Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
28 Ramadhan 1446 HJumat, 28 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten Media Partner
Civil Society, Nu dan Gus Yahya, Opini Kiai Aguk Irawan
5 Januari 2024 14:02 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Ini adalah opini Kiai Aguk Irawan, pengasuh Pesantren Baitul Kilmah Bantul.

Gaduh PBNU belakangan bakal menjadi bumerang bagi prestasi gemilang selama ini. Sudah jamak diketahui NU memiliki akar yang kuat dalam membangun Civil Society, sejak era kolonial hingga reformasi.
ADVERTISEMENT
Konsep Civil Society adalah gambaran tentang entitas sosial yang dibangun bersama-sama untuk menjaga kelangsungan hidup (Ernst Tugendhat, 1986: 239). Masyarakat tidak bisa berdiri sendiri tanpa kebersamaan di antara anggota-anggotanya. Secara lebih abstrak, Civil Society juga diartikan sebagai ruang (sphere) bagi asosiasi-asosiasi sipil.
Di mana ada ruang bagi koeksistensi di antara individu masyarakat atau kelompok sosial maka di sanalah tatanan Civil Society akan terwujud. Sebaliknya, bila ruang koeksistensi itu dihapus, bangunan Civil Society akan runtuh. Karenanya, salah satu ancaman terhadap konsep Civil Society adalah dominasi rezim (Frederick W. Powell, 2007:191).
Pertarungan ideologis di internal NU berevolusi dari masa ke masa, namun realita hari ini jauh lebih keras dibanding sebelum-sebelumnya. Dalam rangka mencerdaskan anak bangsa dan membebaskan dari kolonialisme, para masyaikh mendirikan Tashwirul Afkaar (Lakpesdam dan LTNU, 2003:140).
ADVERTISEMENT
Semula Tashwirul Afkaar hanya circle diskusi. Karena ada asumsi, bangsa yang merdeka lahir dari bangsa yang cerdas. Keberhasilan Tashwirul Afkaar bisa dilihat dari inisiatif untuk mendirikan lembaga pendidikan formal yang kemudian disebut Nahdlatul Wathan. Di sini penggemblengan kader-kader bangsa dilakukan secara lebih formal.
Nahdlatul Wathan tidak bertahan lama, karena bentrokan ideologi di antara tokoh-tokohnya semakin keras. Mas Mansur keluar dari Nahdlatul Wathan, dan bergabung ke dalam Muhammadiyah. Sedangkan Wahab Hasbullah mendirikan Syubbanul Wathan, mengusung visi yang sama (tradisionalisme) dengan Nahdlatul Wathan (Huda, 2020:30-31).
Membiarkan tokoh-tokoh bangsa yang brilian berpecah belah, para masyaikh pun mengambil inisiatif untuk mendirikan satu Jam'iyah yang mengusung persatuan dan kesatuan seluruh elemen. Kelak Jam'iyah ini dikenal sebagai Nahdlatoel Oelama (NU). NU menjadi bibit bagi gerakan perjuangan persatuan dan kesatuan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Dari NU lahirlah sebuah organisasi baru yang bernama MIAI, dan MIAI menjadi wadah pemersatu seluruh elemen masyarakat sekaligus berbagai organisasi keagamaan yang ada di zaman ini. Walaupun MIAI mengalami pasang surut, tetapi spirit persatuan dan kesatuan bangsa tetap lestari. Dari MIAI lahir Masyumi, sebuah partai politik yang juga mengusung spirit persatuan dan kesatuan bangsa (Tamara, 2021:192).
Lika-liku NU Membangun Civil Society
Membangun tatanan Civil Society yang fondasi-fondasinya persatuan dan kesatuan adalah proses panjang yang berliku, dinamis, dan penuh gejolak. Setelah kemerdekaan diraih dan setiap anak bangsa merdeka secara fisik maupun batin, tantangan semakin besar.
