Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten Media Partner
Cerita Wisatawan Ikut Labuhan Merapi: Lebih Berat dari Naik Gunung Sinai Mesir
1 Februari 2025 15:37 WIB
ยท
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Ratusan warga mengikuti prosesi Labuhan Merapi yang digelar oleh Keraton Yogyakarta, Jumat (31/1).
ADVERTISEMENT
Sejumlah peserta mengikuti upacara ini sampai titik akhir di Petilasan Srimanganti yang memiliki ketinggian sekitar 1.550 mdpl di Lereng Merapi, butuh waktu sekitar 2 jam dari Petilasan Mbah Maridjan di Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman. Sebagian peserta lain hanya ikut Labuhan Merapi sampai setengah perjalanan.
Acara ini merupakan rangkaian akhir peringatan penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Raja Kasultanan Yogyakarta yang ke-36 tahun. Prosesi diawali dengan doa di Petilasan Mbah Maridjan, dilanjutkan perjalanan menuju Petilasan Srimanganti dan kenduri pembagian nasi kepal.
Cerita Wisatawan dari Balikpapan: Lebih Berat dari Naik Gunung Sinai
Salah satu peserta yang mencapai Petilasan Srimanganti adalah Bayu (58), warga Balikpapan yang sedang berada di Yogyakarta. Ia menilai perjalanan ini cukup berat dibandingkan dengan gunung yang pernah didakinya, yakni Gunung Sinai di Mesir dengan ketinggian 2.285 mdpl.
ADVERTISEMENT
"Wah, sangat-sangat berat. Mungkin, kalau bisa dibilang, dibanding Gunung Sinai, Mesir, mungkin lebih berat sini ya," kata Bayu.
"Sudah licin, belok, banyak pohon, banyak lumut-lumut," tambahnya.
Ia datang bersama keluarganya sejak pukul 05.30 WIB dan sampai di petilasan pukul 08.00 WIB. Ini merupakan kali kedua ia mengikuti Labuhan Merapi. Tahun lalu, ia hanya mampu mencapai setengah perjalanan.
"Tahun kemarin sudah ke sini, tapi cuma sampai batu pertama situ," kenangnya.
"Ini yang kedua. Dan yang kedua ini sampai puncak," katanya.
Ia merasa puas setelah berhasil menyelesaikan perjalanan ini.
"Capeknya terobati," ujar Bayu.
Warga Pakem: Kalau Belum Dapat Nasi, Belum Afdol
Nardiana (55), warga Pakem, Sleman, berangkat bersama tiga temannya. Dari rumah, ia berangkat pukul 05.00 WIB.
ADVERTISEMENT
Bagi Nardiana, pendakian ini lebih dari sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang menghubungkan dirinya dengan leluhur dan tradisi.
Selama prosesi, ia dan peserta lain mengikuti doa dan ritual yang mengawali pembagian nasi kepal, yang diyakini sebagai simbol berkah.
"Katanya kalau belum mendapatkan nasi ini, belum afdol," ujarnya.
Menurutnya, nasi tersebut menjadi tanda keberkahan sekaligus pengingat untuk selalu bersyukur. Ini adalah pengalaman pertamanya mengikuti Labuhan Merapi.
"Padahal saya sudah di Pakem sejak 80-an. Saya baru sempat hari ini, mungkin Allah baru meridhoi," ujarnya.
Cerita Mahasiswa dari Samarinda: Awalnya Takut, Ternyata Seru
Putri Kurnia Sari (19) dan Sinta Nur Fadilah (19), mahasiswa pariwisata asal Samarinda yang sedang magang di Cangkringan, ikut serta dalam prosesi Labuhan Merapi.
ADVERTISEMENT
Sinta mengaku awalnya merasa takut mengikuti upacara adat Jawa yang digelar dalam perjalanan mendaki ini.
"Jujur saya tuh kalau yang berbau-bau Jawa apalagi yang tradisional banget, takut banget," ungkap Sinta.
Namun, rasa penasaran membuatnya ingin merasakan langsung prosesi adat tersebut.
"Ternyata seru banget," katanya.
Setelah prosesi adat di Petilasan Srimanganti, keduanya menerima nasi kepal yang dibagikan abdi dalem. Mereka meyakini nasi tersebut membawa berkah dan doa bagi peserta.
"Dari prosesi adat yang tadi, nasi yang ada juga tadi sudah didoain, jadi doanya untuk kita semua berbalik ke kita juga," kata Putri.