Konten Media Partner

Belum Tentu Overpopulasi, Yogya Perlu Sensus Monyet

27 Januari 2022 17:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM Pudji Astuti, memperingatkan bahwa jangan buru-buru dulu mengatakan monyet ekor panjang di DIY overpopulasi sebelum melakukan sensus dengan rutin dan cermat.
Petugas dari BKSDA (kanan) bertemu dengan Kepala Desa dan warga Sriharjo, Imogiri, Bantul pada akhir tahun lalu. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Petugas dari BKSDA (kanan) bertemu dengan Kepala Desa dan warga Sriharjo, Imogiri, Bantul pada akhir tahun lalu. Foto: Istimewa
Intensitas konflik antara monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dengan penduduk di sejumlah daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terus meningkat setiap tahun. Membludaknya populasi monyet disebut-sebut sebagai salah satu penyebab konflik tersebut. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), bahkan berencana untuk mengekspor monyet ekor panjang di DIY ke luar negeri untuk keperluan biomedis sebagai upaya pengendalian populasi.
ADVERTISEMENT
“Populasi monyet ekor panjang memang semakin banyak, dibarengi dengan berkurangnya jumlah predator di antaranya biawak, ular, dan elang,” kata Kepala BKSDA DIY, Muhammad Wahyudi, ketika dihubungi pekan kemarin.
Namun, Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM yang aktif meneliti primata, Pudji Astuti, memperingatkan bahwa jangan buru-buru dulu mengatakan monyet ekor panjang di DIY overpopulasi. Bisa jadi, monyet ekor panjang hanya seolah-olah overpopulasi, tapi sebenarnya jumlahnya masih di batas normal.
“Kita harus waspada, kelihatannya overpopulasi tetapi sebetulnya tidak. Jangan sampai kita terkecoh,” kata Pudji Astuti, Selasa (25/1).
Guru Besar FKH UGM, Pudji Astuti. Foto: Istimewa
Populasi monyet bisa terlihat sangat besar menurutnya juga bisa karena habitatnya yang terus terdesak dan makin sempit. Dengan habitat yang makin sempit, otomatis kepadatan populasinya jadi makin tinggi, meskipun sebenarnya jumlah individunya masih sama.
ADVERTISEMENT
Satu atau dua kasus kawanan monyet yang masuk ke perkebunan dan perkmukiman penduduk, menurut dia tidak bisa jadi ukuran bahwa monyet di DIY sudah overpopulasi. Bisa jadi tingginya kepadatan populasi monyet hanya terjadi di lokasi tertentu saja, bukan di DIY secara luas. Karena itu, sebelum menentukan langkah pengurangan populasi, perlu dilakukan sensus apakah benar populasinya sudah berlebihan atau tidak.
“Dan sensus itu harus selalu rutin dan cermat, biar tahu perkembangan populasinya seperti apa. Bisa jadi karena habitatnya makin sempit sehingga populasinya terlihat sangat besar,” lanjutnya.
Jika sampai salah atau keliru dalam menghitung, populasi yang sebenarnya masih normal tapi dikira sudah berlebihan kemudian dilakukan pengurangan populasi, petaka bisa terjadi. Lama-lama, stok populasi mereka di alam bisa habis, padahal mereka juga punya peran penting di habitat sebagai penyebar biji tanaman.
ADVERTISEMENT
“Kalau mereka habis, tentu akan ada beberapa tanaman yang juga hilang karena tidak ada yang menyebarkan bijinya lagi,” kata Pudji Astuti.
Pakar primata UGM, Wisnu Nurcahyo. Foto: Dok. Pribadi
Sementara itu, pakar primata lain dari FKH UGM, Wisnu Nurcahyo, menjelaskan bahwa kepadatan monyet ekor panjang paling ideal adalah 1 ekor per 1 hektar. Namun sejumlah literatur lain juga ada yang mengatakan kepadatan ideal 2 sampai 3 ekor per km persegi.
Kepadatan ini menurutnya juga sangat ditentukan oleh daya dukung habitat, terutama ketersediaan sumber pangan di dalamnya. Sehingga satu kawasan dengan kawasan lain bisa berbeda kepadatan populasi idealnya. Makin bagus daya dukungnya, tentu bisa menampung makin banyak monyet ekor panjang.
“Kalau makin banyak (populasinya) itu makin meningkat juga kontk fisik, perebutan betina, pakan, dan sumber air,” ujar Wisnu Nurcahyo, Rabu (26/1).
ADVERTISEMENT
Penghitungan kepadatan populasi monyet bisa dilakukan menggunakan metode transek, dengan menghitung jumlah populasi pada suatu kawasan atau kotak. Dari situ nanti akan diperoleh populasi per kilometer persegi.
“Dilihat juga berapa kapasitas daya dukung habitat (carrying capacity) di kawasan tersebut,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)