Cerita Para Penjaga Hutan di Hari Bakti Rimbawan 16 Maret

Konten Media Partner
17 Maret 2021 16:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi polisi hutan. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi polisi hutan. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak 38 tahun silam, setiap 16 Maret selalu diperingati sebagai Hari Bakti Rimbawan. Peringatan Hari Bakti Rimbawan tersebut mengacu pada hari lahirnya Kementerian Kehutanan yang kini berubah menjadi Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 16 Maret 1983.
ADVERTISEMENT
Rimbawan sendiri berarti orang-orang yang mencintai dan mengabdikan dirinya pada kelestarian hutan. Karena itu, Hari Bakti Rimbawan juga ditujukan untuk mengapresiasi para rimbawan yang selama ini terus berupaya untuk menjaga dan melindungi hutan-hutan di Indonesia.
Di Indonesia, ada banyak komponen yang berkontribusi dalam upaya melindungi dan memulihkan hutan, di antaranya Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), Polisi Hutan (Polhut), dan Pengendali Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutlla).
Mari kita mulai dari PEH, yang merupakan ujung tombak penting dalam pengelolaan sumber daya alam hutan di Indonesia.
PEH dari Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Rikha Aryanie Surya, mengatakan bahwa PEH dituntut untuk bisa bekerja secara mandiri, profesional, mampu berinovasi, serta mengembangkan ide dan kreativitas. Dan di situasi pandemi, tugas tersebut terasa berkali lipat lebih berat.
ADVERTISEMENT
Terlebih tanggung jawab PEH cukup besar, mereka harus mengelola 27,14 juta hektar kawasan konservasi yang di sekitarnya terdapat 6.747 desa.
“Ini menjadi tugas yang tidak mudah bagi PEH, karena itu butuh kerja sama dengan penyuluh dan pihak lain,” ujar Rikha dalam diskusi daring yang diadakan oleh KLHK, Selasa (16/3).
Penanganan Tanaman Mantangan
Tanaman mantangan merusak kawasan TNBBS. Foto: Istimewa.
Salah satu upaya pengendalian ekosistem hutan yang dia tangani beberapa tahun ini adalah penanganan jenis tanaman invasif di TNBBS. Di kawasan TNBBS terdapat tanaman invasif berupa mantangan yang telah menjadi masalah serius selama bertahun-tahun.
Tanaman tersebut sangat mengganggu ekosistem asli, baik berupa tanaman-tanaman lokal maupun satwa yang setempat seperti gajah, harimau, hingga badak. Berbagai upaya telah dilakukan, namun tanaman invasif tersebut tetap tumbuh dan semakin meluas.
ADVERTISEMENT
Hingga beberapa tahun terakhir, PEH bekerja sama dengan sejumlah mitra melakukan inovasi pengendalian tanaman invasif tersebut dengan cara memanfaatkannya.
“Dipakai untuk kompos, blok pengganti polybag, kerajinan tangan, dan lain-lain,” ujarnya.
Selain melakukan pengendalian secara langsung di lapangan, PEH juga melakukan pengendalian melalui fungsi pendidikan dan penelitian. Penelitian ini dimasudkan untuk memperkuat pengelolaan kawasan konservasi berbasis sains.
“Kami menyusun roadmap penelitian bersama litbang dan perguruan tinggi,” kata dia.
Mengendalikan Kebakaran Hutan dan Lahan
Ilustrasi kebakaran hutan dan lahan. Foto: Pixabay
Berbeda lagi dengan Heri Budianto dan timnya di Manggala Agni, sebuah organisasi yang bertugas untuk mengendalikan kebakaran hutan dan lahan (Karhutlla). Pengendalian karhutla ini mencakup pencegahan, pemadaman, penanganan pascakebakaran, dukungan evakuasi serta penyelamatan.
Seperti yang sudah diketahui bersama, bahwa karhutla masih menjadi masalah serius selama bertahun-tahun. Tugas mengendalikan karhutla adalah tugas yang penuh risiko, karena selain ancaman api, petugas juga harus bergulat dengan asap tebal yang kerap menimbulkan masalah pernapasan.
ADVERTISEMENT
Pada masa pandemi, ancaman mereka bertambah. Selain asap dan api, mereka juga harus bergulat dengan virus corona. Karena itu, mereka harus melakukan sejumlah penyesuaian untuk memperkecil risiko paparan virus corona.
Kendati demikian, tugas-tugas pengendalian karhutla harus tetap dilakukan. Mulai dari sosialisasi kepada masyarakat supaya tidak membuka lahan dengan cara dibakar, hingga penyadartahuan tentang bahaya karhutla.
