Bank Dunia Bilang Rata-rata Kekayaan Kita Rp 2 Miliar, Maksudnya Apa Sih?

Konten Media Partner
3 November 2021 13:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ternyata, rata-rata kekayaan penduduk sebesar Rp 2 miliar yang dinyatakan Bank Dunia bukanlah sesuatu yang luar biasa. Sebaliknya, malah menunjukkan masalah kemiskinan kita. Loh?
Ilustrasi oleh: ESP
Bank Dunia merilis laporan kekayaan negara-negara dunia dalam ‘The Change Wealth of Nations 2021’ akhir Oktober kemarin. Dalam laporan itu, disebutkan bahwa kekayaan rata-rata orang Indonesia mencapai 144.303 USD, atau lebih dari Rp 2 miliar pada 2018.
ADVERTISEMENT
Angka yang cukup fantastis, tapi apakah itu artinya kita punya harta sebesar Rp 2 miliar tiap orang? Apakah artinya kita, setiap warga Indonesia punya rumah seharga Rp 1,5 m lalu mobil Rp 300 juta dan uang cash di tabungan Rp 200 juta, begitu? Tapi ternyata, tidak. Sungguh sedih. Sebaliknya, rata-rata kekayaan penduduk Rp 2 miliar versi Bank Dunia itu menunjukkan kita semua masih miskin. Simak penjelasan ekonom sebagai berikut.
Guru Besar Fakultas Ekonomika (FEB) UGM yang juga Rektor Universitas Trilogi Jakarta, Mudrajad Kuncoro, mengatakan angka Rp 2 miliar tersebut bukanlah seperti yang banyak orang kira. Dan sebenarnya, rata-rata kekayaan penduduk sebesar Rp 2 miliar juga bukan sebuah capaian yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, metode yang dipakai oleh Bank Dunia untuk menghitung rerata kekayaan tersebut adalah purchasing power parity (PPP) atau paritas daya beli. Berdasarkan metode tersebut, nilai kekayaan yang dimaksud adalah seluruh aset kekayaan negara yang kemudian dibagi rata dengan jumlah penduduk Indonesia.
“Laporan itu memasukkan sumber daya alam, aset produksi, dan sumber daya manusia sebagai aset kekayaan negara,” kata Mudrajad Kuncoro saat dihubungi, Minggu (31/10).
Mudrajad Kuncoro. Foto: Dokumen Universitas Trilogi
Sumber daya alam yang dimaksud meliputi sumber daya ekstraktif atau tambang seperti gas, minyak, batu bara, timah, emas dan sebagainya, maupun sumber daya yang terbarukan seperti hutan, lahan pertanian, maritim, dan sebagainya. Maka tidak heran jika aset kekayaan yang terhitung sangat besar.
Apalagi, jumlah penduduk juga dihitung sebagai aset kekayaan juga. Karena merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, maka tidak heran jika total aset yang dimiliki juga menjadi sangat besar.
ADVERTISEMENT
“Karena memasukkan sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia, maka nilainya jadi sangat besar,” lanjutnya.
Karena itu, nilai Rp 2 miliar yang dimaksud oleh Bank Dunia kurang bisa mencerminkan berapa nilai aset kekayaan yang dimiliki tiap penduduk. Karena nilai itu adalah rata-rata total seluruh aset kekayaan negara dibagi dengan jumlah penduduk. Angka ini menjadi semakin bias dengan melebarnya ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia, terlebih setelah pandemi ini.
“Apalagi laporan Bank Dunia itu kan dari tahun 1995 sampai 2018, sebelum pandemi. Setelah pandemi tentu sudah sangat berbeda,” ujarnya.
PR di Balik Kekayaan Rp 2 Miliar
Pekerja Jakarta di sore hari beranjak pulang. Foto: ESP
Tujuan utama dari laporan Bank Dunia menurut Mudrajad justru untuk memperingatkan pemerintah di setiap negara untuk menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai kebijakan mainstream. Laporan itu juga bertujuan mendorong negara-negara untuk mendiversifikasi dan melakukan pertimbangan kembali aset portofolio, terutama negara-negara berbasis sumber daya alam yang melimpah.
