Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten Media Partner
Decision Maker: Hasto Wardoyo, Wali Kota Yogyakarta Terpilih
19 Februari 2025 14:39 WIB
·
waktu baca 13 menit
ADVERTISEMENT
Hasto Wardoyo resmi ditetapkan sebagai pemenang Pilkada 2024 di Kota Yogyakarta. Kamis (20/2) besok, Hasto akan dilantik langsung oleh Presiden Prabowo bersama ratusan kepala daerah terpilih lain di Istana Negara Jakarta.
ADVERTISEMENT
Berpasangan dengan Wawan Harmawan, Paslon yang diusung PDI Perjuangan ini sukses meraih 44,4 persen suara mengalahkan dua paslon lain, Heroe Poerwadi-Sri Widya Supena dan Afnan Hadikusumo-Singgih Raharjo. Hasto menjadi Wali Kota Yogya pertama yang diusung oleh PDI Perjuangan sepanjang sejarah.
Munculnya nama Hasto di hari terakhir pendaftaran calon telah mengubah peta politik dalam Pilkada Kota Yogya, di mana sebelumnya ada tiga nama yang diunggulkan, yakni Afnan, Heroe, dan Singgih.
Sebelumnya, pemilik RSKIA Sadewa ini pernah menjabat sebagai Bupati Kulon Progo selama dua periode, antara 2011-2019. Selesai menjabat Bupati, Hasto langsung diangkat sebagai Kepala BKKBN RI oleh Presiden Jokowi pada Juli 2019 hingga akhirnya mundur pada 2024 karena pencalonan ini.
Pandangan Jogja berkesempatan untuk melakukan wawancara dengan Hasto dalam program ‘Decision Maker’, untuk membahas kebijakan-kebijakan yang telah disiapkan untuk mengatasi berbagai persoalan di Kota Yogya. Selain itu, Hasto juga mengungkapkan proses bagaimana ia menerima tugas besar untuk maju sebagai Calon Wali Kota Yogya dari PDIP.
ADVERTISEMENT
Berikut adalah hasil wawancara langsung dengan Hasto Wardoyo, Wali Kota Yogyakarta terpilih.
Pak Hasto, selamat atas terpilihnya sebagai Wali Kota Yogya. Apa yang pertama kali Anda lakukan setelah dinyatakan menang?
Yang jelas bersyukur kepada Allah, Tuhan yang Maha Kuasa. Dan bagi saya ini surprise karena saya juga tidak menyangka saya itu mau maju Wali Kota, dan juga saya tidak menyangka akan menang, sehingga bagi saya satu kejutan yang besar, dan saya bersyukur pada Allah dan berterima kasih pada semua warga masyarakat, tim sukses, dan partai.
Saat kami hubungi 3 hari yang lalu, Anda masih di Makkah. Bagaimana rasanya beribadah dalam momen seperti ini Pak?
Ya, karena kita itu menghadapi beban yang tidak ringan, bekerja di satu wilayah di Kota Jogja yang mana tantangannya cukup banyak, saya harus banyak belajar. Juga harus mengemban marwah Kota Jogja sebagai Kota Pelajar, Kota Budaya, Kota Wisata, sementara kita punya masalah banyak juga. Ada masalah sampah, masalah lingkungan, dan sebagainya, sehingga kalau dikaitkan dengan ibadah, ya ibadahnya orang yang mau kerja berat, tantangan berat itu, kita lebih merasa ini sebagai ibadah orang kepepet.
ADVERTISEMENT
Ya, orang kepepet itu kan kalau memohon pada Tuhan, ya. Jadi sudah didahului dengan rasa keterpojokan, keterpepetan.
Apa doa utama Anda saat di Makkah kemarin?
Saya mohon untuk bisa diberikan kemudahan dalam mengemban tugas. Kemudian, saya mohon diberikan taufik dan hidayah dalam mengambil suatu keputusan, agar saya bisa bekerja itu dengan tepat. Karena hanya Allah yang paling tahu keputusan yang paling baik yang harus saya perbuat itu terhadap satu kebijakan tertentu untuk memajukan satu wilayah.
