Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Aprinus Salam Jadi Guru Besar UGM: Sastra Masih Gagap terhadap Isu SARA
6 Mei 2025 16:15 WIB
·
waktu baca 2 menit
ADVERTISEMENT
Universitas Gadjah Mada (UGM) mengukuhkan Aprinus Salam sebagai Guru Besar dalam bidang Sosiologi Sastra di Fakultas Ilmu Budaya. Pengukuhan berlangsung di Balai Senat UGM, Selasa (29/4), dengan pidato berjudul “Sastra, SARA, dan Politik Salah Paham.”
ADVERTISEMENT
Dalam pidatonya, Aprinus mengangkat persoalan pembatasan terhadap karya sastra yang mengangkat tema Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
“Dalam lomba penulisan puisi nasional hingga Maret 2025, masih ditemukan aturan bahwa karya sastra tidak boleh mempersoalkan SARA,” ujarnya.
Ia menyebut kekhawatiran terhadap tema SARA dalam karya sastra sebagai bentuk warisan dari kebijakan pengawasan pada masa kolonial, khususnya Nota Rinkes tahun 1910.
“Warisan kekuasaan kolonial dalam pengawasan dan pembatasan terhadap SARA ternyata terus diwarisi dan diperhalus dalam bentuk kekuasaan negara-bangsa,” katanya.
Aprinus menilai bahwa pembatasan semacam ini dapat menghambat proses demokratis dan kerja kreatif dalam dunia sastra.
“Karya sastra tidak ditulis untuk mempertajam perbedaan atau permusuhan. Tapi kita tidak bisa begitu saja menutup tema-tema itu dari kerja sastra,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Ia mengutip penelitiannya terhadap penyair dan novelis era Orde Baru yang saat itu harus menyesuaikan diri dengan tekanan sensor.
“Para penyair spiritualis tidak cukup dipahami oleh aparat keamanan dan sensor, dan karena itu lolos. Novel memilih cerita desa dan tokoh lokal untuk tidak menyentuh Jakarta dan kekuasaan pusat,” jelasnya.
Menurut Aprinus, pembatasan tema dalam sastra sering kali muncul dari lembaga negara, bukan dari masyarakat.
“Dalam sejarahnya, negaralah yang merasa perlu untuk membatasi, bukan masyarakat,” tuturnya.
Ia menyampaikan bahwa kekhawatiran terhadap tema SARA masih kuat dalam dunia sastra, meskipun tidak selalu disertai alasan yang adil dalam konteks seni dan budaya.
“Justru harus dicurigai ketika ada lembaga negara atau masyarakat yang terlalu cepat tersinggung dengan karya sastra,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Menutup pidato pengukuhannya, Aprinus menyampaikan ajakan untuk refleksi atas kondisi sastra di Indonesia saat ini.
“Sastra Indonesia masih gagap terhadap agama, etnis, dan politik golongan. Sering kita mengira bahwa kita toleran, padahal kita hanya sedang menahan bicara. Ini bukan toleransi, ini adalah ketakutan,” pungkasnya.