ADVERTISEMENT
Ke depan, negara-negara itu menurutnya perlu mempertimbangkan, seandainya sumber daya alam yang dimiliki habis maka harus bisa mengantisipasi jauh-jauh hari sebelumnya dengan berbagai cara, terutama dengan cara meningkatkan daya saing dan sumber daya alam yang berkelanjutan.
“Kalau nanti sumber daya alamnya habis, maka dia tidak memiliki pendapatan lagi, nanti jadi seperti kota mati,” ujar Mudrajad Kuncoro.
Indonesia, menurutnya menjadi salah satu negara yang mesti waspada, karena selama ini masih terlalu banyak mengandalkan pendapatan dari industri ekstraktif yang tidak berkelanjutan. Sebagai contoh, para ahli energi memprediksi cadangan minyak dan gas bumi Indonesia akan habis pada 2025.
Mengingat cadangan energi yang semakin menipis, maka Indonesia perlu menggenjot pembangunan yang berbasis pada sumber daya alam yang lebih terbarukan. Selain itu, Indonesia juga perlu mengembangan perekonomian yang berbasis pada tenaga kerja yang terampil.
ADVERTISEMENT
“Bukan hanya jumlahnya banyak tapi unskilled worker, tapi skilled worker sehingga bisa kompetitif,” ujarnya.
Ketergantungan pada SDA Membuat Pertumbuhan Ekonomi Kurang Optimal
Ilustrasi pertambangan. Foto: Humas Pemda Kaltim
Ekonom CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan bahwa meskipun kekayaan Indonesia mengalami peningkatan, namun jika dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia, Chile, serta Rusia, pertumbuhannya masih kalah jauh. Hal itu menjadi salah satu alasan kenapa Indonesia, meski terdengar fantastis kekayaan per penduduk Rp 2 miliar, namun ternyata masih masuk ke dalam negara dengan pendapatan menengah ke bawah.
“Peningkatan kekayaan Indonesia dibandingkan negara seperti Malaysia, Chile, dan Rusia sebenarnya masih underperform,” kata Bhima Yudhistira ketika dihubungi, Jumat (29/10).
Salah satu penyebab kurang optimalnya peningkatan kekayaan ini karena Indonesia masih sangat tergantung pada sumber daya alam atau industri ekstraktif. Potensi sumber daya alam yang melimpah justru membuat Indonesia terjebak untuk melakukan kapitalisasi yang tinggi pada aspek tersebut.
ADVERTISEMENT
Padahal, nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor industri ekstraktif relatif rendah. Sejak 1996 hingga 2021, menurutnya sektor ini terus mengalami pelemahan basis industri pengolahan sehingga kontribusi ekspor yang bernilai tambah juga kecil.
“Harusnya mulai beralih ke sektor hi-tech (teknologi tinggi) dan industri yang berdaya saing,” ujarnya.
Bhima Yudhistira. Foto: Dok. pribadi
Di sisi lain, konsentrasi kekayaan di sektor pertambangan dan perkebunan masih dikuasai oleh segelintir konglomerasi saja. Ketimpangan ekonomi ini terus berlanjut hingga saat ini, ditunjukan dengan rasio gini yang menunjukkan ketimpangan dari sisi pengeluaran 20 persen kelompok paling atas dan 40 persen kelompok ekonomi terbawah terus meningkat sejak 1996 sampai 2021. Dimana rasio gini pada 1996 ada pada level 0,335 sedangkan pada 2021 per Maret berada pada level 0,385.
ADVERTISEMENT
“Isu sentralnya soal pemerataan atau kualitas pertumbuhan ekonomi dinikmati 20 persen kelompok pengeluaran atas. Akarnya di ketimpangan,” ujarnya.
Tingginya angka ketimpangan itu berakibat pada tidak proporsionalnya penguasaan kekayaan. Maka, tak heran jika banyak yang merasa tidak menikmati pertumbuhan kekayaan yang mencapai angka Rp 2 miliar per penduduk itu. Apalagi, saat ini Indonesia memiliki 115 juta penduduk yang berada pada kelompok kelas menengah rentan.
“Wajar kalau ada yang protes, saya kok enggak sampai Rp 2 miliar per tahun ya?” ujar Bhima Yudhistira. (Widi Erha Pradana / YK-1)