Dari De Britto ke Gedangsari, Potret Pendidikan di Yogya

Konten dari Pengguna
4 Oktober 2019 19:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Kami dari SMA Negeri 1 Wonosari menolak demo, menolak anarkisme. Gunungkidul damai, Indonesiaku damai. NKRI harga mati,” kata sejumlah pelajar SMAN 1 Wonosari dalam sebuah video yang beredar di media sosial saat ramai-ramainya Demonstrasi Mahasiswa di Yogya pada akhir September lalu.
ADVERTISEMENT
Video dari SMAN 1 Wonosari tersebut bukan satu-satunya vide penolakan dari SMA/SMK Yogya yang viral di media sosial. Ada juga video pernyataan sikap pelajar SMA/SMK Yogyakarta lainnya. Sebut saja SMA Kolese De Britto, SMAN 10 Yogyakarta, SMKN 1 Sewon, dan SMK 2 Gedang Sari. Mereka memberikan pernyataan sikap serupa : menolak demonstrasi.
Video pernyataan sikap itu beredar setelah gelombang demonstrasi besar-besaran di sejumlah daerah melibatkan pelajar. Buntutnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengeluarkan surat edaran larangan demonstrasi untuk para pelajar. Dalam beberapa video yang beredar itu, narasi pernyataan sikap para pelajar serupa. Intinya menolak ajakan demo dan anarkisme. Tidak hanya narasinya yang serupa, gaya penyampaian atau deklamasinya pun nyaris serupa. Menyerukan dengan semangat berapi-api dan bersama-sama : pelajar tolak demonstrasi.
ADVERTISEMENT
Koreografi Pelajar SMA Kolese De Britto
Pernyataan sikap pelajar SMA Kolese De Britto memiliki koreografi yang berbeda dengan video viral pernyataan sikap dari SMA dan SMK lain di Yogyakarta. Meski pada intinya tujuannya sama, menolak demonstrasi, namun ada perbedaan mendasar terkait narasi dan gaya deklamasi mereka.
Ketika pelajar-pelajar dari sekolah lain menyampaikan sikap langsung dengan penolakan tanpa ada sebab mengapa mereka menolak, pelajar De Britto menyampaikan narasinya dengan cara yang berbeda. Pelajar SMA Kolese De Britto yang semuanya laki-laki itu mengawali narasinya dengan gambaran kondisi kenapa mereka harus memberikan pernyataan sikap.
“Menanggapi situasi dan kondisi yang tidak kondusif akhir-akhir ini, terutama di Kota Jogja. Sekaligus merespons undangan yang disebar melalui media sosial, dan berbagai media berkaitan dengan tanggal 30 September mendatang. Maka, saya mewakili presidium, direksi, dan juga sekolah, ingin menyatakan, mengimbau, kepada seluruh civitas akademika SMA Kolese De Britto,” ujar seorang pelajar mengawali pernyataan sikapnya di atas podium.
ADVERTISEMENT
Penyampaian materi dari pimpinan siswa De Britto sangat tenang dan tidak berapi-api seperti pernyataan sikap pelajar di video sebelumnya. Dengan teks di tangan kanannya, pelajar gondrong itu terus melanjutkan pernyataan sikap dengan tenang dan kata-katanya hanya didengarkan, tanpa diikuti, oleh pelajar lain. Kontras dengan cara berdeklamasi pelajar dari sekolah lain, dimana pernyataan sikapnya dibacakan bersama-sama.
“Secara mandiri dan bijaksana, menanggapi situasi politik yang berkembang sekarang ini. Kedua, secara bersama-sama ingin menciptakan suasana aman dan tenang untuk mendukung situasi Kota Jogja yang damai dan kondusif,” lanjut sang narator.
Baru setelah itu mereka menolak dengan tegas ajakan demonstrasi.
“Kita bukan follower, kita bukan pengikut, tapi kita adalah pemimpin. Pemimpin yang secara bijaksana menentukan sikap dan arah berpikirnya. Maka JB bukan follower, JB markas besar leadership,” tutup pernyataan sikap pelajar De Britto disambut tepuk tangan pelajar lainnya.
ADVERTISEMENT
Kemampuan Berpikir Kritis
Bagi Dr. Haryanto, M.Pd, dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (FIP UNY), persoalan paling krusial bukanlah pelajar itu pro-demonstrasi atau anti-demonstrasi. Menurut Haryanto, yang terpenting adalah sikap itu murni inisiatif dari siswa atau bukan.
“(Kalau inisiatif siswa sendiri) berarti mereka memiliki kemampuan berpikir kritis,” ujar Haryanto ketika dihubungi Pandangan Jogja, Kamis (3/10).
Menurutnya, berpikir kritis adalah kemampuan yang sangat penting untuk menghadapi perkembangan zaman di abad 21 ini. Namun, jika ternyata sikap para siswa tersebut bukanlah inisiatif sendiri, dengan kata lain digerakkan atau ditunggangi siapapun, itu adalah sebuah tragedi atau kecelakaan besar.
“Itu kecelakaan besar namanya. Kasihan mereka diperalat oleh orang dewasa untuk melampiaskan aspirasinya,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Haryanto juga mengomentari video pernyataan sikap para pelajar di sejumlah sekolah di Yogyakarta. Dari yang tampak dalam cara penyampaian dan narasi pernyataan sikap, dia mengatakan kalau siswa SMA De Britto memiliki kecerdasan, kedewasaan, kemandirian, dan atau kedaulatan berpikir.
