Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Bercita-cita Tinggal di Panti Jompo, Tweet Gadis 28 Tahun di-Retweet 9.500 Kali
7 November 2021 17:00 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Belakangan viral di media kasus Ibu Trimah yang dititipkan ke panti jompo yang membuat anak-anaknya dihujat dan dicap durhaka oleh netizen. Panti jompo memang masih dianggap aib: tempat buangan bagi orang-orang lanjut usia. Tapi ternyata ada juga anak-anak muda yang justru berencana menghabiskan masa tuanya di panti Jompo.
ADVERTISEMENT
Rehuellah Angela, umurnya masih 28 tahun dan belum menikah. Dia tinggal di Jakarta, bekerja sebagai freelancer instruktur zumba dengan gaji Rp 5 juta sebulan. Itu bukan pekerjaan yang bisa dibilang stabil dan bukan pula gaji yang besar untuk hidup nyaman di ibu kota. Tapi niat Angela sudah bulat. Ia ingin menghabiskan masa tua di panti wreda atau panti jompo.
“List panti Jompo fancy yang akan aku survey 40tahun lagi buat jadi tempat tinggalku nanti..,” demikian tweet Angela pada 30 Oktober lalu, atau 7 hari yang lalu, yang kini sudah mendapat total retweet 9500-an kali.
Jangan dikira Angela adalah anak-anak muda yang tak ingin menikah dan melajang seumur hidupnya sehingga masa tua tetap sendiri sehingga masuk akal untuk tinggal di panti jompo. Angela juga bukan penganut childfree.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, Angela tetap anak muda yang membayangkan menikah, punya anak, punya cucu. Bedanya hanya Angela tak mengimpikan kebahagian hidup bersama dengan anak cucu dalam satu atap.
Berkumpul dengan anak dan cucu di masa tua tentu akan memberikan kebahagiaan tersendiri. Tapi untuk tinggal dengan mereka, Angela tak bernah bermimpi.
“Anak cucu akan punya kehidupan sendiri dan saya pun di masa tua juga masih ingin punya kehidupan sendiri. Kita nggak boleh menggantungkan kebahagian satu-sama lain,” jelasnya melalui DM message, Jumat (5/11).
Film The Notebook
Merunut sejak kapan ia bercita-cita tinggal di panti jompo kelak saat tua nanti, Angela ingat saat suatu hari, bertahun lalu, mendengar cerita adik neneknya yang tinggal di Belanda. Karena tak memiliki anak, adik neneknya kemudian memilih tinggal di panti wreda bersama suaminya.
ADVERTISEMENT
Sejak itu, Angela mulai banyak menonton film-film berlatar nursing home atau panti jompo. Salah satu yang paling berkesan adalah The Notebook, film romantis garapan sutradara Nick Cassavetes yang mengadopsi sebuah novel karangan Nicholas Sparks pada 1996.
“The Notebook membuat saya mulai mencari tahu tentang nursing home atau panti jompo yang ada di Jakarta,” ujarnya.
Angela membayangkan akan sangat menyenangkan tinggal di panti wreda, bersama teman-teman sebayanya kelak. Berbagi cerita tentang masa muda masing-masing, tentang anak cucu mereka yang menggemaskan, tentang jatuh cinta dan patah hati yang pernah mereka alami saat remaja, tentang apapun yang tidak akan membosankan meski diceritakan berulang-ulang.
Berbeda kalau dia tinggal di rumah, jika ingin bertemu dengan teman sebaya tentu harus keluar, dan itu akan sangat sulit seiring semakin menurunnya kemampuan fisik. Bercerita dengan anak cucu pun rasanya kurang menyenangkan, bagaimanapun mereka punya zaman yang berbeda dengan kisahnya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Inspirasi Magang di Jepang
Dwi Apriliyanto, seorang cowok berusia 24 tahun, kuliah semester akhir di Jurusan Boga Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) memiliki cita-cita yang sama dengan Angela.
