Konten Media Partner

Cerita Keraton Kerta di Yogya, Istana Sultan Agung yang Hilang Misterius

13 Oktober 2021 19:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sultan Agung dalam film garapan Hanung Bramantyo. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Sultan Agung dalam film garapan Hanung Bramantyo. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Seperti terlihat dalam film “Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, dan Cinta,” garapan sutradara Hanung Bramantyo, Istana Kerta adalah pusat Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin Sultan Agung, saat sedang jaya-jayanya pada medio 1600-an.
ADVERTISEMENT
Ya, sebelum terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta, pada tahun 1755, Mataram Islam sempat memiliki istana yang megah di daerah Kerta. Kini, lokasi berdirinya istana itu disebut dengan Dusun Kerto, Kalurahan Pleret, Kapanewon Pleret, Bantul.
Sayangnya, istana yang megah itu nasibnya tak sebaik Keraton Yogyakarta saat ini, bahkan jika dibandingkan dengan Keraton di Kotagede yang usianya lebih tua.
Kini, tak ada lagi bangunan istana megah Kerto, hanya ada beberapa situs yang ditemukan sebagai bukti sejarah bahwa daerah Kerto sempat menjadi ibukota Mataram setelah pindah dari Kotagede.
“Sehingga Keraton Kerta ini sering disebut sebagai istana yang hilang,” kata arkeolog dari UGM, Jujun Kurniawan, dalam webinar yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan DIY, Kamis (7/10).
Ilustrasi keraton mataram zaman dulu. Foto: DPAD DIY
Sebagai gambaran, ibukota Mataram Islam memang pernah pindah beberapa kali. Ibukota pertama adalah Kotagede, yang kala itu Mataram masih dipimpin oleh Raden Sutawijaya atau Panembahan Senopati. Kotagede menjadi pusat pemerintahan mataram sejak 1586 hingga 1613. Di tengah kepemimpinannya, Sultan Agung memboyong ibukota Mataram dari Kotagede ke Kerta pada 1618, sedangkan Keraton Kotagede saat itu jadi tempat tinggal permaisuri.
ADVERTISEMENT
Ketika dipimpin Sultan Agung, wilayah kekuasaan Mataram Islam sudah meliputi pantai utara Jawa, Cirebon, Jawa Timur, hingga Madura. Maka wajar jika saat itu istana Kerta dibangun dengan sangat megah.
Namun kemegahan istana itu saat ini sudah tidak bisa ditemui, yang tersisa hanyalah dua buah umpak batu,yakni pasak untuk mendirikan tiang. Sedangkan sisanya hanya berupa lahan kosong yang ditumbuhi rumput, maka tak heran jika tidak banyak orang yang tahu kalau dulu sempat ada istana megah di Kerto.
“Kemungkinan hilangnya Keraton Kerta disebabkan karena sebagian konstruksinya terbuat dari kayu,” lanjutnya.
Apalagi sepeninggalan Sultan Agung, ibukota Mataram Islam diboyong lagi oleh Amangkurat I ke Pleret. Hal itu membuat istana Kerta sebagai keraton kedua Mataram jadi tidak terawat dan perlahan hancur. Dari Pleret, ibukota Mataram sempat pindah lagi ke Kartasura hingga kemudian terjadi Perjanjian Giyanti yang menyebabkan Mataram terpecah menjadi dua yakni Kasunan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.
ADVERTISEMENT
Berada di Pertemuan Dua Sungai
Situs Kerto. Foto: Pleret.id
Diperkirakan, keraton Kerta memiliki fasilitas yang cukup lengkap namun dengan ukuran yang lebih kecil ketimbang keraton lainnya. Salah satu keunikan dari keraton Kerta menurut Jujun adalah lokasinya yang berada di pertemuan dua sungai, yakni sungai Opak dan Gajah Wong.
Dalam masyarakat Jawa, diyakini pertemuan dua sungai memiliki sebuah kekuatan sehingga dianggap sebagai tempat yang istimewa. Hal ini juga yang membuat beberapa candi atau bangunan-bangunan bersejarah lain kerap kali ditemukan di tempuran atau pertemuan dua sungai.
