 4 Januari 1946, di Yogyakarta, beberapa saat sebelum pelaksanaan kirab 76 Tahun Jogja Kota Republik, Senin (3/1).
Ketua Sekber Keistimewaan DIY, Widihasto Wasana Putra, saat melayani wawancara di Yogyakarta, Senin (3/1). Foto: Widi Erha Pradana
Semua pejabat negara yang ikut dalam rombongan KLB turun dengan raut muka gusar, namun sekaligus lega. Paling tidak, Yogya jauh lebih aman dari ancaman NICA dan KNIL dibandingkan Jakarta.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, Sukarno dan rombongannya telah disiapkan tempat di Gedung Agung sebagai tempat tinggal. Namun saat itu, kondisi Gedung Agung sedang rusak parah setelah ditinggalkan oleh Jepang. Akhirnya, mereka tinggal di Puro Pakualaman selama sekitar tujuh pekan sembari menunggu Gedung Agung selesai direnovasi.
Di Puro Pakualaman, Sukarno dan Hatta tinggal di Gedung Parangkarso, dengan kamar bersebelahan. Meski tak genap dua bulan jadi tempat tinggal Sukarno dan Hatta, namun Puro Pakualaman yang kemudian menjadi Kantor Sandi Negara pertama memegang peran penting sebagai tempat melakukan koordinasi dan konsolidasi kepentingan Republik.
Tidak diketahui pasti, mengapa akhirnya Sukarno dan Hatta tinggal di Kompleks Puro Pakualaman, bukan di Keraton Kasultanan. Padahal, di Keraton Kasultanan terdapat lebih banyak gedung dan ruangan yang bisa dipakai untuk tempat tinggal mereka.
ADVERTISEMENT
Menurut Hasto, ada dua kemungkinan. Pertama karena Bung Karno sungkn dengan Sultan HB IX, atau yang kedua karena akses yang lebih mudah dan cepat mengingat pengawasan di Keraton cukup ketat.
“Baru setelah Gedung Agung jadi, pindah dan mulai berkantor di sana,” kata Hasto.
Sultan HB IX Pasang Badan untuk Republik
dSultan Hamengku Buwono IX. Foto: http://dpad.jogjaprov.go.id/
Selain karena tawaran Sri Sultan HB IX, ada beberapa alasan yang membuat Yogyakarta kemudian dipilih sebagai ibu kota sementara Indonesia. Pertama karena kondisi geografis Yogyakarta yang berada di tengah Jawa, sehingga memudahkan akses ke kota-kota lain. Kedua, Yogyakarta dinilai menjadi kota yang paling aman karena adanya Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman di bawah kepemimpinan Sri Sultan HB IX.
Widihasto mengatakan, saat itu meski Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia, namun mereka masih menghormati keberadaan Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman tersebut.
ADVERTISEMENT
“Mereka itu peduli setan dengan Indonesia merdeka, dengan proklamasi, tapi mereka masih sangat mengakui keberadaan Kasultanan Yogyakarta,” kata Hasto.
Apalagi Sultan HB IX saat itu juga telah mengenal Ratu Juliana, ketika dia menempuh studi di Leiden, Belanda. Bahkan Sultan mendapatkan gelar tituler Mayor Jenderal. Karena itulah, para petinggi negara juga menilai Jogja akan jadi tempat yang lebih aman untuk membesarkan bayi Indonesia.
“Karena di sana Sultan HB IX pasang badan untuk republik ini, Belanda enggak berani, terbukti ketika Agresi Militer II Keraton kan enggak tersentuh,” lanjutnya.
Alasan lain, Jogja juga dinilai memiliki fasilitas infrastruktur yang cukup memadai sebagai sebuah ibu kota negara. Di Jogja terdapat gedung-gedung pemerintahan yang bisa digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan republik.
ADVERTISEMENT
Di masa itu, secara infrastruktur Hasto mengatakan bahwa sebenarnya ada beberapa kota lain yang juga sebenarnya cukup siap untuk menjadi ibu kota. Misalnya Bogor, Bandung, Semarang, atau Surabaya, yang juga memiliki infrastruktur cukup matang.
