news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Apa Kabar Indeks Biodiversitas Indonesia ?

Konten dari Pengguna
20 Desember 2019 13:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketua KOBI, Budi Setiadi Daryono, memberikan penghargaan biodiversiy kepada Ani Yudhoyono yang diwakili mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 6 November lalu di Bogor. Ani mendapat penghargaan atas dedikasinya mendokumentasikan keanekaragaman hayati di Indonesia dalam bentuk buku berjudul "3500 Plant Species of The Botanic Gardens of Indonesia" dan "Koleksi Tanaman Herbalia Istana Cipanas." Foto : WWF
zoom-in-whitePerbesar
Ketua KOBI, Budi Setiadi Daryono, memberikan penghargaan biodiversiy kepada Ani Yudhoyono yang diwakili mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 6 November lalu di Bogor. Ani mendapat penghargaan atas dedikasinya mendokumentasikan keanekaragaman hayati di Indonesia dalam bentuk buku berjudul "3500 Plant Species of The Botanic Gardens of Indonesia" dan "Koleksi Tanaman Herbalia Istana Cipanas." Foto : WWF
ADVERTISEMENT
Sampai akhir 2019 ini Indonesia belum memiliki data yang valid dan menyeluruh tentang biodiversitas atau keanekaragaman hayati dimiliki. Padahal, Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Bahkan, jika digabungkan biodiversitas di darat dan di laut, keragaman hayati yang dimiliki Indonesia merupakan yang terbesar di dunia.
ADVERTISEMENT
Namun karena tidak adanya data yang lengkap ini, pengawasan terhadap kondisi keragaman hayati di Indonesia baik secara kuantitas maupun kualitas menjadi sulit. Kita tidak akan menyadari kondisi biodiversitas yang semakin rusak dari hari ke hari tanpa memiliki data yang lengkap sebagai patokan.
Padahal, menurut Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI) yang juga Dekan Fakultas Biologi UGM, Budi Setiadi Daryono, jika melihat data Living Planet Report (LPR) yang dirilis World Wide Fund (WWF) tahun lalu, data tentang keragaman hayati khususnya di Indonesia sangat mengerikan karena dari segi kualitas maupun kuantitas semakin turun dari tahun ke tahun.
“Kalau kita belum punya, ya repot. Di kira fine-fine saja, padahal di lapangan sudah semakin luar biasa kerusakan itu terasa,” kata Budi Setiadi Daryono, saat disambangi di ruang kerjanya, Kamis (19/12).
ADVERTISEMENT
Pentingnya data keragaman hayati yang valid dan menyeluruh itu, mendorong KOBI menjalin kerja sama dengan sejumlah lembaga, salah satunya WWF Indonesia. Kerja sama itu bertujuan untuk membuat indeks keanekaragaman hayati Indonesia yang sampai sekarang belum ada.
Indeks ini nantinya akan dijadikan sebagai tolok ukur atau potret kondisi biodiversitas di Indonesia. Memang sudah banyak indeks-indeks biodiversitas yang dibuat oleh lembaga lain di dunia, namun kebanyakan hanya untuk daerah subtropis. Meski ada beberapa indikator yang bersifat umum dan dapat digunakan, namun itu belum bisa mengakomodir kekayaan biodiversitas yang ada di Indonesia.
“Indonesia itu khas dan unik sehingga harus kita develope sendiri. Ada beberapa jenis karakter maupun kondisi lingkungan, baik itu ekosistem, maupun yang lainnya seperti komunitas, populasi, spesies, kita banyak yang unik,” kata Budi.
ADVERTISEMENT
Kenapa Perlu Indeks?
Indeks biodiversitas penting karena pada saat ini persepsi di beberapa lembaga terkait keanekaragaman hayati masing-masing memiliki kriteria sendiri. Satu lembaga bisa mengatakan satu spesies sudah punah namun lembaga lain mengatakan populasinya masih aman.
“Sehingga tidak ada kesepahaman, kesepakatan. Atau tolok ukur, validitas yang reliable dan dapat dipercayai,” ujar Budi.
