Banyak Pendaki Hilang di Gunung Sumbing, Ini Peta Pendakian yang Akurat

Konten Media Partner
24 November 2021 19:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sebagai gunung tertinggi ketiga di Jawa, Sumbing jadi salah satu tujuan paling populer bagi para pendaki. Namun jalur pendakiannya ternyata memakan cukup banyak korban jiwa.
Tim penyusun data pendakian PSAINS, FMIPA UGM. Foto: Dok. PSAINS UGM
Maret 2019, ditemukan kerangka manusia di puncak Gunung Sumbing. Fatur Rochman, 16 tahun, meninggal dunia akibat hipotermia ketika mendaki Gunung Sumbing pada April 2019. Yoshi Dwi Saksono, 22 tahun, ditemukan tewas tertimpa longsoran tanah dan bebatuan di Gunung Sumbing pada Desember 2019.
ADVERTISEMENT
Pada tahun yang sama, Mei 2019, remaja berusia 12 tahun bernama Indrian Rizky Rahayu, juga nyaris menjadi korban ketika melakukan pendakian gunung tertinggi ketiga di Jawa ini. Beruntung, setelah hilang selama dua hari karena terpisah dari rombongannya, dia berhasil ditemukan oleh Tim SAR dalam kondisi hidup.
Sebagai gunung tertinggi ketiga di Jawa setelah Semeru dan Slamet, Sumbing jadi salah satu gunung paling populer bagi para pendaki. Namun di balik itu, Sumbing ternyata memakan cukup banyak korban jiwa, terutama sebelum pandemi ketika tren naik gunung sedang tinggi-tingginya.
Landscape bentang alam Gunung Sumbing. Foto: Dok. PASAINS
Melihat persoalan itu, empat mahasiswa FMIPA UGM yang tergabung dalam PASAINS, organisasi mahasiswa pecinta alam di FMIPA UGM, melakukan penelitian untuk mengebangkan peta jalur pendakian di jalur pendakian Gunung Sumbing. Keempat mahasiswa itu adalah Alif Kurniawan, Annisa Dwi Putri, Natalia Rani Dewanti, serta Alfian Surya Rahmadan.
ADVERTISEMENT
Alif, ketua tim penelitian tersebut mengatakan bahwa banyaknya kecelakaan yang terjadi di Gunung Sumbing selama ini terutama disebabkan karena masih minimnya informasi tentang kondisi jalur pendakian. Masalah ini akan sangat dirasakan terutama oleh para pendaki yang sebelumnya belum pernah mendaki Sumbing.
Apalagi, kondisi jalur pendakian Gunung Sumbing menurut Alif sulit untuk ditebak karena banyak tertutup oleh pohon tumbang, adanya jalur cabang yang baru, serta perubahan posisi plang informasi di tiap pos pendakian.
“Kalau kita lihat di tiap basecamp, itu petanya hanya dari Google Earth dan hanya diberi garis manual, jadi seringkali tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya,” kata Alif saat dihubungi, Selasa (23/11).
Puncak Rajawali Gunung Sumbing. Foto: Dok. PASSAINS
Sedangkan Alif dan timnya, membuat peta jalur pendakian dengan cara mendaki langsung sehingga peta yang dihasilkan lebih sesuai dan akurat dengan kontur yang sebenarnya di lapangan. Misalnya terkait dengan koordinat pos-pos pendakian, sumber mata air, daerah bahaya, ketinggian tempat-tempat penting di jalur pendakian, panjang jalur, hingga jarak antarpos pendakian.
ADVERTISEMENT
“Juga perbedaan tinggi dan kelerengan tiap lokasi,” lanjutnya.
Selain data-data itu, mereka juga mengumpulkan data berupa lokasi basecamp pendakian, tata cara perizinan pendakian, foto keadaan jalur pendakian, deskripsi tentang jalur pendakian, hingga estimasi waktu tempuh pendakian. Semua data itu, mereka jadikan sebuah buklet pariwisata dan peta pendakian dari masing-masing jalur pendakian.
“Sehingga bisa benar-benar jadi pedoman para pendaki. Harapannya tidak terjadi lagi kecelakaan-kecelakaan di Gunung Sumbing yang tidak diharapkan,” ujarnya.
Adapun empat jalur pendakian yang telah diteliti dan dihasilkan peta terbarunya di antaranya Jalur Cepit untuk wilayah utara, Jalur Banaran di sebelah timur, Jalur Butuh Kaliangkrik di sebelah Selatan, serta Jalur Bowongso di sebelah barat. Total untuk melakukan pemetaan itu mereka membutuhkan waktu tiga bulan, dari Agustus sampai November.
ADVERTISEMENT
“Semua hasilnya sudah kami serahkan ke masing-masing basecamp pendakian,” kata Alif Kurniawan. (Widi Erha Pradana / YK-1)