Bagi masyaikh NU, tidaklah mudah mau menerima secara suka rela atas eksistensi ideologi maupun partai politik komunis di era Orde Lama. Begitu pula tidak mudah NU menerima asas Tunggal Pancasila di era Orde Baru. Namun demi menjaga fondasi persatuan dan kesatuan bangsa yang sudah berhasil membuahkan kemerdekaan, tidak ada pilihan lain untuk menolak (Ishom Hadzik, 2010:16-18).
ADVERTISEMENT
Sudah terbiasa bagi warga Nahdliyyin untuk hidup harmonis di tengah keragaman, baik ideologi maupun ormas/partai yang berbeda. Kebiasaan semacam ini diuji dengan lebih keras ketika memasuki era reformasi, di mana perbedaan menjadi keniscayaan yang harus diterima. Sejak itulah, NU tidak saja korksis dengan kelompok lain yang berbeda tetapi juga mampu koeksis di antara 'faksi-faksi' kecil di internal NU itu sendiri.
Koeksistensi menjadi tangga kedua setelah persatuan dan kesatuan. Tanpa kemampuan untuk koeksistensi, persatuan akan udah luntur. Karenanya, internal NU diwarnai keragaman faksi, beberapa di antaranya NU Liberal yang dikomandoi anak-anak muda, NU Garis Lurus yang digawangi beberapa Kiai pesantren, dan NU Moderat yang menjadi faksi mainstream (Abdillah Thoha, 2020). Namun, semua faksi mapu koeksis sekalipun ada sedikit riak-riak.
ADVERTISEMENT
Ancaman Koeksistensi Ancaman Bagi Tatanan Civil Society
Konsep Civil Society mustahil terpisahkan dari prinsip persatuan, kesatuan, dan koeksistensi dalam keragaman. Sebagaimana Rasulullah Saw dan para sahabat membangun kota Yatsrib, dan mengubahnya menjadi Kota Tercerahkan (Madinah Munawwarah). Persatuan dan Koeksistensi Harmonis menjadi ciri khas tatanan masyarakat yang dibangun oleh Nabi Saw atas arahan wahyu Ilahi.
Semenjak PBNU di bawah kepemimpinan KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, perbedaan dan perdebatan berevolusi satu oktaf, tidak lagi berpusat pada ideologi keagamaan melainkan dimensi yang betul-betul baru dibandingkan sebelum-sebelumnya. Gus Yahya melakukan reformasi birokrasi dan organisasi secara besar-besaran.
Adalah prestasi yang luar biasa dalam kepemimpinan Gus Yahya, NU mampu memfokuskan diri pada aspek manajemen organisasi, yang dapat diprediksi bakal mengubah NU menjadi organisasi modern profesional. Langkah Gus Yahya seperti terinspirasi dari langkah Kiai Wahab Hasbullah, yang memiliki fokus pada aspek keorganisasian NU.
ADVERTISEMENT
Namun, prestasi besar Gus Yahya dalam memodernisasi keorganisasian NU tidak dibarengi dengan warisan kearifan para Masyaikh terdahulu, yaitu persatuan kesatuan dan koeksistensi. Beberapa kasus terakhir menunjukkan kepemimpinan Gus Yahya sangat represif, menolak perbedaan, dan anti-koeksistensi dalam keragaman. Tindakan represif Gus Yahya diatasnamakan pembenahan aspek organisasi. Contoh kecilnya, pembekuan struktur dan pemecatan pengurus yang dinilai tidak sevisi.
Alhasil, mereformasi manajemen keorganisasian memang positif dan menjadi kontribusi kepemimpinan Gus Yahya. Peran NU dalam membangun Civil Society akan lebih maksimal apabila NU sendiri menjadi organisasi yang modern dan profesional. Namun, ketidakmampuan Gus Yahya untuk koeksistensi dengan perbedaan internal dan tindakan kekuasaan yang represif merusak NU dan merusak tatanan Civil Society yang ditandai dengan persatuan kesatuan dan koeksistensi dalam keragaman.
ADVERTISEMENT
Wallahu a'lam bis shawab