Melihat hal tersebut, KOBI melihat harus ada lembaga yang merajut atau menghubungkan tiap lembaga dengan masing-masing kriteria yang dimiliki tadi untuk mencapai satu tujuan bersama, yakni kelestarian keanekaragaman hayati. Bukan justru berkutat pada ego sektoral tiap lembaga.
Di awal, KOBI merangkul berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan. Setelah itu, beberapa pihak lain dilibatkan seperti LIPI untuk berbagi data dan validitas keilmuan, serta sejumlah lembaga pemerintahan lainnya seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Bappenas, serta Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai pemilik otoritas validitas data di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga akan dirangkul, sebab menurut Budi keragaman hayati juga memiliki hubungan yang kuat dengan fiskal. Sebuah daerah dengan biodiversitas yang bagus dan menjaga kelestariannya, secara otomatis daerah tersebut akan menyediakan kestabilan ekologis.
“Dan itu akan berdampak bagi wilayah lain. Papua misalnya, ini termasuk biodiversitasnya tinggi. Dia akan menstabilkan daerah-daerah lain seperti Maluku, NTT, bahkan sampai Australia dan Papua Nugini,” kata Budi.
Dengan adanya indeks, nantinya dapat diketahui daerah-daerah mana yang biodiversitasnya masih bagus dan mana yang paling buruk. Harapannya, negara maupun pengusaha akan memberikan insentif bagi daerah-daerah yang serius dalam menjaga kelestarian biodiversitasnya.
“Dan apa yang harus kita lakukan terhadap provinsi yang (biodiversitasnya) rusak itu,” ujar Budi.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, dibutuhkan insentif dari negara maupun para pengusaha untuk sama-sama meningkatkan kualitas dan kuantias biodiversitas di suatu daerah. Sebab dengan kualitas lingkungan yang baik, maka secara otomatis kualitas dan kesejahteraan manusia juga akan lebih baik.
Diluncurkan 2021
KOBI menargetkan, indeks biodiversity bisa diluncurkan pada pertengahan tahun 2021. Ada beberapa indikator yang nantinya akan dinilai seperti kemelimpahan, frekuensi, keragaman, hingga nilai baik bioprospecting maupun ecotourism.
“Kita juga pengin ada nanti nilai, sebenarnya seberapa besar dia bisa menyerap karbon, seberapa besar dia bisa menghasilkan oksigen,” lanjut Budi.
Sekarang, semua lembaga yang terlibat dalam proyek tersebut tengah mengumpulkan semua komponen indeks dari parameter, variabel, serta analisis yang diperlukan. Setelah konsepnya jadi, langkah berikutnya adalah melakukan uji validasi oleh BPS agar bisa diterapkan di seluruh Indonesia. Dampak sosial humaniora berupa jasa ekosistem dan fiskal untuk lingkungan juga tidak lepas dari pembahasan.
ADVERTISEMENT
“Jadi kita memang ingin terintegrasi, tidak hanya indikator-indikator yang saintifik, yang kuantitatif. Tapi juga ke kualitatif yang melibatkan social dan culture itu ada,” kata Budi.
Untuk mengekekusi target itu, anggota tim yang dimiliki kata Budi tidak sampai 30 orang. Tapi yang paling penting menurutnya adalah titik temu tiap lembaga yang tergabung.
Budi optimis jika indeks ini bisa dikembangkan secara optimal, nantinya akan menjadi kekuatan Indonesia. Indeks biodiversitas ini juga akan menjadi yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia, sebab selama ini kita masih mengadopsi indeks dari negara lain yang tidak semua bisa digunakan di Indonesia.
“Ini adalah sebuah kesempatan sebenarnya, kita bisa membuktikan kepada dunia bahwa kita memiliki indeks yang bisa realiable bisa aplicable, dan yang paling penting indeks ini sangat bermanfaat bagi pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia,” ujar Budi. (Widi Erha Pradana)
ADVERTISEMENT