Alasan Orang Jawa Pakai Keris di Belakang: Tak Suka Pamer

Konten Media Partner
21 Mei 2022 18:51 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Pangeran Diponegoro. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pangeran Diponegoro. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Tak cuma jadi senjata, keris ternyata bisa menunjukkan karakter seseorang yang menggunakannya. Secara umum, keris dipakai di bagian belakang atau pinggang. Alasannya karena orang Jawa tak suka pamer. Tapi kenapa Pangeran Diponegoro menggunakannya di depan?
ADVERTISEMENT
Praktisi keris yang aktif melestarikan keris di Yogyakarta, Victor Mukhammadenis, mengatakan bahwa cara seseorang mengenakan keris memiliki banyak makna. Penggunaan keris di belakang menurut dia bermakna bahwa orang Jawa tidak suka pamer, mereka tidak suka menonjolkan kelebihan mereka di depan.
Meski memiliki kelebihan, entah itu kekayaan, kepandaian, atau kesaktian tertentu, orang Jawa akan selalu tampil low profile atau rendah hati.
“Yang orang Jawa selalu sukai adalah tidak menonjolkan kelebihan di depan,” kata Victor dalam Rembag Kaistimewan dengan tema Filosofi, Sejarah, dan Makna Estetika Keris Gaya Yogyakarta, yang diselenggarakan secara daring oleh Paniradya Kaistimewan, Kamis (19/5).
Penggunaan keris di belakang juga bermakna bahwa orang Jawa bisa mengendalikan ketajaman atau kekuatan yang dia miliki. Dalam arti lain, pantang bagi orang Jawa untuk menunjukkan kesaktiannya di depan orang lain. Mereka bisa mengendalikan hawa nafsu, bukan justru dikendalikan oleh hawa nafsu tersebut.
ADVERTISEMENT
“Kalau di depan kan sedikit-sedikit dicabut, itu bisa berbahaya. Karena itu (keris) ditempatkan di belakang,” lanjutnya.
Portrait of Prince Diponergoro. Foto by C. C. A. Last in 1835 to an original pencil drawing by A. J. Bik from 1830 - https://resolver.kb.nl/resolve?urn=urn:gvn:KIT01:57474
Namun, beberapa kondisi atau tokoh tertentu juga memungkinkan keris tidak digunakan di belakang, bahkan keris ternyata juga bisa dipakai di depan. Penggunaan keris di bagian depan atau perut disebut dengan sikep. Biasanya, orang yang menggunakan keris di depan adalah golongan ulama atau kiai.
“Kalau lihat foto Tuanku Imam Bonjol atau foto Pangeran Diponegoro itu di depan, itu penggunaan untuk ulama,” ujarnya.
Pada masa kerajaan, menempatkan keris di belakang juga menunjukkan bahwa negara sedang berada dalam masa damai. Hal itu bertujuan untuk menghilangkan rasa ancaman terhadap siapapun serta menghormati orang lain terutama tamu.
Sedangkan penggunaan keris di depan berarti bahwa seseorang sudah siap mati dalam membela apa yang dia percaya atau dia bela. Itu juga yang dilakukan Pangeran Diponegoro pada setiap peperangan menghadapi Belanda, hal itu menunjukkan bahwa Diponegoro sudah siap mati dalam perjuangannya melawan penjajah.
ADVERTISEMENT
“Pada masa kerajaan, meletakkan keris di belakang merupakan simbol kepatuhan kawula dan bupati terhadap raja, sedangkan meletakkan keris di depan berarti bahwa dia sedang menunjukkan sikap perlawanan,” ujar Victor.
Praktisi keris yang aktif melestarikan keris di Yogyakarta, Victor Mukhammadenis
Keris juga bisa dipakai di samping, biasanya yang menggunakan dengan cara seperti ini adalah para prajurit yang sedang dalam perjalanan menunggang kuda. Sedangkan jika mereka sudah siap perang, maka keris akan dipakai dengan cara di-sothe, yakni dibawa di samping pinggang seperti sedang membawa golok.
“Ada juga yang digunakan dengan cara di sebelah kiri, itu biasanya untuk prajurit pemanah karena di sebelah kanan membawa panah atau senapan,” lanjutnya.
Di Jogja, penggunaan yang paling umum dan dinilai paling sopan adalah dengan cara klabang pinipit, yakni mengenakan di belakang dan miring ke kanan. Posisi ini membuat keris akan selalu melorot, hal itu justru melambangkan kewaspadaan, karena orang yang menggunakannya mesti memastikan keris yang dia gunakan tidak jatuh.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan di masyarakat Solo, dimana biasanya keris digunakan di belakang dengan posisi tegak yang disebut dengan satriya keplayu.
“Kalau di Solo (satriya keplayu) dianggap sopan kalau di Jogja tidak, karena dianggap terlalu terburu-buru atau lalai,” kata Victor Mukhammadenis.