Ahli Sambut Baik Hakim Tetapkan Eliezer Jadi Justice Collaborator, Kenapa?

Konten Media Partner
15 Februari 2023 17:03
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat, Richard Eliezer alias Bharada E, tiba untuk menjalani sidang dengan agenda pembacaan pledoi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (25/1/2023). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat, Richard Eliezer alias Bharada E, tiba untuk menjalani sidang dengan agenda pembacaan pledoi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (25/1/2023). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
Tersangka pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu divonis 1 tahun dan 6 bulan penjara.
Hukuman ini jauh lebih ringan dibandingkan dengan vonis tersangka lain, seperti Ferdy Sambo yang divonis hukuman mati, Putri Chandrawati divonis 20 tahun penjara, Kuat Ma’ruf divonis 15 tahun, serta Ricky Rizal divonis 13 tahun penjara. Bahkan, vonis Richard Eliezer jauh lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa, pidana penjara selama 12 tahun.
Posisi Richard Eliezer sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator jadi salah satu hal yang meringankan hukumannya, meskipun dalam perkara itu Richard berperan sebagai eksekutor penembak Brigadir Yosua.
Ahli Hukum Pidana UGM, Muhammad Fatahillah Akbar, mengatakan bahwa hal ini bisa menjadi kabar baik dalam pengungkapan kasus pidana di Indonesia ke depan. Tak hanya untuk mengungkap perkara pembunuhan, justice collaborator ini menurut Akbar juga dapat dimanfaatkan untuk mengungkap kasus pidana lain.
“Arahnya nanti kalau siapapun terlibat dalam kasus narkotika atau korupsi, dia harus mengungkapkan sebesar-besarnya dan bisa mendapatkan reward sebagai justice collaborator,” kata Muhammad Fatahillah Akbar saat dihubungi, Rabu (15/2).
Hal ini menurut Akbar juga akan mempermudah proses penegakan hukum di Indonesia ke depan. Sebab, para pelaku yang terlibat dalam sebuah perkara pidana akan memberikan informasi secara jujur dan membantu proses penegakkan hukum.
“Karena nanti akan mendapatkan reward yang layak, berupa pengurangan hukuman,” kata dia.
Ahli Hukum Pidana UGM, Muhammad Fatahillah Akbar. Foto: Dok. Isitimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ahli Hukum Pidana UGM, Muhammad Fatahillah Akbar. Foto: Dok. Isitimewa
Namun yang perlu diperhatikan menurut Akbar adalah, jangan sampai seseorang mengaku-ngaku sebagai justice collaborator padahal dia adalah pelaku utama dalam tindak kejahatan tersebut.
Karena itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menurut dia harus menyeleksi dan mempertimbangkan betul profil pelaku yang mengajukan diri menjadi justice collaborator.
“Penuntut umum juga akan menilai, hakim juga akan menilai,” lanjutnya.
Akbar menjelaskan bahwa selama ini berdasarkan UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa penggunaan justice collaborator masih dibatasi pada jenis-jenis tindak pidana tertentu saja. Pelaku yang bisa mengajukan diri sebagai justice collaborator berdasarkan aturan ini adalah pelaku yang merasa terancam jiwanya kalau tidak melakukan perbuatan tertentu.
Namun menurut Akbar, seharusnya justice collaborator tidak perlu dibatasi jenis pidananya.
“Jadi semua tindak pidana seharusnya bisa diselesaikan dengan justice collaborator. Dan harapannya konsep ini bisa diterapkan terus, jadi kejahatan-kejahatan yang sistematis bisa terungkap dengan lebih baik,” kata Muhammad Fatahillah Akbar.