“Sampai sekarang di budaya Jawa masih menganggap bahwa pertemuan dua sungai adalah suatu tempat yang istimewa,” ujarnya.
Namun sekali lagi, ini adalah hipotesis dari serangkaian penelitian yang sudah pernah dilakukan. Sebab, minim sekali bukti-bukti atau peninggalan arkeologis yang menunjukkan keberadaan keraton Kerta. Selain benda peninggalan berupa umpak dan batu andesit, bukti yang menguatkan keberadaan keraton Kerto saat ini hanyalah fitur lemah dhuwur dan sumur kuna. Lemah dhuwur berarti tanah yang tinggi, diduga lemah dhuwur merupakan sitinggil keraton Kerta.
ADVERTISEMENT
“Hanya ini saja sampai saat ini, sehingga menjadi PR bagi para arkeolog untuk menemukan kembali bekas-bekas keraton Kerta,” lanjutnya.
Dibangun oleh Arsitek, Administratur, dan Ahli Pertanian yang Andal
Situs Lemah Duwur. Foto: Dinas Kebudayaan DIY
Kemajuan Mataram ketika beribukota di Kerta tidak lepas dari perencanaan kota yang matang oleh Sultan Agung. Sultan Agung sebagai arsitek tata kota yang andal membangun keraton Kerta dengan konsep Catur Gatra Tunggal, yakni menytukan empat unsur bangunan atau fasilitas dalam satu zona.
Pusat kota ditandai dengan sebuah lapangan luas berbentuk segi empat yang disebut alun-alun. Di satu sisi alun-alun terdapat keraton atau istana, serta di sisi lain ada masjid serta pasar. Konsep ini memandang bahwa pemerintahan tidak bisa dipisahkan dari aspek ekonomi, religius, serta sosial.
ADVERTISEMENT
“Beliau juga membangun komplek pemakamann dalam satu wilayah yang nyaman dan tenang, yakni Astana Girilaya dan Astana Pajimatan,” kata sejarawan Agus Tony Widodo.
Selain ahli dalam bidang arsitektur tata kota, Sultan Agung juga merupakan administratur yang andal. Dia membagi Jawa menjadi tiga kawedanan yang masing-masing dipimpin oleh tiga pangeran wedana, yakni Wedana Wetan di Surabaya, Wedana Tengah di Kendal dan Semarang, serta Wedana Barat di Ukur dan Sumedang.
“Jadi sebelum Daendels membagi Jawa dalam beberapa wilayah pada masa kolonial, Sultan Agung telah melakukan lebih dulu,” ujarnya.
Sultan Agung juga seorang ahli di bidang pertanian, hal ini dibuktikan dengan pembuatan kalender Jawa yang merupakan kombinasi antara kalender Saka dan Hijriyah. Karena cukup membingungkan petani karena tidak bisa membaca musim, maka Sultan Agung menambah semacam aplikasi bernama Pranata Mangsa untuk memudahkan petani dalam menentukan musim tanam dan panen. Tak hanya itu, Pranata Mangsa juga bisa jadi pedoman para petani terkait komoditas apa yang mesti dia panen dan bagaimana memberlakukan pertaniannya.
ADVERTISEMENT
Sultan Agung juga menjadikan Karawang dan Sumedang sebagai lumbung padi, tujuannya untuk mempersiapkan logistik ketika pasukan Mataram melancarkan serangan kedua ke VOC di Batavia. Sultan Agung juga membangun saluran irigasi tau segoroyoso yang kemudian disempurnakan oleh putranya, Amangkurat I.
Sebagai seorang Raja, Sultan Agung juga merupakan seorang ahli dalam strategi militer. Hal ini dibuktikan dengan penaklukan wilayah seperti Sukadana, Banjar, Madura, Surabaya, Wiradesa, Jambi, serta Palembang. Dia juga mengakomodasi 800 empu untuk membuat persenjataan seperti keris, tombak, dan pedang.
“Sultan Agung juga melatih prajuritnya terkait telik sandi. Mata-matanya Sultan Agung luar biasa, ternyata aktivitas intelijennya luar biasa,” kata Agus Tony Widodo.