Cara Kerja Modifikasi Cuaca, Pawang Hujan Modern

Konten Media Partner
21 Juni 2021 19:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi cuaca. Foto oleh Binyamin Mellish dari Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cuaca. Foto oleh Binyamin Mellish dari Pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setiap tahun, Indonesia masih menghadapi ancaman bencana alam mulai dari banjir, kekeringan, hingga kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Karena penyebab utama bencana-bencana tersebut bermuara pada aktivitas manusia, sebenarnya ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Salah satu upaya yang kini sedang dikembangkan adalah dengan memanfaatkan teknologi modifikasi cuaca, tujuannya tentu saja mirip dengan cara kerja pawang hujan di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Dirjen PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Laksmi Dhewanthi, mengatakan teknologi modifikasi cuaca saat ini juga sudah menjadi solusi permanen yang digunakan oleh KLHK untuk mengatasi karhutla yang bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Modifikasi ini terutama digunakan untuk lahan gambut atau lahan-lahan yang telah diprediksi akan mengalami kekeringan parah. Biasanya, upaya ini dilakukan pada periode peralihan musim karena akan lebih efektif dalam menjaga lahan-lahan gambut tetap dalam kondisi basah sehingga dapat mengurangi risiko karhutla.
“Dan ini telah menjadi solusi permanen yang kami lakukan untuk mengatasi kebakaran hutan,” kata Laksmi Dhewanthi dalam seminar daring yang diadakan oleh BPPT awal pekan ini.
ADVERTISEMENT
Modifikasi ini dapat dimanfaatkan untuk mengatasi sejumlah masalah. Misalnya untuk membasahi tanah seperti lahan gambut untuk menjaga kelembabannya, mengatasi masalah kabut asap akibat karhutla, memadamkan api di areal yang luas dan api besar, serta untuk mengatasi kekeringan pada wilayah tertentu.
Tahun kemarin, penerapan teknologi modifikasi cuaca dilakukan dalam empat periode, yakni pada Maret, Mei, Juni, dan September. Penerapan teknologi modifikasi cuaca ini didasarkan pada data musim hujan dan kemarau, analisis data curah hujan, serta pertimbangan antisipatif untuk pengendalian karhutla.
“Tahun ini sudah dilakukan beberapa kali, saat ini juga sedang dilakukan TMC (Teknologi Modifikasi Cuaca) di Riau-Jambi dan Sumatera Selatan,” ujarnya.
Penerapan teknologi modifikasi cuaca ini dinilai cukup efektif untuk mengurangi risiko bencana karhutla. Selama operasi teknologi modifikasi cuaca yang sudah dilakukan pada 2020 dan 2021, hujan yang ditimbulkan karena teknologi modifikasi cuaca ini ternyata mampu mempertahankan tinggi muka air lahan gambut, khususnya di wilayah Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan.
ADVERTISEMENT
“Sehingga risiko terjadi kebakaran hutan itu bisa diturunkan secara signifikan,” kata Laksmi.
Bagaimana Teknologi Modifikasi Cuaca Bekerja
Ilustrasi awan. Foto: Pixabay
Sejak berabad-abad yang lalu, manusia sudah banyak melakukan ritual-ritual untuk meminta hujan. Seiring perkembangan teknologi, cara manusia mendapatkan air juga terus berkembang. Dan saat ini telah dibuat teknologi modifikasi cuaca (TMC) sebagai salah satu upaya untuk menurunkan hujan.
Pada dasarnya, TMC memang dibuat untuk mencukupi kebutuhan manusia atas air. Hal ini karena tren konsumsi air bersih manusia terus meningkat, dan pada 2050 diprediksi akan banyak negara kekurangan air bersih. Hal itu merupakan bencana yang mengerikan dan mesti dicari solusinya sejak saat ini.
Modifikasi cuaca dilakukan dengan melakukan penyemaian awan pada awan dingin (glaciogenic seeding) untuk menginduksi prespitasi pada fase es dan pada awan hangat (hygroscopic seeding) untuk memicu penggabungan tetes air.
ADVERTISEMENT
“Penyemaian pada awan hangat dan awan fase campuran menggunakan teknik penyemaian higroskopis dan glaciogenic telah menunjukkan beberapa hasil positif,” kata FIndy Renggono yang tergabung dalam Tim Ahli Modifikasi Cuaca di Organisasi Meteorologi DUnia (WMO).
Sederhananya, penyemaian ini bertujuan untuk mempercepat proses terbentuknya awan hingga menjadi hujan. Penyemaian pada awan hangat dilakukan pada awan yang puncaknya berada di bawah freezing level, yakni awan hangat yang mengandung uap air. Bahan semai higroskopis (flare) dimasukkan ke dalam awan melalui wilayah yang terdeteksi adanya updraft pada dasar awan. Sedangkan bahan semai yang berbentuk powder ditaburkan di atas atau di dalam awan.
“Proses ini memicu tumbukan-penggabungan lebih awal sehingga meningkatkan potensi prespitasi untuk berkembang lebih awal dan mengefisiensikan umur awan hujan,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Untuk penyemaian pada awan dingin, bahan semai disebarkan di wilayah awan yang memiliki Supercooled Liquid Water (SLW). Suhunya juga harus cukup rendah untuk membentuk Kristal es yang substansial. Kristal es yang dibentuk dari proses penyemaian harus berada pada lingkungan yang cocok dalam waktu yang cukup lama untuk memungkinkan mereka jatuh ke area yang dituju.
Yang Harus Diperhatikan untuk Memodifikasi Cuaca
Ilustasi hujan. Foto oleh Kaique Rocha dari Pexels
Saat ini, sudah ada 56 negara yang menerapkan teknologi modifikasi cuaca untuk membuat hujan buatan, termasuk Indonesia. Namun sebagian besar proyek beroperasi tanpa pengembangan teknik penyemaian yang optimal dan evaluasi efek penyemaian yang memadai. Hal ini berpotensi hujan buatan itu justru menjadi tidak ramah lingkungan.
Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan WMO, ada beberapa aspek yang mesti diperhatikan untuk melakukan modifikasi cuaca. Pertama adalah melakukan penelitian yang berkelanjutan untuk menyelidiki dan menguji hipotesis ilmiah yang menjadi dasar teknologi modifikasi cuaca.
ADVERTISEMENT
Sebab, dengan pemahaman ilmiah yang baik tentang proses di atmosfer, suatu proses eksperimen modifikasi cuaca dapat dirancang dan diterapkan secara tepat. Setelah memiliki eksperimen yang teruji dan tervalidasi, serta melakukan konsultasi dengan berbagai pihak yang terlibat, kegiatan modifikasi cuaca baru dapat dilakukan.
“Berikutnya, kegiatan operasional di bidang modifikasi cuaca harus memperhitungkan ketidakpastian yang cukup besar dan tantangan trekait validasi hasil kegiatan tersebut,” kata Findy Renggono.
Terakhir, setiap kegiatan modifikasi cuaca mesti memiliki sistem pengelolaan data hasil pengukuran selama kegiatan modifikasi cuaca yang baik untuk dianalisis di kemudian hari.
“Intinya kita harus menguji hipotesis ilmiah, jangan sampai kita menyimpang dari yang sudah disepakati WMO karena itu akan membahayakan bagi lingkungan,” tegas Findy.
ADVERTISEMENT