Dan saya juga berdoa supaya saya itu selamat dalam arti khusnul khotimah, artinya berakhir dari jabatan apapun kan inginnya waktu memulai itu satu hal yang kita bayangkan, besok kalau turun dari jabatan ini seperti apa, jadi membayangkan turunnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kemudian kita selalu berharap kita bisa khusnul khotimah.
Sebagai Wali Kota Yogya pertama dari PDI Perjuangan sepanjang sejarah, menurut Anda apa maknanya bagi Partai PDIP maupun masyarakat Jogja?
Memang betul bahwa selama ini PDI Perjuangan di Kota Yogyakarta selalu mendapatkan suara terbanyak dengan kursi terbanyak di DPRD, di legislatif, tetapi ya belum pernah punya Wali Kota.
Kami memaknainya ini sebagai suatu tantangan, PDI Perjuangan selama ini mungkin belum membuktikan secara langsung dalam hal ini memimpin sebagai Wali Kota untuk mewujudkan satu perjuangannya, pengabdiannya kepada masyarakat Yogyakarta.
Tentu pengabdian dan perjuangan yang terbaik, sehingga bagi kami ini ya tantangan lagi bahwa bagaimana PDI Perjuangan kalau diberikan kesempatan untuk memimpin di Kota Yogyakarta, ini kan satu hal yang istilahnya ada spekulasinya juga dalam hal ini bagaimana coba kalau dikasih kesempatan.
ADVERTISEMENT
Lah ini tantangan yang tidak ringan bagi saya, bahwa kita tidak hanya mengemban amanah warga masyarakat tapi juga partai.
Itu mengapa saat pidato kemenangan di DPC dulu, Anda malah menyampaikan "Innalillahi", bukan “Alhamdulillah” ya Pak?
Iya, karena gimana ya, kalau orang bilang selamat ya Pak, selamat ya, sebetulnya kan lebih baik kita itu ya kalau bahasa Jawanya ‘slameto’, ‘slameto’ (selamatlah) gitu. Kalau orang lulus S2 atau S3 itu, wah selamat, selamat itu karena memang pantas dia diselamati karena dia sukses, sudah menempuh satu ujian, tantangan, akhirnya lulus, dapat sertifikat.
Kalau kita ini kan ujiannya baru mau dijalani kan. Orang baru mau menjalani ujian, masa dikatakan selamat?
Anda ditetapkan menjadi calon Wali Kota itu menjelang hari terakhir pendaftaran. Bisa diceritakan detail-detail Anda dipilih, dan kami dengar Anda sempat menolak, bahkan sempat menangis waktu itu?
ADVERTISEMENT
Iya sebetulnya kan ketika dua hari sebelum tutup pendaftaran saya dihubungi dari DPP, Pak Sekjen, dan atas perintah dari Ibu Megawati Soekarnoputri maka kemudian kami diberikan mandat untuk maju di Kota Yogyakarta.
Memang saya kaget betul itu karena saya tidak terbayang ya kalau orang Jawa bilang, rasanya lugut pinoro sewu, lugut itu bulu di pohon bambu, itu sudah kecil tapi dibagi 1.000, jadi tidak punya pemikiran untuk maju Wali Kota Yogyakarta, enggak ada pemikiran sama sekali, itu kan tiba-tiba diberikan kepercayaan, diberi mandat untuk maju.
Saya waktu itu minta waktu dua hari, tapi belum sampai dua hari saya sudah ditelepon Pak Sekjen karena waktunya sudah mepet, cari syarat-syarat juga nggak gampang kan, waktunya tinggal dua hari, saya kemudian dengan mengucapkan Bismillah ya saya akan menyempurnakan ikhtiar ini.
ADVERTISEMENT
Kabarnya sempat menangis betul itu Pak?
Ya gimana ya, kan saya waktu itu dengan istri saya pas di mobil. Istri saya juga sangat sedih, ya kita nangis itu ya satu hal yang biasa ya, karena kita juga di satu sisi terenyuh, di sisi lain kan kita akan memulai sesuatu yang tidak pasti.
Kalau misal Anda dikasih jabatan SK, terus habis itu dilantik, itu kan beda kan? Kalau ini dikasih SK untuk perang kan? Jadi kalau misalkan Anda yang ada tidak di dalam barisan peperangan tiba-tiba dapat surat untuk jadi panglima perang, bisa dibayangkan seperti apa.