Sepulang magang di Jepang selama setengah tahun 2019 silam, Dwi mulai terpikir untuk menghabiskan masa tuanya di panti wreda. Di sana, dia melihat betapa orang-orang bekerja keras di usia mudanya supaya di usia tua bisa tinggal di panti wreda dan tidak merepotkan orang lain, termasuk anak-anak mereka.
Sebab, mereka paham jika sudah menginjak usia 20 tahun ke atas, anak-anak mereka akan memiliki kesibukan yang luar biasa untuk mengejar karier, finansial, dan apapun itu. Jadi, mereka memilih untuk menabung sebanyak mungkin di usia muda supaya ketika tua nanti bisa menghidupi diri sendiri dengan tabungan itu.
ADVERTISEMENT
“Aku mikir, bener juga. Sekarang aja aku ngalamin kayak gitu, sibuk ngurus ini itu, di sisi lain di rumah ada ibu sama bapak, jadi agak keteteran juga,” kata April yang kini masih berjuang menyelesaikan studinya sembari bekerja sampingan di sebuah perusahaan kulinari di Jogja.
Mengeksekusi Rencana
Rehuellah Angela tak main-main dengan rencananya. Ia rutin mencari panti jompo impian di internet dan mencatatnya baik-baik.
“Pinginnya tinggal di panti jompo yang konsepnya kayak sekolah atau day care untuk senior, misalnya kayak di Pantai Indah Kapuk,” katanya.
Dari pendapatan sekitar Rp 5 juta sebulan, dalam setahun terakhir Angela teguh memegang erat 10 persen untuk ditabung.
Tapi, hidup di tengah masyarakat ibukota bukan perkara gampang untuk menabung. Seringkali dia mesti menolak ajakan teman-temannya untuk jalan-jalan ke mal, atau sekadar nongkrong di kafe-kafe elit ibukota.
ADVERTISEMENT
Sepuluh persen dari gajinya bukan nilai yang besar. Itu kenapa targetnya tak muluk-muluk. Dia butuh waktu 40 tahun supaya nilai tabungannya sesuai dengan yang dia inginkan.
“Itupun saya harus berpikir untuk investasi lain, baik investasi jangka panjang maupun pendek karena kalau cuma dari tabungan enggak mungkin cukup,” kata Angela.
Hidup serba hemat dan jarang nongkrong tentu ada konsekuensi, apalagi bagi anak-anak muda seperti Angela. Teman-temanya sering menganggap ia kurang asyik. Tapi, itu tak terlalu dipikirkan. Sebab, Angela punya rencana.
“Lebih baik dianggap enggak asyik semasa muda, ketimbang hidup menderita saat tua,” kata Angela.
Sementara Dwi Apriliyanto yang sembari menyelesaikan tugas akhirnya sudah bekerja di sebuah perusahaan kulinari di Jogja harus menghadapi sulitnya bersiasat dengan pendapatan UMR Jogja.
ADVERTISEMENT
Jungkir balik ia berusaha menabung hingga 30 persen dari gajinya yang Rp 2 juta kurang sedikit itu
Untungnya, dia masih tinggal bersama orangtuanya. Sehingga gajinya tak perlu dipotong lagi dengan tetek bengek kebutuhan lain seperti tempat tinggal yang tentu akan membuatnya makin sulit untuk menabung.
“Kita mungkin punya banyak mimpi, tapi UMR Jogja bikin kita harus benar-benar jungkir balik mengejarnya,” katanya.
Dwi Apriliyanto merasa butuh pekerjaan yang lebih baik di kota ini.
“Atau bisnis, buka warung, buka bisnis apa saja untuk kebutuhan mahasiswa. Sepertinya itu lebih masuk akal untuk bisa menabung untuk hari tua. Soal modal awal? Itu PR masa muda biar masa tua tak ngerjain PR lagi,” kata Dwi terkekeh. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT