Bulan Depan PKL Malioboro Direlokasi, Ini Jejak PKL Malioboro sejak Abad ke-19

Konten Media Partner
23 Januari 2022 14:35 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penjual sirup (minuman dingin) di jalan utama Malioboro di Yogyakarta pada 1934. Foto: Wikipedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Penjual sirup (minuman dingin) di jalan utama Malioboro di Yogyakarta pada 1934. Foto: Wikipedia Commons
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari ini, ribuan pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang Jalan Malioboro sedang menghitung hari-hari terakhirnya. Bulan depan, mereka sudah harus pindah ke tempat yang baru, yakni di gedung eks Bioskop Indra dan di bekas kantor Dinas Pariwisata DIY. Meski sudah puluhan tahun jadi ikon jalan paling terkenal di Jogja itu, mereka tak punya pilihan lain selain mengikuti aturan pemerintah untuk direlokasi.
ADVERTISEMENT
PKL di Malioboro memang telah melewati jalan yang sangat panjang. Budayawan Jogja, Achmad Charris Zubair, mengatakan bahwa PKL-PKL mulai menempati jalan Malioboro sejak awal 1970-an. Namun, embrio dari para PKL itu sebenarnya sudah ada sejak akhir abad ke-19, atau awal abad ke-20
Saat itu, Jalan Malioboro belum jadi pusat perekonomian seperti sekarang. Belum ada pertokoan, apalagi mall. Satu-satunya pusat perekonomian saat itu adalah di Pasar Beringharjo.
Patih Danureja kemudian mengizinkan para abdi dalemnya untuk berdagang di depan Kepatihan. Setelah itu, orang-orang kaya di Kampung Ketandan atau Pecinan, juga mulai ikut membuka toko. Hal itu diikuti juga oleh orang-orang dari daerah lain seperti Kotagede, yang juga membuka toko dan berjualan di kawasan Malioboro.
ADVERTISEMENT
“Akhirnya ramai dan jadi pusat perekonomian, bukan hanya di ruas Malioboro, tapi juga dari Tugu sampai Nol Kilometer,” kata Achmad Charris Zubair ketika dihubungi, Jumat (21/1).
Keramaian Malioboro di akhir tahun lalu. Foto: ESP
Ketika Malioboro makin ramai dan jadi pusat perekonomian, datanglah orang-orang yang jualan di pinggir jalan. Ada yang jualan makanan, kai, dan sebagainya. Namun karena tak punya toko, mereka terpaksa membuka lapak-lapak dagangan di ruang-ruang sempit yang tersisa, seperti di depan pertokoan misalnya.
“Merekalah yang kemudian saat ini kita kenal sebagai pedagang kaki lima, puncaknya sekitar awal tahun 1970-an,” ujarnya.
Meski menempati halaman milik toko-toko di Malioboro, namun Charris mengatakan para PKL dan pemilik toko tak pernah terlibat masalah serius. Keduanya punya perjanjian dan etik tak tertulis sehingga tidak saling merugikan. Misalnya, PKL tidak menjual barang yang sama dengan yang dijual pemilik toko serta tidak menghalangi pintu masuk toko.
ADVERTISEMENT
Sejak itu, PKL Malioboro terus berkembang, jumlahnya terus bertambah dan barang yang dijual makin beragam. Puluhan tahun mereka menempati trotoar di sepanjang Jalan Malioboro, sampai mereka memegang peran penting dalam perekonomian di sana. Bahkan, mereka jadi ikon tersendiri untuk Jalan Malioboro, yang membuatnya memiliki ciri khas tersendiri dari tempat-tempat lain.
“Karena itu seharusnya mereka juga tidak dihilangkan dari Malioboro,” ujarnya.
Bagaimanapun, PKL memiliki peran penting untuk Malioboro untuk menjaring segmentasi pasar tertentu dengan cara yang sederhana, harga terjangkau bahkan bisa tawar menawar, serta cara-cara tradisional lain yang menciptakan proses transaksi antara penjual dan pembeli lebih hangat.
Namun di sisi lain, PKL juga menggunakan lahan yang sebenarnya bukan hak mereka, yakni hak para pemilik toko dan pejalan kaki. Dalam situasi seperti ini, pemerintah meski membuat kebijakan yang bisa mengharmoniskan dan mengakomodir semua kepentingan baik pemilik toko, PKL, pejalan kaki, serta pihak-pihak lain yang ada di Malioboro.
ADVERTISEMENT
“Penataan yang sedang direncanakan pemerintah saya pikir kebijakan yang positif, karena nanti menyangkut kebersihan, keamanan, dan kenyamanan pejalan kaki dan pemilik toko, karena mereka (PKL) kan menggunakan hak orang lain,” kata Achmad Charris Zubair. (Widi Erha Pradana / YK-1)