Lain mungkin dengan calon-calon lain, sudah ada yang dua tahun sebelumnya, ada yang bahkan mungkin 5 tahun sebelumnya memang ingin bercita-cita. Situasinya waktu itu campur aduk, antara terharu, cemas, gelisah, ya nangisnya itu karena campuran antara cemas, gelisah, terharu itu.
ADVERTISEMENT
Tapi Alhamdulillah waktu itu saya saat ditelepon itu ada istri saya, sehingga istri saya juga mendengar langsung, dan Alhamdulillah ya Tuhan itu memberikan satu kemudahan, istri saya juga dalam waktu dua hari itu bisa menata batin, menata pikir, karena bagi kami ini adalah yang ketiga maju Pilkada, pengalaman itu kan ada pahit getirnya juga. Kalau mengingat pahit-pahitnya bisa nangis kita ini.
Anda pernah dua periode menjabat sebagai Bupati Kulon Progo, dan kali ini Anda hanya punya 5 tahun sebagai Wali Kota Jogja. Di waktu yang singkat ini, apa strategi untuk memastikan bahwa Anda akan memberikan dampak nyata untuk warga Jogja?
Program itu pasti ada yang istilahnya quick win. Di samping ada yang quick win, tentu ada program yang sifatnya butuh multi-year, long-term. Saya biasanya menentukan gitu, mana nih quick win-nya, mana yang long-term.
ADVERTISEMENT
Quick win tentu yang memang cepat bisa teratasi, contoh misalnya sampah. Sampah ini harus ada quick win-nya dong karena ini sudah mendesak. Kemudian untuk waktu 5 tahun itu misalnya kita akan menata sektor pariwisata, karena PAD Jogja kan mayoritas dari pariwisata.
Kalau bicara pariwisata, mestinya itu harus ada atraksi, ada komunitas, kemudian juga tentu masalah transportasi, keterjangkauan. Kami ingin menambah atraksi supaya wisata ini lebih bergeliat, contoh destinasi itu bagian dari atraksi, kemudian kalau kita juga bisa membuat suatu jenis tontonan, misalkan kalau di Bali ada tari kecak, ya kenapa di Jogja tidak ada tari tertentu yang membuat magnet semua orang itu akan pulang dari Jogja setelah melihat hal itu misalnya, itu kan itu belum ada. Saya optimis membuat hal seperti itu dalam waktu 5 tahun.
ADVERTISEMENT
Nah termasuk hal-hal lain yang sifatnya regulasi, regulasi yang bisa kita buat dalam waktu cepat yang merubah, katakanlah sistem. Contoh seperti ini, kita ingin memajukan kampung, kemudian di Jogja ini ada potensi banyak perguruan tinggi, kemudian saya bikin MoU dan perguruan tinggi itu ‘one village, one sister university’. Nah ini kan bisa saya selesaikan Insya Allah di waktu 5 tahun itu sehingga kampung-kampung yang bertema tertentu berpartner pada perguruan tinggi tertentu, kampus tertentu yang punya tema tertentu juga itu sehingga secara multi-year, ya 5 tahun ini perguruan tinggi itu fokus di situ. Meskipun KKN-nya berganti, mahasiswa yang belajar di situ berganti, tetapi temanya tetap ada, goal-nya ini kan, Insya Allah bisa kita selesaikan.
ADVERTISEMENT
Kemudian ‘one village, one sister company’, satu kampung kita carikan partner satu perusahaan untuk membina dia. Hal-hal ini saya kira bisa kita selesaikan, itu kan bisa mengurangi pengangguran, membentuk UMKM. Hal-hal seperti itu saya kira bisa kita selesaikan dalam waktu 5 tahun.
Anda mungkin kalau ingat waktu saya di Kulon Progo, kita membuat air minum dalam kemasan, meskipun harus prosedurnya melalui BPOM, kemudian mengurus hak kekayaan intelektual, nggak sampai 5 tahun selesai kan. Batik Geblek Renteng juga selesai dalam rangka untuk membangun kemandirian. Kita mengubah Alfamart dan Indomaret menjadi Tomira, juga nggak sampai 5 tahun selesai. Itu kan mengubah satu sistem, gerakan supaya warga itu mendapatkan suatu dampak kesejahteraan dari suatu proses yang ada.