“Cuma kan yang paling penting di Jogja ada entitas monarki yang diakui Belanda, yakni Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman,” kata Hasto.
Jogja Kota Pertama yang Menjalankan Reformasi Birokrasi
Defile atau parade bregada rakyat Jogjakarta memperingati 76 tahun Jogjakarta Ibukota Republik Indonesia pada Senin (3/1) malam di Malioboro. Foto: Istimewa
Sejarawan dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Baha Uddin, mengatakan bahwa alasan lain yang tak kalah penting mengapa Yogyakarta saat itu dinilai paling siap menjadi ibu kota adalah karena kota ini telah merintis reformasi birokrasi pemerintahan sejak sebelum kemerdekaan, terutama selama periode pendudukan Jepang. Reformasi birokrasi ini sebenarnya sudah direncanakan sejak lama, namun karena selama masa kolonial Belanda pengawasan yang dilakukan sangat ketat, maka baru dieksekusi pada masa pendudukan Jepang yang saat itu tidak terlalu mengawasi ketat apa yang terjadi di tingkat lokal.
ADVERTISEMENT
Reformasi birokrasi ini ditandai dengan diangkatnya Paniradya, yakni birokrasi pemerintahan yang berasal dari masyarakat sipil. Sebelumnya, birokrasi pemerintahan hanya bisa diisi oleh kalangan para bangsawan.
“Dan itu mungkin pertama kali terjadi di Indonesia karena sebelum kemerdekaan. Jadi itu kalau sekarang semacam pegawai negeri yang dibuka untuk umum, sebelum Jakarta punya pegawai negeri Jogja sudah punya,” kata Baha Uddin.
Orang-orang yang diterima sebagai paniradya itu kemudian diberikan semacam pelatihan dan pembekalan oleh Sultan HB IX. Proses ini mirip dengan prajab pegawai negeri sipil (PNS) sebelum mereka bertugas. Orang-orang inilah yang kemudian nantinya mengisi jawatan-jawatan atau dinas-dinas setelah Indonesia merdeka.
“Mereka juga menjadi pegawai pemerintahan yang nantinya berada di Jakarta,” ujarnya.
Faktor-faktor itulah yang akhirnya di dalam rapat kabinet terbatas pada 3 Januari, para pejabat negara menerima tawaran Sultan HB IX untuk memindahkan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Jogja. Selama empat tahun, Indonesia beribu kota di Yogyakarta hingga akhirnya Sukarno dan Hatta kembali ke Jakarta pada 28 Desember 1949, sehari setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Empat tahun itu adalah masa-masa yang sangat menentukan bagi eksistensi kemerdekaan Indonesia. Jika saja saat itu tidak dipindah ke Jogja, mungkin akan lain cerita, Indonesia tidak akan seperti sekarang,” kata Baha Uddin.
Karena datang ke Jogja tanpa barang benda apapun, kas negara saat itu adalah 0 rupiah. Praktis, semua kegiatan roda pemerintahan dibiayai oleh Kasultanan dan Pakualaman. Tak diketahui pasti, berapa total uang yang dikeluarkan oleh Kasultanan dan Pakualaman untuk membiayai roda pemerintahan Republik. Menurut Baha, pendapatan utama Kasultanan saat itu berasal dari perkebunan, yang memang sejak Sultan HB VII sudah memiliki perkebunan yang sangat luas. Kasultanan juga memiliki sekitar 15 pabrik gula. Dari sanalah sumber utama pendapatan Kasultanan sehingga mampu membiayai jalannya pemerintahan Indonesia selama beribu kota di Jogja.
ADVERTISEMENT
Bahkan sebelum ibu kota kembali pindah ke Jakarta, Sultan HB IX konon sempat menyerahkan cek senilai 6 juta gulden kepada Sukarno untuk menjalankan roda pemerintahan di Jakarta.
“Karena untuk menjalankan roda pemerintahan di Jakarta, Sukarno tidak punya apa-apa. Jogja sudah tidak punya apa-apa lagi, hanya ini yang bisa saya berikan kepada Anda, begitu kata Sultan kira-kira kepada Sukarno,” kata Baha Uddin. (Widi Erha Pradana / YK-1)