Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Apa Kabar Pesut Mahakam dan Rangkong di Hutan Kalimantan Tahun 2021?
13 Agustus 2021 16:33 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Ikon hutan Kalimantan ini kini makin sulit ditemui
Makin banyak satwa asli Indonesia yang makin terdesak dan terancam punah, salah satu yang paling terancam adalah pesut mahakam (Orcaella brevirostris). Satwa endemik sungai Mahakam ini memiliki berstatus critically endangered atau sangat terancam punah berdasarkan Lembaga Konservasi Internasional (IUCN) Red List. Artinya, populasinya sudah sangat sedikit dan terus mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Padahal, pesut mahakam merupakan ikon atau maskot dari Provinsi Kalimantan Timur.
ADVERTISEMENT
Menurut catatan Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (YK-RASI), pada 2019 estimasi jumlah pesut mahakam di alam liar hanya tersisa 81 ekor saja. Angka kematian pesut mahakam sejak 1995 hingga 2020 tercatat rata-rata mencapai empat ekor setahun. Selama 25 tahun terakhir, dari total 100 kematian pesut, 16 persen terdiri dari bayi pesut, 9 persen anakan pesut, sedangkan 75 persen merupakan pesut dewasa.
Adapun dugaan penyebab utama terjadinya kematian pesut mahakam paling banyak karena tertabrak rengge nalayan, yakni sebesar 67 persen. Sisanya, kematian pesut diakibatkan oleh berbagai hal mulai dari tertabrak kapal, dibunuh, terjebak di daerah dangkal, setrum ikan, diserang pemangsa, racun, serta karena proses kelahiran.
“Penyebab kematian langsung yang jadi ancaman utama memang alat rengge, karena ternyata banyak pesut yang terperangkap di rengge milik nelayan dan akhirnya mati,” kata anggota tim pantau pesutmahakam dan perikanan ilegal YK-RASI, Rahman Sugiyanto dalam webinar yang diadakan oleh Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan, Kamis (12/8).
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, ada ancaman yang jauh lebih besar yakni ekspansi perkebunan sawit yang berdampak buruk pada habitat pesut. Perkebunan sawit di sekitar sungai Mahakam telah menyebabkan sedimentasi dan hilangnya tempat-tempat ikan untuk bertelur. Hal ini membuat pesut pesut mahakam semakin tersudut dan sulit untuk berkembang biak.
“Dan ini dampaknya bukan hanya terjadi pada pesut, tapi juga pada sumber daya perikanan secara luas,” ujarnya.
Selain itu, polusi kimia dan plastik juga menjadi ancaman yang serius bagi keberadaan pesut mahakam. Polusi kimia yang paling besar berasal dari pertambangan batubara yang mencemari perairan sungai dengan unsur logam bera seperti mangan, kadmium, timbal, dan tembaga.
Kepak Sayap Rangkong Gading Makin Senyap
Selain pesut mahakam, satwa asli Kalimantan lain yang juga kondisinya makin memperihatinkan adalah rangkong. Populasi rangkong di Kalimantan mungkin memang lebih banyak ketimbang pesut mahakam. Namun peneliti rangkong gading di Yayasan Rekam Jejak Nusantara (YRJN), Yokyok Hadiprakarsa mengatakan bahwa rangkong menjadi satwa yang kerap dikesampingkan dalam aktivitas konservasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Karena itu, sampai saat ini sangat minim informasi tentang burung rangkong di Kalimantan. Penelitian pertama dan terbesar dilakukan oleh Yokyok dan timnya pada 2018 di bentang alam Kapuas Hulu selama setahun. Para surveyor melakukan perjalanan sejauh 858 kilometer dengan cakupan wilayah 56.214 hektar di 98 titik pengamatan.
Dari survei itu, Yokyok dan timnya menemukan 1.003 perjumpaan burung rangkong dan berhasil menjumpai delapan jenis rangkong.
“Dari 1.003 perjumpaan, 86,9 persennya itu perjumpaan suara baik dari panggilan atau calling maupun kepakan sayap, karena rangkong itu kan sukanya di puncak-puncak pohon jadi sulit untuk ditemui secara visual,” kata Yokyok.
Dari delapan jenis rangkong yang ditemui, jenis enggang cula atau Buceros merupakan yang paling banyak ditemui dengan persentase 65,4 persen. Setelah itu diikuti oleh enggang klihingan atau Anorrhinus galeritus sebesar 11,4 persen, rangkong gading atau Rhinoplax vigil sebesar 10,4 persen, dan julang emas atau Rhyceros undulates sebesar 9,6 persen. Sisanya baru diisi oleh jenis lain seperti Berenicornis, Rhabdortius, serta Anthracocerohracoceros yang perjummpaannya di bawah 2 persen karena memiliki habitat yang sangat spesifik.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, Yokyok tidak bisa memastikan bahwa populasi rangkong di Kalimantan ini memang dari dulu kecil atau ada penurunan. Pasalnya, tidak ada data pembanding sebelumnya terkait data rangkong di Kalimantan, terutama populasi rangkong gading.
“Jadi data kami ini akan menjadi baseline, karena sebelumnya kita tidak tahu sama sekali populasi rangkong gading di Kalimantan itu ada berapa, karena minimnya data,” ujarnya.
Namun ketika Yokyok melakukan investigasi rangkong gading sejak 2012, dia menemukan kondisi yang menyedihkan. Berdasarkan informasi masyarakat yang tinggal di sekitar habitat rangkong gading, perjumpaan mereka sudah semakin jarang bahkan di beberapa tempat sudah tidak pernah dijumpai lagi. Hal ini dikarenakan maraknya perburuan rangkong gading pada tahun tersebut.
“Dan ada responden yang mengatakan bahwa perburuan ini masih terjadi hingga saat survei dilakukan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sebanyak 80 persen masyarakat sekitar yang diwawancarai, mengatakan bahwa rangkong gading merupakan jenis rangkong yang paling banyak diburu untuk dijual. Padahal, rangkong gading merupakan simbol resmi provinsi Kalimantan Barat.
Perburuan besar-besaran rangkong gading pada 2012an untuk dijual akhirnya membuat burung tersebut mengalami krisis populasi. Dan pada 2019-an, praktik perburuan rangkong gading untuk dijual ini ternyata masih terus terjadi.
“Dan ini menurut saya fatal karena dikomersialisasikan, ini sangat tidak lestari,” kata Yokyok.
Perburuan Rangkong dan Degradasi Nilai Budaya Dayak
Burung rangkong memiliki tempat penting bagi budaya masyarakat Dayak. Dalam budaya masyarakat Dayak, rangkong berfungsi sebagai pelengkap ritual, pengobatan tradisional, simbol kesaktian, panglima burung, bahkan dianggap sebagai pelindung.
Masyarakat dayak zaman dulu memang menggunakan beberapa bagian burung rangkong sebagai ornamen, tapi tidak sembarang orang boleh mengenakannya. Hanya orang tertentu yang boleh pakai ornamen rangkong seperti dukun atau tetua adat, pendekar, serta pemimpin saja.
ADVERTISEMENT
“Berdasarkan referensi antropologi dan sebagainya, enggang merupakan dewa tertinggi bagi semua suku Dayak. Tapi faktanya kebalikan, sekarang rangkong justru diburu untuk dijual belikan bukan dilindungi,” kata Yokyok Hadiprakarsa.
Hilangnya pengetahuan tentang bagaimana leluhurnya menempatkan rangkong dalam budayanya, membuat banyak masyarakat Dayak generasi saat ini kemudian kurang menghargai satwa penting tersebut. Meskipun dia tidak menampik bahwa masih ada sejumlah masyarakat yang mengetahui peran rangkong dalam nilai-nilai budaya mereka.
“Kami meyakini telah terjadi degradasi nilai budaya dan kearifan tradisional dari etnis Dayak terhadap alam khususnya untuk rangkong,” ujarnya.
Agar Rangkong dan Pesut Bisa Berikan Uang Tanpa Diburu
Yokyok meyakini bahwa ada cara lain bagi masyarakat untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari rangkong tanpa harus memburunya. Menurutnya, konservasi memang bukan hanya perkara untuk melindungi dan mengamankan populasi rangkong, tapi bagaimana supaya masyarakat juga bisa mendapatkan manfaat ekonomi dari kegiatan konservasi tersebut.
ADVERTISEMENT
“Yang sedang kami dorong saat ini adalah ekowisata enggang di Kapuas Hulu,” ujarnya.
Dengan adanya ekowisata ini, dia berharap upaya konservasi rangkong bisa memberikan manfaat ekonomi secara langsung kepada masyarakat di sekitar habitat rangkong. Dengan begitu, bukan hanya bisa mengurangi perburuan, masyarakat juga akan ikut tergerak dalam melindungi burung rangkong tersebut.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Rahman Sugiyanto dari YK-RASI, salah satu upaya konservasi yang bisa dilakukan untuk mencegah kepunahan pesut mahakam adalah dengan membangun ekowisata pesut. Sebab, ketika pesut dapat memberikan manfaat ekonomi langsung kepada masyarakat, otomatis mereka akan tergerak untuk ikut terlibat dalam upaya konservasi tersebut.
“Saat ini kami juga sedang melakukan promosi dan pelatihan ekowisata pesut di daerah-daerah yang punya potensi untuk wisata,” kata Rahman Sugiyanto.
ADVERTISEMENT