“Sekaligus sebagai indikasi bahwa mereka tidak dalam kendali siapapun. Berbeda dengan narasi dari sekolah lain terkesan asal dan terlihat bukan aspirasi sendiri,” lanjutnya.
Beda Kultur Beda Cara Berpikir
Siswa SMK Negeri 2 Gedangsari terlibat dalam proyek peragaan busana perancang busana Yogya, Lulu Lutfi Labubi, "Gedangsari Berlari," pada 2016 lalu. Foto : Rilis Lulu Lutfi Labubi
Dalam diskursus pendidikan, Haryanto memaparkan, dikenal dua dampak dari proses pembelajaran, yaitu dampak instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect). Dampak instruksional berupa diperolehnya pengetahuan dan keterampilan dalam bidan mata pelajaran atau pengetahuan tertentu yang dipelajari. Sedangkan dampak pengiring akan berpengaruh pada berkembangnya karakter positif seperti kedisiplinan, keujuran, kemandirian, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Kultur di dalam proses pembelajaran sangat berpengaruh untuk menentukan tercapai atau tidaknya dampak pengiring. Menurutnya, kultur yang dibangun di SMA Kolese De Britto memang berbeda jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah kebanyakan. Terutama dalam konteks kultur penyeragaman. Hal itu terlihat dari cara siswa de Britto menyampaikan sikap mereka.
“Dari tayangan video tersebut mengidikasikan bahwa terdapat perbedaan kultur antara De Britto dan sekolah lain. Kultur penyeragaman sepertinya tidak terlihat di De Britto. Sementara sekolah lain kultur penyeragaman terlihat jelas,” ujar Haryanto.
Meski begitu, dia tidak benar-benar anti-penyeragaman. Haryanto menyadari bahwa di lini kehidupan tertentu memang perlu ada penyeragaman. Misal soal pengendalian polusi, disiplin dalam berlalu lintas, dan sebagainya.
“Tetapi kalau cara pandang, persepsi, pilihan, dan sebagainya diseragamkan itu tidak seharusnya,” pungkas Haryanto.
ADVERTISEMENT
Karaketer Apa yang Seharusnya Dibangun Sekolah ?
Dosen Psikologi UGM yang juga Co Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Novi Poespita Candra mengatakan ada dua hal yang harus menjadi fokus pendidikan. Pertama keterampilan hidup (life skills) dan kedua, karakter. Menurutnya, dua hal itulah yang menjadi bekal terpenting agar siswa siap menghadapi era masyarakat 5.0 (society 5.0).
“Kompetensi tertinggi di keterampilan hidup adalah complex problem solving, komunikasi, kolaborasi dan kreatif serta kritis. Sedangkan karakter yang diharapkan adalah tangguh, mudah menyesuaikan diri, dan empatik,” ujar Candra kepada Pandangan Jogja, Jumat (4/9/2019).
Sayangnya, kultur pendidikan yang ada di Indonesia menurut Candra saat ini belum mendukung untuk menumbuhkan berbagai kompetensi itu. Paradigma pendidikan di Indonesia perlu diubah. Yakni, dari yang semula menggunakan pendekatan standarisasi yang berbasis akademik menjadi bagaimana membangun keunggulan pribadi setiap anak. Dan kultur sekolah memegang peran penting untuk ini.
ADVERTISEMENT
“Implikasi perubahan paradigma itu bisa dicapai dengan penciptaan ekosistem positif sekolah yang memerdekakan dan memanusiakan,” lanjut Candra.
Yang perlu dilakukan sekolah-sekolah di Indonesia saat ini menurut Candra bukan lagi mencetak anak-anak yang pintar akademis. Melainkan bagaimana agar anak-anak tersebut memiliki kegigihan, empati, melatih penyelesaian masalah, serta kolaborasi, bukan kompetisi.
Candra menceritakan bagaimana Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) menciptakan ekosistem yang memanusiakan manusia. GSM fokus pada empat area. Pertama, penciptaan lingkungan fisik dan sosial yang aman, nyaman, etis, dan empatik. Kedua, penumbuhan karakter melalui keterampilan mengelola emosi dan sosial. GSM juga berusaha untuk membangun pembelajaran yang relevan dan kontekstual, melalui project based learning dan problem based learning.
“Yang keempat bagaimana membangun konektivitas sekolah dengan lima pilar yaitu keluarga, komunitas, masyarakat, digital, dan global,” kata Candra.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana karakter sekolah-sekolah di Yogyakarta jika dilihat dari video para siswanya yang menolak demo?. Candra melihat karakter semua pelajar sudah bagus. Dia melihat bahwa para pelajar dalam video itu sudah dapat mengomunikasikan sikapnya dengan baik. Cara yang berbeda-beda menurutnya juga menunjukkan adanya kreativitas.
“Mereka juga masih menunjukkan perilaku etis dalam menyampaikan pandangannya secara publik dan itu adalah bentuk pengelolaan emosi dan sosial yang seharusnya dimiliki masyarakat 5.0,” tutup Candra. (Widi Hermawan / YK-1)