Cerita Randu Alas Tertua di Jogja, Bak Pohon Raksasa di Negeri Dongeng

Konten Media Partner
9 Mei 2021 13:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sesepuh masyarakat Kawdan, Sukardi, di bawah randu alas di desanya. Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Sesepuh masyarakat Kawdan, Sukardi, di bawah randu alas di desanya. Foto: Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
Seberkas sinar kuning menerabas ke celah-celah sempit rimbunnya semak dan dedaunan. Di antara rerimbunan semak belukar, menjulang tinggi sebuah pohon randu alas (Bombax ceiba) raksasa. Sulit untuk percaya bahwa pohon sebesar itu masih ada di Jogja. Pohon sebesar itu biasanya hanya bisa dilihat dalam film-film yang berlatar negeri dongeng.
ADVERTISEMENT
Tapi randu alas raksasa itu benar-benar nyata, bahkan ada di Jogja. Tepatnya di Dusun Kawedan, Desa Bangunkerto, Turi, Sleman. Karena ukurannya yang sangat besar, randu alas itu diberi nama Randu Gumbala.
Cabang randu alas raksasa itu menyebar ke semua arah, membuat area di bawahnya sangat teduh dan sejuk. Di bagian bawah pohon, akarnya sudah melebihi tinggi orang dewasa, bahkan di beberapa sisi membentuk semacam cekungan yang menyerupai gua.
“Ini paling tua di Jogja. Orang dari Kalimantan, dari Papua, yang banyak pohon-pohon besar saja heran lihat pohon ini,” kata sesepuh sekaligus tokoh masyarakat Kawedan, Sukardi, 75 tahun, Jumat (30/4).
Makam di bawah randu alas di Desa Kawedan. Foto: Widi Erha Pradana
Dan ada kenyataan lain di balik Randu Gummbala dan semak-semak yang rimbun itu; banyak nisan-nisan tua yang tampak tidak terawat. Agak berbeda dengan bentuk batu nisan sekarang, batu nisan di tempat tersebut terbentuk dari potongan-potongan batu yang disusun sehingga membentuk nisan.
ADVERTISEMENT
Bentuk nisan seperti itu menurut Sukardi merupakan ciri khas dari batu nisan yang biasa digunakan dalam agama Hindu. Di komplek pemakaman tua itulah Ki Kawit, orang yang pertama kali mendirikan Dusun Kawedan dimakamkan.
“Tapi sudah lama tidak dipakai, terakhir itu tahun 1967, soalnya airnya itu banyak sekali di bawah pohon randu alas itu, kasihan jenazahnya,” ujarnya.
Sukardi juga menjelaskan, bahwa pohon randu alas yang ada di komplek pemakaman itu dapat menggambarkan bagaimana tabiat jenazah ketika masih hidup. Jika proses penggalian lubang tidak mengalami kendala berupa akar-akar besar yang melintang, maka jenazah yang akan dimakamkan memiliki tabiat baik sepanjang hidupnya.
Sebaliknya, jika dalam proses pembuatan liang kubur ternyata banyak menemui akar-akar dari Randu Gumbala, itu merupakan tanda bahwa selama hidupnya orang tersebut memiliki tabiat yang buruk.
ADVERTISEMENT
“Ada yang dipindah sampai tiga kali masih ketemu akar terus, akhirnya mau enggak mau tetap dimakamkan di situ. Tapi banyak juga yang gampang, akar enggak ada, air juga enggak menggenang,” ujar pria yang ternyata juga seorang Abdi Dalem Keraton Yogyakarta itu.