ADVERTISEMENT
Tadi disinggung soal Tomira, kita tahu Tomira dan BelaBeli Kulon Progo telah mengantarkan Anda meraih penghargaan dari Presiden. Apakah akan diadopsi juga di Kota Yogya?
Gerakan-gerakan yang menyangkut masalah ekonomi kerakyatan itu meskipun bentuknya tidak sama tapi ideologinya sama, itu harus dipraktikkan. Sebetulnya yang saya lakukan di Kulon Progo adalah praktik yang sudah selalu digaung-gaungkan oleh Bung Karno, bahwa kita ini harus berdikari dalam bidang ekonomi, kita harus berdaulat dalam bidang politik.
Kita sudah berdaulat dalam bidang politik ya, tetapi berdikari dalam bidang ekonomi itu PR besar. Bagi saya, untuk mereplika apa yang sudah kami lakukan di Kulon Progo, itu harus menyesuaikan juga dengan kondisi di Kota Jogja.
Saya bisa bikin BelaBeli Kulon Progo karena di sana kita bisa bikin cokelat sendiri, bikin kopi sendiri bisa, bikin teh sendiri bisa. Tapi di Kota Jogja ini kan tidak punya sumber daya alam seperti di Kulon Progo, situasinya beda. Mungkin nanti kami akan temukan cara untuk prinsip mengamalkan ideologi berdikari dalam bidang ekonomi.
ADVERTISEMENT
Hari ini netizen sudah mulai berspekulasi, kalau Pak Hasto akan men-Tomira-kan Alfamart dan Indomaret di Kota Jogja. Tanggapan Anda bagaimana?
Boleh saja menduga-duga begitu. Bagi saya, sebetulnya bukan masalah Tomira-nya, tapi masalah bagaimana rakyat itu tidak jadi penonton. Itu kan koperasi, ada koperasi yang ikut memiliki waralaba berjejaring sehingga rakyat ini bisa ikut menikmati hasil dari waralaba berjejaring itu karena rakyat menjadi bagian objek yang ada di lingkungan itu dan ekonomi kita itu kalau ekonomi Pancasila, ekonomi kerakyatan ya mestinya, ya sebanyak mungkin modal itu dimiliki oleh rakyat. Sebenarnya itu saja.
Sehingga gerakan-gerakan saya pasti tidak jauh dari itu. Tentang nanti bentuknya akan seperti apa kan nanti mesti situasional ya, idenya tetap sama, bagaimana mendeliver modal yang dimiliki oleh orang-orang yang punya modal kepada sebanyak mungkin warga.
Saat pidato penetapan di KPU kemarin, Anda menyampaikan sudah ditagih untuk mengatasi masalah sampah. Apa rencana konkret untuk menyelesaikan persoalan ini?
ADVERTISEMENT
Ada dua. Satu, sampah ini kan ada masalah yang darurat, harus ada exit emergency-nya. Bagaimana depo-depo yang menumpuk, yang mengganggu dan itu sangat tidak sehat, kita bersihkan. Kemudian bagaimana alur sampah dari RT, RW ke depo, sistem ini harus selesai dalam waktu cepat. Termasuk saya memang punya gagasan bahwa tidak seyogyanya warga itu datang sendiri jauh-jauh ke depo, kemudian antre di depo. Karena dampaknya begitu dia membawa ke depo, belum sampai depo sering kali sudah naruh di pinggir jalan, itu kenyataannya.
Nah, long-term-nya itu memang kita harus membangun sistem yang sustainable dalam jangka panjang.
Kendala Pemkot kan selama ini masalah lahan, dan beberapa kali TPS 3R yang dibangun juga mendapatkan penolakan dari masyarakat. Bagaimana mengatasi masalah ini?
ADVERTISEMENT
Ada dua cara memecahkan masalah keterbatasan lahan, satu, me-reduce sampah, volumenya dikecilkan. Yang kedua membuat outlet tambahan selain Piyungan, harus ada kerja sama mitra dengan outlet lain. Itu saja solusinya. Yang me-reduce ini, mengurangi volume sampah, salah satunya adalah dengan memilah, memilah itu sudah sangat mengurangi karena dengan memilah tentu banyak barang-barang yang masih bisa di-recycle, kemudian ada yang reuse, dan seterusnya akan terambil, sehingga betul-betul hanya residu yang dibawa ke TPST.
