Dari Anggrek sampai Elang, Gunung Merapi Kerajaan Flora Fauna Terbesar di Yogya

Konten Media Partner
5 November 2021 14:14 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Momen Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional pada 5 November mengingatkan bahwa di utara Yogya, tepatnya di Taman Nasional Gunung Merapi, ada kerajaan flora dan fauna terbesar di DIY.
Pengamatan burung di wilayah TNGM. Foto: Balai TN Gunung Merapi/Titin Septiana. Olah gambar: ESP
Lihatlah Gunung Merapi di utara Yogya yang jika tak ada kabut yang menghalangi tampak begitu gagah sekaligus misterius. Sesekali, bayangkanlah, ada jutaan nyawa, anggrek sampai elang, yang hidup di salah satu gunung berapi teraaktif di dunia itu yang begitu menggetarkan: pusat kerajaan flora dan fauna terbesar yang tersisa di wilayah Yogyakarta saat ini.
ADVERTISEMENT
Memiliki total luas kawasan sekitar 6.410 hektar, kawasan Gunung Merapi yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), menyimpan ratusan jenis flora dan fauna yang membentuk sebuah kerajaan di sisi utara wilayah Yogya. Apalagi, di sana juga masih terdapat hutan primer, satu-satunya yang tersisa di wilayah Yogyakarta, maka tak heran jika keragaman flora faunanya menjadi yang paling kompleks dan beragam di DIY.
Dari keluarga tumbuh-tumbuhan atau flora, sebutlah sarangan atau saninten, tengsek, pasang, dadap, sowo, serta puspa. Pohon-pohon itu adalah flora pionir yang jadi penopang penting keberlangsungan ekosistem Merapi. Tak hanya pohon-pohon besar, di dalamnya juga terdapat tanaman-tanaman kecil yang cantik, sebutlah kantong semar dan berbagai jenis tanaman anggrek.
ADVERTISEMENT
Data terbaru, ada sekitar 70an jenis anggrek yang hidup di kawasan Merapi. Salah satu yang paling fenomenal adalah vanda tricolor, anggrek khas Merapi yang sudah seperti ikon salah satu gunung paling aktif di Indonesia itu. Seperti namanya, anggrek ini memiliki tiga warna pada bagian kelopaknya yang menjadikannya terlihat sangat cantik.
Vanda tricolor memiliki warna dasar putih dengan motif totol ungu kecokelatan. Sementara pada bagian bibir kelopaknya (labelum) memiliki warna ungu.
Dosen Fakultas Biologi UGM, Endang Semiarti, bersama Ratu Maxima saat mengawinkan spesies anggrek Indonesia yang kemudian diberi nama Vanda Tricolor Lindley Queen Maxima untuk menandai peran serta dukungan Belanda terhadap pelestarian biodiversitas di Indonesia pada 2020 lalu. Foto : Fristo UGM)
“Vanda tricolor juga jadi salah satu jenis anggrek asli Merapi yang paling digemari karena tampilannya memang sangat cantik,” kata Kepala Sub Bagian Tata Usaha Balai Taman Nasional Gunung Merapi, Akhmadi, saat dihubungi, Kamis (4/11).
Dari kelompok satwa yang meninggali kawasan tersebut, dibagi menjadi dua pasukan: pasukan darat dan udara. Pasukan darat terdiri atas sejumlah satwa-satwa dilindungi seperti kijang atau muncak, lutung jawa, trenggiling, landak, dan masih banyak lainnya. Sayang, jejak macan tutul sebagai panglima tertinggi angkatan darat sudah lama tak terlihat. Terakhir, jejak macan tutul di TNGM ditemukan pada 2012, dan tak pernah ditemukan lagi sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Sedangkan angkatan udara Merapi terdiri atas puluhan jenis burung. Ada jenis burung-burung kicauan dengan suara nyanyiannya yang merdu seperti pleci, srigunting, sikatan, hingga kepodang, dan burung anis merah yang jadi maskot Kabupaten Sleman, ada juga burung-burung pemangsa, yang jadi pasukan pembunuh terkuat di Merapi saat ini. Ya, paling tidak, ada 12 jenis burung pemangsa yang tercatat tinggal di kerajaan Merapi, termasuk Elang Jawa yang jadi panglima tertinggi di angkatan udara.
“Eksplorasi terakhir kurang lebih ada 12 jenis raptor yang asli Merapi, termasuk Elang Jawa. Pada saat-saat tertentu juga ada tambahan dari jenis raptor-raptor migrasi,” ujarnya.