Randu Gumbala dan Awal Mula Dusun Kawedan
Randu Gumbala tampak dari bawah. Foto: Widi Erha Pradana
Kacarita dhuk jaman kawuri (Diceritakan pada zaman dahulu)
Kang bebadra ing dhusun punika (Yang membangun dusun ini)
Ki Kawit ingkang asmane (Ki Kawit namanya)
Nggilut agama Hindhu (Menganut agama Hindhu)
Kitab Wedha ingkan ka esthi (Kitab Wedha yang menjadi pedoman)
Nanem Randhu Gumbala (Menanam randu yang besar)
Kinaryo songsong gung (Sebagai perlindungan)
Temah tuwuh sumber toya (Mengakibatkan banyak sumber air)
Miguani tumrap ing bebrayan sami (Yang bermanfaat bagi kehidupan kita)
ADVERTISEMENT
Katlah dhusun Kawedan (Disebut dusun Kawedan)
Sepenggal lirik tembang berbahasa Jawa tersebut adalah ciptaan Sukardi sendiri. Judulnya, Adege Dhusun Kawedan atau berdirinya dusun Kawedan. Sukardi menyanyikan tembang tersebut dengan sangat merdu menggunakan nada lagu dari tembang Dandang Gula.
Tembang itu dia buat setelah bertahun-tahun menelusuri sisa-sisa sejarah untuk menyusun kembali sejarah dusun Kawedan supaya masyarakat tak kehilangan identitasnya. Dan Randhu Gumbala menjadi salah satu komponen penting dari sejarah asal mula dusun Kawedan.
Sukardi mengatakan, sebelumnya Dusun Kawedan merupakan bagian dari Kerajaan Medang Ri Poh Pitu atau Kerajaan Medang yang dikenal juga dengan sebutan Mataram Kuno. Namun karena erupsi gunung Merapi pada 1006 M yang meluluhlantakkan daerah di selatannya, pusat kerajaan Mataram Kuno akhirnya dipindah ke Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
“Dusun Kawedan ini juga ikut tertimbun material vulkanik Merapi,” kata Sukardi.
Akibatnya, kawasan sekitar 20 km dari puncak Merapi, termasuk dusun Kawedan, menjadi hutan belantara karena tak berpenghuni. Tanda-tanda kehidupan baru mulai tercatat lagi setelah sekitar 400 tahun setelah peristiwa mengerikan itu, bersamaan dengan runtuhnya Majapahit pada 1478 M.
Para pengikut kerajaan Majapahit kemudian harus hijrah ke berbagai daerah, terutama karena mulai masuk dan berkembangnya agama Islam. Salah satu pengikut Majapahit yang juga seorang Rsi, Ki Kawit kemudian hijrah dari Lamongan ke tempat yang kini bernama Dusun Kawedan.
Ki Kawit bersama 15 orang pengikutnya membuka kembali kawasan yang sudah ratusan tahun tak berpenghuni itu menjadi tempat tinggal. Di tempat itu, Ki Kawit mulai aktif untuk menyebarkan agama Hindu. Lambat laun murid Ki Kawit semakin bertambah, bahkan tidak sedikit yang datang dari luar daerah untuk belajar ajaran Hindu yang berpedoman pada kitab Weda.
ADVERTISEMENT
“Nama Kawedanan itu diambil dari nama kitab Weda, kitab suci umat Hindu. Itu saya enggak mengada-ada, saya juga lihat kahanan, lihat keadaan sekitar,” ujarnya.
Ketika usianya semakin tua, Ki Kawit menanam pohon randu alas sebagai tanda adanya agama Hindu di tempa tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, ternyata ajaran Hindu sulit berkembang di Dusun Kawedanan, terutama karena pengaruh ajaran Islam yang disebarkan oleh para wali sangat kuat.
“Peninggalannya itu tinggal batu nisan yang jumlahnya 15 buah, bentuknya itu hanya batu disusun, itu ciri khas nisan untuk agama Hindu,” kata Sukardi.
Lima Abad Lebih Melindungi dan Menghidupi
Randu gumbala tampak dari bawah. Foto: Widi Erha Pradana
Dalam ajaran Hindu, pohon randu alas menurut Sukardi dimaknai sebagai pohon kehidupan. Jika pohon randu alas di tanam di sebuah tempat, maka tempat tersebut akan subur dan makmur. Hal ini ternyata bukan sekadar kata-kata manis belaka, sebab secara ilmiah pohon randu alas memang salah satu jenis pohon yang paling bagus dalam menyimpan air.
