Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Anak Pejabat Suka Pamer Harta, Dosen UGM: Tanda Harga Diri Lemah, Butuh Validasi
1 Maret 2023 15:45 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga merupakan pengamat psikologi sosial, Lu’luatul Chizanah, menanggapi perilaku anak pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo, Mario Dandy Satrio, yang kerap memamerkan berbagai barang mewah atau flexing di media sosial. Tindakan tersebut menurut Chizanah sengaja dilakukan untuk menunjukkan kepemilikan material maupun properti yang dianggap bernilai bagi kebanyakan orang.
ADVERTISEMENT
Dia juga menyebutkan bahwa orang yang melakukan flexing di media sosial salah satunya bertujuan untuk mendapatkan pengakuan di dalam sebuah kelompok. Dalam konteks pembentukan relasi atau pertemanan, seseorang membutuhkan pengakuan agar bisa diterima di lingkungan tertentu.
“Teknik manajemen impresi dengan memamerkan barang-barang mewah dilakukan untuk membuktikan jika ia layak masuk dalam komunitas tertentu. Harapannya dengan memamerkan tas branded maka orang lain akan menilai saya layak masuk kalangan elite,” ujar Lu’luatul Chizanah, Rabu (1/3).
Lebih lanjut, orang yang suka melakukan flexing di media sosial menurut dia juga mengindikasikan self esteem atau harga diri yang lemah. Tanpa disadari, orang yang kerap melakukan flexing menurut dia sebenarnya tidak punya kepercayaan terhadap nilai dirinya. Karena itu, dia merasa perlu memamerkan barang-barang mewahnya sebagai upaya menutupi kekurangan harga diri dengan membuat orang lain terkesan.
ADVERTISEMENT
“Dengan memposting sesuatu yang dinilai berharga bagi kebanyakan orang dan di-like ini seperti divalidasi, merasa hebat, dan berharga karena orang-orang menjadi kagum pada dirinya,” terangnya.
Chizanah menyampaikan bahwa perilaku flexing bisa menimbulkan dampak yang berbahaya dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, perilaku seperti ini akan menimbulkan persepsi yang tidak tepat, bahwa seseorang hanya layak dihargai jika memiliki harta yang banyak dan barang-barang mewah.
Lu’luatul Chizanah menyampaikan perilaku flexing bisa menimbulkan pandangan yang tidak tepat di masyarakat terkait kepemilikan material. Sebab apa yang diunggah oleh pelaku flexing bisa dipercayai oleh pengguna media sosial akan pentingnya kepemilikan material.
“Bisa terbentuk pandangan, akan dihargai kalau punya sesuatu. Ini kan jadi pemahaman yang berbahaya sementara aspek lainnya akan diabaikan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Perilaku flexing ini juga akan berdampak buruk ke arah impulsif buying. Seseorang akan menjadi sangat impulsif untuk membeli barang-barang branded hanya untuk flexing. Apabila flexing ditujukan untuk mengatasi self esteem rendah, maka hal tersebut hanya bersifat semu dan tidak berujung serta bersifat adiktif.
Flexing justru menghalangi seseorang untuk mengatasi self esteem secara efektif.
“Kalau flexing dilakukan sebagai awal pemantik perhatian dan selanjutnya menunjukkan sesuatu yang lebih esensial seperti kompetensi, personaliti yang baik, itu tidak masalah. Akan jadi masalah jika flexing ini jadi satu-satunya cara untuk manajemen impresi, jadi toksik bagi diri sendiri,” kata Lu’luatul Chizanah.