“Kami juga melakukan pemetaan areal-areal rawan kebakaran, kami ambil titik koordinatnya, selanjutnya kami juga memetakan daerah-daerah sumber air,” kata Heri Budianto.
Pada masa pandemi, Heri Budianto dan timnya juga memiliki tugas tambahan, yakni pembuatan masker. Hal ini dikarenakan kebutuhan masker di era pandemi cukup tinggi dan ketersediaan yang terbatas.
Mereka memanfaatkan anggota-anggotanya yang bisa menjahit untuk membuat masker kain. Selain dipakai sendiri, masker yang mereka buat juga dibagikan kepada warga ketika mereka melakukan patroli.
ADVERTISEMENT
“Ini inisiatif dari teman-teman sendiri, sumber dananya pun secara swadaya, kita iuran untuk membeli bahannya,” ujarnya.
Cara mereka patroli juga disesuaikan dengan situasi pandemi, karena risiko yang dihadapi cukup besar jika mereka berpatroli secara langsung, maka mereka memutuskan berpatroli menggunakan sepeda motor yang dilengkapi dengan pengeras suara.
“Program ini kita namakan Halo-Halo Karhutla, karena situasinya memang tidak memungkinkan kami untuk bertatap muka dengan masyarakat,” kata Heri Budianto.
Memberantas Kejahatan Lingkungan
Ilustrasi satwa liar di tengah rusaknya hutan. Foto: Pixabay
Komponen penjaga hutan kita yang lain adalah polisi hutan (polhut). Tingginya kasus penebangan pohon ilegal, perambahan hutan, pertambangan ilegal, pembakaran lahan, perdagangan tumbuhan dan satwa liar, membuat polisi hutan memiliki peran yang sangat vital untuk menekan semua itu.
Jika masalah-masalah kejahatan lingkungan tersebut tidak diatasi, maka sangat besar kerugian yang dialai Indonesia. Mulai dari hilangnya potensi jasa lingkungan dan kehati, munculnya bencana ekologis, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
“Ini cakupannya sangat luas dan ini menjadi perhatian kami. Dan untuk masa recovery-nya pun butuh waktu yang sangat lama, ini adalah kejahatan yang sangat serius,” ujar Kasi PPH Wilayah Kalimantan dan Nusa Tenggara Dirjen Gakkum KLHK, Hari Novianto.
Ada tiga cara perlindungan dan pengamanan hutan yang dilakukan oleh polhut, yakni melalui preemtif, preventif, dan represif. Upaya preemtif dilakukan dengan berbegai cara seperti sosialisasi, penyuluhan, pembinaan masyarakat, dan sebagainya.
Upaya preventif dilakukan dengan cara patroli, penjagaan, pemeriksaan, intelijen serta puldasi. Sedangan represif dilakukan dengan cara operasi gabungan, pemadaman karhutla, serta penangkapan untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan lingkungan.
Selama pandemi, Hari dan timnya berhasil mengamankan 700 hektar kawasan CA Mandor dari aktivitas penambangan emas tanpa izin. Mereka juga berhasil mengusir 400 orang penambang ilegal dari kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
“Kita juga berhasil memulihkan seluruh kawasan Taman Nasional Gunung Palung dari ancaman tindak pidana hutan,” ujarnya.
Namun tugas polhut semakin besar, karena terorganisirnya aktor pelaku kajahatan lingkungan. Mereka juga menghadapi modus operandi yang sangat beragam, mulai dari mobilisasi dan pembentukan kelompok masyarakat, tindak pidana dalam jabatan, penguasaan hutan dan pemanfaatan secara tidak sah, pemalsuan atau penyalahgunaan dokumen, menghalangi proses hukum, serta perizinan alih fungsi lahan yang tidak berasalah.
“Aktornya juga sangat terorganisir, dari individu, korporasi, maupun aktor transnasional,” ujarnya.
Tantangan lain adalah kurangnya personel. Menurut Hari, idealnya satu orang polhut menangani 5.000 hektar hutan. Tapi yang ada sekarang, satu orang polhut harus menjaga 22.142 hektar hutan.
Adapun kekurangan polhut untuk kawasan hutan menurut dia adalah sebanyak 19.497 orang, yang terdiri atas 16.889 orang untuk menjaga hutan produksi dan hutan lindung, dan 2.608 orang untuk menjaga kawasan hutan konservasi.
ADVERTISEMENT
“Kawasan hutan kita total ada 125.922.476 hektar, tapi kita baru mempunyai 5.687 polhut, sehingga kita masih kurang sekitar 19.497 polhut, ini terus kita dorong supaya terus ditambah,” kata Hari Novianto. (Widi Erha Pradana / YK-1)