Buntut Panjang Hobi Burung Kicau dan Kelahiran Burung Alien

Konten Media Partner
7 Juni 2021 19:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Burung anis merah yang menjadi burung lambang Kabupaten Sleman, DIY. Foto: Infobaru.id
zoom-in-whitePerbesar
Burung anis merah yang menjadi burung lambang Kabupaten Sleman, DIY. Foto: Infobaru.id
ADVERTISEMENT
Banyak jenis burung yang saat ini populasinya justru lebih banyak di kandang ketimbang di alam. Dari catatan Burungnesia, burung cucak rowo di kandang atau di pasar burung ada 1.547 individu, sedangkan di alam tidak ada, burung poksai mantel di kandang ada 2.601 individu sedangkan di alam hanya tercatat satu individu, burung nuri Maluku di kandang ada 1.231 individu namun di alam tidak pernah tercatat, jalak suren di kandang ada 1.741 namun di alam hanya ada tiga individu.
ADVERTISEMENT
Hal serupa juga terjadi pada banyak jenis burung lain seperti anis merah, kacamata biasa, takur api, manyar tempua, cucak kuricang, dan masih banyak jenis burung lain.
Angka tersebut didapatkan dari pengamatan Burungnesia di 27.000 lokasi di Indonesia sejak 2016 sampai 2020. Sementara angka di sangkar didapatkan dari publikasi 23 judul paper di 50 lokasi pasar pada 2005 sampai 2020
“Dari sekian banyak lokasi pengamatan Burungnesia dan hanya sedikit pasar burung, perbandingannya sangat mengkhawatirkan,” kata pendiri Burungnesia, Swiss Winasis Bagus Prabowo dalam serial diskusi Human-Wildlife yang diadakan secara daring oleh Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Universitas Padjadjaran dan sejumlah organisasi lain akhir pekan kemarin.
Foto: Widi Erha Pradana
Tidak seimbangnya populasi burung di Indonesia tidak lepas dari fenomena kicau mania, atau penggemar burung kicau di Indonesia. Dalam The first Asian Songbird Trade Crisis Summit 2015, ada 28 jenis burung yang dikategorikan ke dalam burung kicau. Namun faktanya jumlahnya jauh lebih banyak dari itu, bahkan burung yang tidak bisa berkicaupun saat ini banyak dipelihara seperti pelatuk, burung hantu, dan beberapa jenis burung lain.
ADVERTISEMENT
“Artinya ada banyak sekali jenis yang sekarang sudah masuk ke dalam burung kicau,” lanjutnya.
Fenomena perburuan burung di Indonesia juga telah mengalami perubahan. Jika dulu burung-burung yang ditangkap dipilih hanya yang laku dan bisa berkicau saja, kini semua burung yang ada di hutan ditangkap semua dulu dan dibawa keluar. Perkara laku atau tidak, harganya mahal atau murah, itu urusan belakangan, yang penting mereka ditangkap dulu.
Semakin banyaknya jenis burung yang kini menjadi burung peliharaan tentu saja berdampak sangat signifikan pada perubahan distribusi burung. Dampaknya, hal ini akan memunculkan semakin banyak spesies alien, yakni spesies burung yang keluar dari habitat aslinya dan hidup di habitat baru yang sebenarnya bukan habitatnya. Spesies alien ini jika dia bisa survive dan melakukan regenerasi di habitat barunya, dia akan menjadi spesies invasif yang sangat berbahaya bagi keseimbangan ekosistem asli.
ADVERTISEMENT
“Misalnya bondol haji di Kalimantan, kalau dia bisa beranak pinak dia bisa menginvasi spesies asli di Kalimantan,” kata Swiss Winasis.
Apakah Penangkaran Lebih Baik dari Membiarkan Burung Hidup di Alam?
Burung cucak rowo, burung kicau termahal di Indonesia. Foto: Picture-bird-web
Para pecinta maupun penangkar burung selalu punya alasan mengapa mereka memelihara burung di dalam sangkar. Alasannya, burung akan lebih aman jika ada di dalam sangkar karena hutannya sudah banyak hilang. Daripada mereka mati karena habitatnya rusak, lebih baik burung-burung itu dikandangkan saja sehingga bisa aman dan beranak pinak.
Namun yang jadi masalah kata Swiss adalah, implementasi Permenhut No. 19 tahun 2005 yang mengatur tentang mekanisme restocking burung ke alam tidak berjalan dengan baik. Aturan yang mengatakan bahwa penangkar harus melepasliarkan 10 persen dari burung yang dihasilkan, nyatanya tidak dipatuhi oleh semua penangkar.
ADVERTISEMENT
“Aturan restocking penangkar itu faktanya tidak berjalan dengan baik,” kata Swiss Winasis.
Hal sama sebenarnya juga terjadi kepada satwa liar lain, tidak hanya burung. Misalnya beruang, harimau, ular, buaya, primata, dan berbagai jenis satwa liar lain.
Peneliti di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Haryono, mengatakan bahwa budaya memelihara satwa liar endemik sebenarnya sudah terjadi sejak ribuan tahun yang lalu.
Sekitar 3.500 tahun sebelum masehi di ibukota Mesir, terdapat penampungan satwa eksotis hasil tangkapan seperti gajah dan kuda nil. Kaisar Mongol, Kubilai Khan, juga pernah memelihara macan tutul, harimau, cheetah, gajah, dan sekitar 200 spesies burung di taman pribadinya.
“Memelihara hewan ini memang sudah menjadi kultur budaya manusia untuk menyatu dengan alam, di antaranya dengan hewan,” kata Haryono.
ADVERTISEMENT
Mengapa Orang Memelihara Satwa Liar?
Peneliti di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Haryono. Foto: Widi Erha
Ada beberapa motivasi orang-orang memelihara satwa liar eksotik, pertama sebagai mainan dan teman yang dianggap bisa melengkapi aspek kehidupan seseorang. Hewan dijadikan pelipur lara untuk orang-orang dengan tingkat stress yang tinggi. Hal ini dibuktikan dalam sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa orang yang memelihara hewan punya tingkat stress 76 persen lebih tinggi dibandingkan yang tidak mempunyai hewan peliharaan.
Tak hanya itu, peliharaan satwa liar eksotik juga dianggap mampu menunjukkan status sosial yang lebih tinggi.
“Banyak orang-orang berduit atau pejabat yang memelihara hewan-hewan eksotik dengan harga yang fantastis, ini juga untuk prestise,” kata Haryono.
Motivasi lain yang membuat banyak orang memelihara satwa liar eksotik di antaranya untuk dikembangbiakan, mengikuti tren satwa liar yang sedang populer, untuk terapi psikologis, serta untuk dijadikan komoditas yang dapat diperdagangkan.
ADVERTISEMENT
“Jutaan hewan diperdagangkan setiap tahun untuk jadi hewan peliharaan dengan omzet yang sangat besar. Di Amerika saja omzetnya mencapai Rp 217 triliun pada 2019,” ujarnya.