Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Cerita Pohon Beringin Soekarno di Universitas Sanata Dharma
email: [email protected]
14 Desember 2019 13:29 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sore itu awan hitam yang menyelimuti langit Yogya membuat suasana lebih gelap dari seharusnya. Petir panjang sesekali bergemuruh. Kilat mulai menyambar. Tetapi 'banyu langit' (meminjam istilah Didi Kempot) belum juga jatuh. Daun-daun kelengkeng yang sudah menguning berguguran di sekitar tempat saya duduk, dihempas angin yang cukup kencang.
ADVERTISEMENT
Cuaca yang dua jam lalu sangat terik, tetiba berubah menjadi sejuk cenderung membuat gigil. Dua burung gereja yang sedang asik mencari makan seketika terbang, terusik ketika ranting kering kecil jatuh di dekat mereka.
“Ilmu tanpa agama adalah lumpuh, dan agama tanpa ilmu adalah buta,” tulis sebuah prasasti batu yang terpasang di Taman Beringin Sukarno di Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta. Kalimat itu merupakan sepenggal pidato Bung Karno yang mengutip pernyataan Albert Einstein.
Dosen sekaligus Direktur Pascasarjana USD, Budi Subanar atau yang biasa disapa Romo Banar mengatakan ungkapan itu masih sangat relevan digunakan hingga sekarang. Menurutnya, agama mengajarkan manusia pada wilayah praktik, sehingga agama berperan sebagai kaki bagi ilmu pengetahuan agar menjadi bagian dari praktik.
ADVERTISEMENT
Sementara di sisi lain, kebenaran dan realitas semesta disingkap dengan ilmu pengetahuan. Sehingga seseorang yang beragama namun tak memiliki ilmu pengetahuan diibaratkan orang buta karena tak akan bisa melihat kebenaran dan realitas semesta.
“Jadi kata-kata itu yang kemudian dihadirkan di sini sebagai inspirasi yang terus menerus tidak akan lepas dari kehadiran Presiden Soekarno yang memberikan pesan itu,” ujar Romo Banar, Jumat (6/12) sore.
Bung Karno menyambangi USD pada 8 April 1961, ketika masih berstatus Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG). Saat itu, kampus yang berada di Jalan Gejayan itu tengah merayakan lustrum pertama atau hari jadi yang kelima. Ada tokoh-tokoh penting lain yang membersamai Bung Karno, seperti Prijono yang saat itu menjabat Menteri Pendidikan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Nyi Hadjar Dewantara, serta tokoh-tokoh pendidikan dan pejabat tinggi lain.
ADVERTISEMENT
“Sebagai bagian dari monumen hidup kemudian ditanam beringin sebagai tanda kehadiran beliau (Bung Karno) di sini,” ujar Romo Banar.
Monumen dari Nyi Ageng Serang
Pohon beringin Soekarno sebenarnya tak ditanam langsung oleh Bung Karno, melainkan oleh tukang kebun bernama Saiman. Ketika datang ke Sanata Dharma, Soekarno justru membawa sebuah batu monumen yang dibawa dari kompleks Nyi Ageng Serang di Kulon Progo. Sekarang, prasasti itu diletakkan di depan kampus timur USD.
Batu monumen itu menjadi simbol dasar pembangunan bagi USD. Diambil dari kompleks Nyi Ageng Serang bukan tanpa alasan. Nyi Ageng Serang yang merupakan tokoh pejuang nasional diharapkan dapat memberikan inspirasi patriotik.
“Dan Bung Karno mengatakan, ini (Nyi Ageng Serang) leluhur saya. Dalam artian bukan sebagai pribadi, tapi sebagai Bangsa Indonesia,” kata Romo Banar.
ADVERTISEMENT
Simbol Persatuan, Waringin Sungsang
Beringin menjadi salah satu pohon yang paling digemari tokoh-tokoh zaman dulu untuk ditanam. Setelah puluhan bahkan ratusan tahun, beringin akan menjelma menjadi sangat artistik dengan daunnya yang rimbun, percabangan batangnya, serta akar menggantungnya yang menggurita.
“Tetapi juga kalau membaca simbol-simbol Pancasila, beringin itu menjadi simbol persatuan,” ujar Romo Banar.
