BAN-PT: Masih Banyak Oligarki di Kampus dalam Pemilihan Rektor, Itu Masalahnya

Direktur Dewan Eksekutif BAN-PT, Ari Purbayanto, mengatakan bahwa suara sebesar 35 persen dalam pemilihan rektor perguruan tinggi yang dimiliki oleh menteri adalah bagian dari good governance university atau tata kelola perguruan tinggi yang baik.
Ari mengatakan bahwa suara sebesar 35 persen yang dimiliki oleh menteri bukanlah bagian dari pengebirian kebebasan perguruan tinggi di dalam proses pemilihan rektor.
“Tetapi menurut saya, apabila universitas menghasilkan pilihannya yang terbaik, tiga terbaik, maka siapapun yang dipilih (menteri) saya pikir tidak jadi masalah,” kata Ari Purbayanto dalam konferensi pers Forum Penguatan Integritas Ekosistem Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Hotel Alana, Yogyakarta, Selasa (15/11).
Masalah sebenarnya menurut dia adalah adalah perguruan tinggi yang tak mampu menghasilkan calon-calon rektor yang berkualitas. Hal ini menurutnya karena masih ada oligarki atau kelompok-kelompok tertentu yang ingin mempertahankan kekuasaannya.
“Permasalahannya di universitas. Di universitas ada oligarki, ada kelompok-kelompok tertentu yang mungkin ingin mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai cara mempengaruhi,” lanjutnya.
Karena itu dia berharap adanya keberanian dari civitas akademika untuk mendobrak sistem oligarki tersebut. Civitas akademika menurutnya harus berani untuk mematahkan atau setidaknya mengingatkan kelompok tersebut bahwa oligarki kepemimpinan akan berdampak buruk bagi perkembangan kampusnya.
“Karena itu perlu adanya check and balance yang bagus,” ujarnya.

Fungsi pengecekan dan penyeimbangan di dalam perguruan tinggi menurut dia bisa dijalankan oleh senat akademik. Senat akademik inilah yang mesti kritis terhadap kelompok-kelompok oligarki tersebut.
“Jadi suara menteri, kalau ada tiga itu yang terbaik diberikan kemanapun harusnya enggak perlu komplain,” kata dia.
Permasalahannya adalah tiga nama yang dipilih dan diajukan di tingkat universitas, terkadang adalah bagian dari kelompok oligarki tersebut. Akibatnya, proses pemilihan rektor memunculkan polemik dan ketidakpuasan.
Kampus menurut dia juga harus memiliki kriteria dalam memilih rektor, misalnya harus profesor atau lektor kepala, memiliki rekam jejak yang bersih bahkan jika perlu ditanyakan ke KPK.
“Tapi proses itu dilakukan enggak sama universitas? Masalahnya di situ. Kalau itu dilakukan, tiga besar yang dipilih, saya pikir siapapun nanti yang menjadi rektor adalah pemimpin terbaik universitas tersebut,” tegas Ari Purbayanto.
Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, mengatakan bahwa KPK terbuka dengan laporan-laporan dari civitas akademika maupun masyarakat umum jika memang terdapat praktik korupsi atau konflik kepentingan di dalam proses pemilihan rektor di perguruan tinggi.
“Kalau laporannya jelas, kemudian ada bukti awal, nanti akan ditelusuri oleh KPK,” kata Wawan Wardiana.
Namun jika sejak awal laporannya sudah tidak jelas, tidak ada bukti awal, apalagi saat KPK meminta informasi lebih lanjut pelapor justru tidak bisa memberikannya, maka menurutnya sulit juga bagi KPK untuk menindaklanjuti laporan tersebut.