Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Akhir Kisah Buaya Muara dan Labi-labi Moncong Babi di Jogja
18 Februari 2021 12:45 WIB
ADVERTISEMENT
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DIY telah mentranslokasikan lima ekor buaya muara dan 14 ekor labi-labi moncong babi sebagai langkah awal untuk dilepasliarkan. Inilah akhir kisah buaya muara dan labi-labi moncong babi yang merupakan satwa liar dilindungi yang disita dari pemelihara dan pedagang satwa liar dilindungi di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Satwa-satwa tersebut ditranslokasikan sebelum dilepasliarkan ke habitat aslinya. Lima ekor buaya muara ditranslokasi ke Predator Fun Park di Kota Batu, Jawa Timur. Sedangkan 14 ekor labi-labi ditranslokasi ke Papua yang lebih dekat dengan habitat aslinya.
“Sudah langsung kita berangkatkan kemarin,” kata Kepala Balai KSDA DIY, Muhammad Wahyudi ketika dihubungi, Rabu (17/2).
Menurut dia, satwa-satwa tersebut memiliki peran penting di habitat aslinya, sehingga mesti segera dilepasliarkan untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Buaya muara dengan bobot bisa mencapai 1.000 kg merupakan predator puncak di ekosistem perairan sungai. Dia akan mencegah terjadinya over populasi satwa-satwa lain seperti ikan sehingga ekosistem bisa tetap seimbang.
Buaya muara juga termasuk ke dalam satwa yang dilindungi. Badan konservasi dunia IUCN memasukkan buaya muara ke dalam kategori risiko rendah. Sedangkan CITES, memasukkan buaya muara ke dalam daftar Appendix 1.
ADVERTISEMENT
“Kesejahteraan satwa juga harus jadi yang utama, sehingga harus secepatnya ditempatkan ke tempat yang layak. Karena di DIY saat ini tidak ada lokasi yang layak untuk menempatkan buaya muara,” kata dia.
Sementara itu, labi-labi moncong babi juga berperan untuk menaikkan fungsi ekosistem menjadi lebih baik dan sehat. Hilangnya keberadaan labi-labi dalam sebuah ekosistem akan mengakibatkan gangguan terhadap keseimbangan.
Saat ini, labi-labi moncong babi mengalami ancaman yang serius karena adanya penangkapan berlebihan serta degradasi habitat. Di Indonesia, sebaran labi-labi moncong babi juga sangat sempit, hanya terdapat di wilayah Papua bagian selatan, mulai dari Merauke sampai ke Kaimana.
“Ini menjadikan labi-labi moncong babi semakin penting untuk dilindungi,” kata Wahyudi.
Kerugian yang Tidak Ternilai
Menurut Muhammad Wahyudi, adanya perdagangan maupun pemeliharaan satwa dilindungi seperti buaya muara dan labi-labi moncong babi ini telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi negara. Kerugian ini menurut dia tidak bisa hanya dihitung dari harga jual satwa, tapi juga kerugian ekologis yang tidak ternilai harganya.
ADVERTISEMENT
“Kerugiannya sangat besar, tidak ternilai. Tidak cukup dihitung dari harga jual satwanya saja,” ujar Wahyudi.
Jika hanya dihitung dari harga jual satwa saja, maka kerugiannya sangat kecil. Misalnya buaya muara yang disita, ditawarkan oleh tersangka dengan harga Rp 800 ribu saja.
Padahal kerugian negara jauh dibandingkan nilai tersebut. Secara materi, akibat adanya perdagangan satwa dilindungi ilegal ini membuat negara harus melakukan proses rehabilitasi maupun translokasi yang tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Tapi yang lebih besar menurut dia adalah kerugian ekologi. Karena selain hilangnya keanekaragaman hayati, hilangnya satwa-satwa ini dari habitatnya juga mengakibatkan ekosistem yang tidak seimbang.
“Karena itu pelaku kejahatan satwa liar dilindungi ini harus dihukum seberat-beratnya untuk memberikan efek jera juga,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Perdagangan Satwa Dilindungi di Jogja Turun
Selasa (16/2), Direktorat Polisi Air dan Udara (Polairud) Polda DIY bersama Balai KSDA DIY menggelar siaran pers terkait penangkapan enam tersangka pelaku pemeliharaan dan perdagangan satwa liar dilindungi di Mako Polairud Polda DIY.
Tiga tersangka yang ditangkap karena menjual buaya muara di antaranya RRL (17), warga Kasihan, Bantul, RCH (25) warga Kasihan, Bantul, serta RR (17) warga Kapanewn Bantul, Kabupaten Bantul. Adapun dua tersangka yang ditangkap karena memelihara buaya muara di antaranya RJS (24) warga Mlati, Sleman serta EKS (28) warga Pleret, Bantul. Sedangkan RYS (28) warga Triharjo Sleman, ditangkap karena diketahui memperjualbelikan 14 ekor labi-labi moncong babi.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 40 ayat 2 Jo Pasal 21 ayat 2 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.
ADVERTISEMENT
"Sebagian besar pelaku yang kita amankan diketahui dari proses patroli siber karena dalam sistem jual beli pelaku menggunakan media sosial seperti Facebook," ujar Wakil Direktur Ditpolairud Polda DIY AKBP Azhari Juanda dalam siaran pers tersebut.
Muhammad Wahyudi, Kepala Balai KSDA DIY mengatakan saat ini perdagangan satwa liar dilindungi memang lebih banyak dilakukan secara online melalui media sosial. Hal ini disebabkan salah satunya karena adanya pandemi yang membuat mobilitas orang-orang kurang leluasa sehingga beralih ke online.
Di Yogyakarta, menurutnya satwa-satwa liar dilindungi yang paling sering menjadi korban perdagangan ilegal di antaranya elang atau jenis raptor lain, lutung, serta buaya. Tapi tahun ini menurutnya jumlah kasus perdagangan ilegal satwa liar dilindungi ini telah menurun drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
“Karena selama ini kami juga terus berusaha menekan perdagangan liar ini, baik melalui patroli maupun melalui edukasi-edukasi,” kata Wahyudi.
Dia juga meminta kepada masyarakat untuk ikut berperan dalam menekan kejahatan terhadap satwa liar ilegal ini. Menurutnya, masyarakat bisa melaporkan secara langsung jika menemui tindak kejahatan terhadap satwa satwa liar dilindungi ke Balai KSDA DIY.
Masyarakat bisa melaporkan semua tindak kejahatan terhadap satwa liar ke Balai KSDA DIY di 0821-4444-9449.
“Semua bisa dilaporkan yang kaitannya dengan sumber daya alam, perdagangan satwa liar, pemeliharaa, sampai kebakaran hutan,” kata dia. (Widi Erha Pradana / YK-1)