Dalam Serat Centhini terdapat sebuah ungkapan waringin sungsang atau beringin yang terbalik. Waringin sungsang menggambarkan cara berpikir yang terbalik atau berbeda dari orang kebanyakan.
Serat Centhini memperlihatkan bagaimana sufisme menjadi bagian cara berpikir penguasa Jawa. Padahal di dalam tradisi saat itu, sufisme selalu dianggap sebagai bentuk rong-rongan atau pembangkangan terhadap penguasa.
“Sementara di Jawa tidak. Justru kemudian di dalam Serat Centhini, pola berpikir dalam sufisme juga menjadi pola berpikir dan bertindaknya penguasa Jawa. Sehingga para penguasa itu bisa berkomunikasi dengan rakyatnya,” kata Romo Banar.
ADVERTISEMENT
Dalam budaya Jawa, waringin sungsang dikenal sebagai salah satu ilmu kanuragan yang paling ampuh. Efek waringin sungsang sangat mematikan, siapapun yang diserang dengan ajian ini konon akan terserap semua energy kesaktiannya hingga langsung lumpuh dan roboh tak berdaya.
Waringin sungsang juga melambangkan sangkan-paran; yakni kehidupan berasal dari sumber yang akan terus hidup. Waringin sungsang dimaknai sebagai sumber kehidupan segala yang ada, sumber kebahagiaan, keagungan, serta sumber asal mula kejadian.
Beringin menurutnya dapat dimaknai dari berbagai sisi. Misal dalam isu ekologi, beringin selalu dikaitkan sebagai pohon yang bisa menjaga mata air, bukan lagi sebagai simbol persatuan atau waringin sungsang.
“Ketika kaitannya dengan lingkungan hidup, itu menjadi mata air. Ketika kaitannya dengan proses berpikir, kita diingatkan dengan waringin sungsang,” ujar Romo Banar.
ADVERTISEMENT
Tumbuh Membangun Ekosistemnya
Ketika pertama ditanam, area sekitar beringin Soekarno belum serindang sekarang. Lokasi itu hanya berupa hamparan rumput yang terbuka. Namun seiring berjalannya waktu, beringin Soekarno semakin tinggi dan besar, diameternya tak kurang dari dua meter. Pohon-pohon di sekitarnya juga semakin rimbun, sehingga rumput yang tadinya melapisi tanah mulai mati karena tak terkena sinar matahari.
Maka, sejak 2013, area itu disulap menjadi sebuah taman yang rindang. Tak hanya sebagai ruang berinteraksi dan berkegiatan mahasiswa USD, Taman Beringin Soekarno juga kerap dijadikan sebagai ruang ekspresi seni dari komunitas-komunitas luar kampus Sanata Dharma.
Beringin Soekarno juga menjadi rumah maupun tempat singgah sejumlah satwa seperti tupai dan berbagai macam jenis burung. Romo Banar mengatakan ada burung pelatuk yang membuat rumah di pohon beringin Soekarno. Bahkan, burung enggang, burung langka dari Kalimantan yang biasanya hanya bisa dilihat di kebun binatang sempat singgah di beringin Soekarno. Bagi masyarakat Dayak Kalimantan, burung enggang bahkan kerap disakralkan.
ADVERTISEMENT
“Justru anak-anak Dayak yang kuliah di sini merasa kami didatangi nenek moyang,” ujar Romo Banar.
Pelatuk dan enggang hanya dua di antara sekian banyak burung yang pernah hinggap di beringin Soekarno. Romo Banar mengatakan itu menjadi indikator sehatnya sebuah lingkungan. Sebab, jika lingkungan itu tidak sehat, mana mungkin burung-burung langka mau singgah di sana.
Sayangnya tahun ini beringin Soekarno tak menampakkan masa-masa terbaiknya. Kemarau berkepanjangan disinyalir menjadi penyebabnya.
“Biasanya pada satu musim yang daunnya itu hijau semua, kemudian bijinya itu matang, ada bermacam-macam burung di situ. Jadi satu hari, dua hari itu penuh burung. Tapi tahun ini nggak terjadi itu,” katanya. (Widi Erha Pradana / YK-1)