Konten Media Partner

Curhat Pengamen Yogya Dikategorikan Pengemis oleh Satpol PP: Pakaian Kami Rapi

19 Agustus 2023 14:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bara, salah seorang pengamen di Yogyakarta. Foto: Arif UT/Pandangan Jogja
zoom-in-whitePerbesar
Bara, salah seorang pengamen di Yogyakarta. Foto: Arif UT/Pandangan Jogja
ADVERTISEMENT
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengkategorikan pengamen ke dalam kelompok gelandangan dan pengemis (gepeng), meskipun para pengamen tersebut menggunakan sound system seperti yang banyak ditemui di Yogya saat ini.
ADVERTISEMENT
Hal itu didasarkan pada Perda DIY Nomor 1 tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Perda tersebut tak menyebut pengamen secara eksplisit, namun Satpol PP DIY memasukkan pengamen ke dalam kategori pengemis karena pekerjaannya dinilai bergantung pada belas kasihan orang lain.
Salah seorang pengamen di Yogya yang tergabung dalam Jogja Acoustic Management (JAM), Bara, membenarkan bahwa sampai sekarang mereka sering disamakan dengan pengemis. Di beberapa wilayah, mereka bahkan tak berani mengamen karena sudah pasti akan ‘disikat’ Satpol PP.
“Terutama di Bantul, itu paling ketat. Kita hanya berani ngamen itu hari Sabtu sama Minggu, di hari biasa pasti kena tangkap kita,” kata Bara saat ditemui, Jumat (18/8).
“Kemarin ada teman kita ditangkap, sampai dikurung. Pernah juga alat kita diangkut, tiga bulan baru bisa diambil,” lanjutnya.
Salah seorang pengamen di Yogya, Bara, sedang bernyanyi di salah satu perempatan di Yogya. Foto: Arif UT/Pandangan Jogja
Aturan yang dipakai sebagai dasar untuk menangkap mereka menurut Bara adalah Perda DIY Nomor 1 tahun 2014, dimana Satpol PP mengkategorikan mereka sebagai pengemis.
ADVERTISEMENT
Namun, Bara tidak sepakat jika dia dan teman-temannya dikategorikan pengemis. Dalam Perda tersebut, disebutkan empat kriteria pengemis di antaranya mata pencahariannya bergantung pada belas kasihan orang lain; berpakaian kumuh, compang-camping, dan tidak sewajarnya; berada di tempat-tempat umum; serta memperalat sesama untuk merangsang belas kasihan orang lain.
“Kami tidak bergantung pada belas kasihan orang lain, kan kami menghibur. Pakaian kami juga rapi, tidak compang-camping, kok bisa kami dianggap pengemis?” ujarnya.
Sedangkan kriteria berada di tempat-tempat umum menurut dia tidak jelas, sebab banyak juga orang yang pekerjaannya berada di tempat umum.
“Kalau memperalat sesama ya jelas tidak lah,” kata dia.
Salah seorang pengamen di Yogya, Bara, sedang bernyanyi di salah satu persimpangan Kota Yogya. Foto: Arif UT/Pandangan Jogja
Keberadaan pengamen di Yogya menurut Bara justru akan semakin mewarnai Yogya sebagai kota budaya dan wisata yang kaya akan musisi. Yang penting bagaimana para pengamen tersebut ditata dengan rapi.
ADVERTISEMENT
“Kita menyanyi kan juga tidak asal-asalan, dan kita tidak pernah memaksa orang untuk kasih uang ke kita,” ujar Bara.
Sebelumnya, Kepala Satpol PP DIY, Noviar Rahmad, mengatakan bahwa pengamen meskipun menggunakan pengeras suara profesional tetap dilarang beroperasi di tempat-tempat umum di Yogya. Pasalnya, mereka menurutnya termasuk ke dalam kategori gelandangan dan pengemis (gepeng) yang diatur dalam Perda DIY Nomor 1 tahun 2014.
“Pengamen itu termasuk kategori gepeng (gelandangan dan pengemis), itu juga dilarang walaupun pakai sound system,” kata Noviar Rahmad saat dihubungi, Selasa (15/8).