ADVERTISEMENT
“Nyatanya di sini air itu melimpah, enggak pernah kekurangan air. Kalau bikin sumur, dua meter saja sudah keluar airnya,” kata Sukardi.
Di Dusun Kawedan, sampai sekarang sedikitnya ada sembilan sumber air alami yang menjadi sumber penghidupan masyarakat Dusun Kawedan, di antaranya Sumber Wongso, Sumber Tulus, Sumber Munggur, Sumber Kluthuk, Sumber As’ari, Sumber Karto, Sumber Nyamplung, serta Sumber Trimo.
Menurut Sukardi, randu alas raksasa di Dusun Kawedan telah berusia antara 500 sampai 600 tahun. Angka itu bukan tanpa dasar, menurutnya sempat ada peneliti yang mencoba menghitung umur Randu Gumbala dari ukurannya saat ini.
Umur randu alas dihitung dari ukuran keliling batang yang kemudian dibagi 2,5 cm (rata-rata pertumbuhan kelilingbatang pohon secara umum per tahun). Diketahui keliling batang pada ketinggian dua meter adalah 1.430 cm, dibagi dengan 2,5 cm, maka didapatkan angka 572.
ADVERTISEMENT
“Jadi usianya diprediksi diprediksi sudah 572 tahun,” ujarnya.
Tinggi dan diameter randu alas beberapa tahun lalu juga sempat diukur, tingginya sekitar 20 meter dan diameter batangnya mencapai 4,55 meter di ketinggian 2 meter.
“Kalau dari bawah, itu 20 orang dewasa enggak cukup,” kata dia menguatkan argumennya.
Diburu Pencari Pusaka
Nisan di sekitar Randu Gumbala. Foto: Widi Erha Pradana
Cerita-cerita mistik tentang Randu Gumbala tidak dapat dipungkiri lagi. Menurut Sukardi, pohon randu alas tersebut menyimpan energi yang sangat besar. Dulu, ketika malam banyak orang yang menyaksikan dari pohon randu alas itu memancar cahaya yang sangat terang.
“Itu karena banyak sekali pusakanya,” ujarnya.
Cerita tentang pusaka yang tersimpan dalam Randu Gumbala kemudian menyebar dari mulut ke mulut, sehingga banyak sekali orang yang datang untuk memburu pusaka tersebut.
ADVERTISEMENT
Dulu setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon, nyaris selalu ada orang yang datang entah dari mana untuk bertapa di bawah randu alas tersebut.
Yang paling baru dan sempat menghebohkan warga setempat adalah datangnya tiga orang dari Magelang yang juga ingin mengambil pusaka dalam pohon randu alas tersebut. Tanpa sepengetahuan masyarakat setempat, ketiganya sudah memanjat randu alas raksasa tersebut.
“Saya tahu saat mereka sudah di atas. Langsung saya suruh turun karena mereka datang juga tidak permisi tidak apa. Ketika datang lagi, tidak saya bolehkan karena kasihan warga sini, pasti setelah itu ada saja kejadian aneh,” ujarnya.
Menurut Sukardi, selama para penunggu randu alas itu tidak mengganggu, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk mengganggu mereka. Terlebih secara tidak langsung mereka juga telah ikut membantu menjaga randu alas raksasa itu sehingga tetap tumbuh kokoh seperti sekarang dan memberikan banyak manfaat untuk masyarakat di Dusun Kawedan.
ADVERTISEMENT
Sebagai ungkapan syukur, setiap tahun masyarakat Kawedan mengadakan merti dusun, sebuah upacara adat untuk menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas berkah yang telah diturunkan melalui randu alas tersebut.
“Tapi sekarang banyak yang menduh itu syirik, bid’ah, karena dikira itu klenik. Masa kita bersyukur sama Gusti Allah dituduh syrik. Merti dusun itu kan juga biar kita lebih mengenali lingkungan kita, biar kita bisa menjaga terus apa yang Tuhan kasih untuk kita,” kata Sukardi.