Hutan Primer Terakhir di Tanah Yogya
Presiden Jokowi sesaat setelah melepasliarkan Elang Jawa dan menanam pohon di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) pada 2020 lalu. Foto: Dok. BNPB
Beragamnya flora dan fauna di kawasan TNGM tidak lepas dari hutan primer yang masih tersisa di wilayah Plawangan dan Turgo, satu-satunya hutan primer yang masih tersisa di wilayah Yogyakarta. Meskipun kondisinya kini terganggu oleh aktivitas vulkanis Merapi yang sangat tinggi, namun hutan tersebut masih menjadi penopang kehidupan banyak flora dan fauna di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Di Yogyakarta memang terdapat beberapa kawasan konservasi selain TNGM, sebutlah Suaka Margasatwa Sermo di kawasan Menoreh dan Suaka Margasatwa Paliyan di Gunungkidul. Namun, keragamannya tidak sekompleks dan lengkap seperti di Merapi.
“Secara ekosistem penyusunnya memang di Merapi, karena masih ada hutan primer di Plawangan dan Turgo,” kata Akhmadi.
Pemandangan Gunung Merapi. Foto: Balai TN Gunung Merapi/Titin Septiana
Dengan adanya kawasan hutan primer tersebut, kawasan TNGM bisa disebut sebagai penopang utama flora dan fauna asli Yogya, tanpa mengesampingkan peran penting dari kawasan konservasi yang lain. Namun, kondisi hutan primer di TNGM sangat dipengaruhi oleh aktivitas vulkanis Merapi yang sangat tinggi.
Kawasan hutan primer ini pernah mengalami kerusakan paling parah pada erupsi Merapi 2010. Vegetasi hutan primer di Merapi mengalami kerusakan parah akibat terkena abu panas dari erupsi tersebut. Bahkan, pascaerupsi 2010, ada 90 jenis burung yang sempat hilang dari kawasan tersebut. Sementara proses pemulihan hutan primer yang rusak ini, butuh waktu yang tidak sebentar. Setidaknya perlu 25 tahun sampai dia bisa pulih seperti semula.
ADVERTISEMENT
“Tidak menyalahkan erupsi dari Merapi, karena ini juga merupakan bagian dari dinamika Merapi yang memang sangat aktif,” ujarnya.
Terus Mengalami Perbaikan
Anggrek Vanda tricolor Merapi. Foto: Katgama.co
Upaya-upaya perlindungan terhadap flora dan fauna asli Merapi terus dilakukan. Perlahan, ekosistem Merapi terus mengalami perbaikan pascaerupsi 2010 yang berdampak sangat signifikan. Meskipun, sampai saat ini kondisinya belum benar-benar pulih seperti semula.
Misalnya anggrek-anggrek Merapi, sebelum erupsi 2010, keragaman jenisnya mencapai 90 lebih. Pada eksplorasi 2017, jumlah yang tercatat hanya sekitar 40an jenis. Pada eksplorasi terakhir tahun lalu, jumlahnya telah meningkat cukup signifikan menjadi sekitar 70 jenis anggrek.
“Memang belum mencapai angka semula, tentu butuh waktu,” ujar Akhmadi.
Dari sisi satwa, kondisinya relatif stabil, hanya beberapa jenis saja yang diperkirakan jumlahnya bertambah seperti kijang karena kerap terjadi perjumpaan. Namun untuk jenis-jenis lain, kondisinya relatif stagnan.
ADVERTISEMENT
“Elang Jawa selama 5 tahun terakhir jumlahnya juga stabil, bertambah paling hanya satu atau dua anakan saja karena perkembangbiakannya kan memang sulit dan lama,” ujarnya.
Elang jawa meninggalkan sangkar sementara seusai Presiden Jokowi membuka pintu penutupnya. Foto : Okie Kristiawan / Raptor Indonesia
Lutung Jawa, yang sebelum erupsi 2010 banyak dijumpai di kawasan Plawangan dan Turgo, sampai sekarang justru belum dijumpai lagi. Namun di sisi timur dan tenggara, seperti di wilayah Klaten dan Boyolali, Lutung Jawa masih bisa dijumpai bahkan dengan jumlah populasi yang cukup banyak.
Lutung Jawa merupakan spesies primata yang sangat sensitif, baik terhadap aktivitas manusia maupun aktivitas vulkanis Merapi. Diduga, mereka telah melakukan migrasi dari kawasan Plawangan dan Turgo ke timur yang relatif lebih aman dari dampak aktivitas Merapi.
“Karena sejak erupsi 2010, kan wilayah Merapi terbagi menjadi dua, barat dan timur yang dipisahkan oleh Sungai Gendol yang jadi jalur material vulkanis Merapi tiap erupsi,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Tiap 5 November, selalu diperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN). Menurut Akhmadi, peringatan ini mestinya tidak hanya menjadi perayaan seremonial tiap tahun belaka, tapi jadi momentum penting untuk meningkatkan perlindungan dan pelestarian flora dan fauna Nusantara, termasuk mereka para penghuni kawasan Merapi.
“Atau paling tidak mengingatkan kita lagi bahwa ada banyak sekali flora dan fauna yang luar biasa yang hidup di Merapi, minimal itu, karena cinta kan tidak akan ada kalau kita tidak mengenal,” kata Akhmadi. (Widi Erha Pradana / YK-1)