Kota Jogja ini sebenarnya kota yang kecil, tapi masalahnya cukup kompleks. Kita tahu ada masalah sampah, ada klitih, kemiskinan, transportasi, terbatasnya ruang publik, sampah terakhir yang bikin geger adalah miras. Dari sekian banyak masalah ini, apa yang akan jadi fokus Anda dalam 5 tahun ke depan?
ADVERTISEMENT
Saya selalu sampaikan ya bahwa Kota Jogja ini kota yang punya sumber daya manusia, tapi miskin sumber daya alam. Sumber dayanya dalam bentuk seperti karya seni, budaya, yang kemudian menjadi bagian dari unsur pariwisata. Bagi kami itu, saya kembali ada quick win, itu penting ya, tapi yang mendasari dari semua masalah yang Anda sampaikan itu adalah satu, yaitu mindset. Jadi perubahan perilaku itu penting.
Masalah klitih, sampah, kemudian Anda bilang juga tentang masalah kemiskinan, kemudian ruang publik, semua itu banyak yang didasari oleh perilaku manusia. Oleh karena itu bagi saya membangun sumber daya manusia ini penting sekali, membangun mindset, membangun karakter, itu penting sekali.
Sedangkan ruang publik ini adalah masalah yang unmodifiable, artinya susah untuk merubah keluasan yang segini, apalagi yang mau dirubah? Apa mau di-extend gitu kan kan tidak memungkinkan. Jadi, ini yang harus kreatif.
ADVERTISEMENT
Kalau menurut saya harus kreatif, karena ruang publik yang ada memang sangat terbatas, sehingga barangkali ada hal-hal yang bisa tidak harus di Kota Jogja. Contoh makam misalkan itu, makam ini kan orang Jogja itu kalau meninggal harus memakan tanah, kan tidak harus dimakamkan di Jogja semua, kita bisa kolaborasi, membikin makam khusus dari Kota tapi di tempat lain, begitu juga pengolahan sampah, pengolahan ini kan tidak harus di Kota Jogja, kita bisa kolaborasi dengan Kabupaten lain, kita bisa minta arahan Ngarso Dalem, Pak Gubernur, untuk misalkan kita bisa menggunakan tanah kesultanan.
Membangun karakter itu bukan pekerjaan yang bisa dilakukan dalam waktu singkat, dalam waktu 5 tahun ini mindset seperti apa yang ingin Anda bangun?
ADVERTISEMENT
Dasar mindset-nya adalah kedisiplinan, karena kota yang bersih biasanya karena didasari satu kedisiplinan. Jadi edukasi pengetahuan, setelah punya pengetahuan, orang biasanya mindsetnya berubah, setelah mindsetnya berubah baru terakhir perilakunya berubah. Biasanya begitu, makanya ya memang harus edukasinya mulai dari tadi, edukasi untuk pengetahuan, terus mindset, terus akhirnya memberikan contoh perilaku.
Nah, cuma saya setuju bahwa merubah ini kan tidak bisa cepat, itu harus secara bertahap, cuma kalau tidak dimulai maka tidak akan pernah sampai sana. Jadi harus mau tidak mau dimulai sekarang, harus dimulai.
Terakhir Pak, apa yang bisa Anda janjikan kepada warga Jogja di akhir masa jabatan Anda nanti?
Kalau kita melihat Kota Yogyakarta ini kan punya marwah yang kuat sebagai Kota Pendidikan, sebagai Kota Pelajar, sebagai Kota Budaya, sebagai Kota Pariwisata, maka obsesi saya tidak jauh dari situ, bahwa Yogyakarta menjadi center of excellence. Karena makna dari Kota Pendidikan itu mengandung makna di situ banyak ahli, ketika banyak ahli maka bisa menjadi excellency, menjadi pusat kemajuan. Yang kedua Yogyakarta menjadi center of referral, jadi sebagai referral, ya kalau saya sebagai dokter, tentu berharap kalau Jogja sebagai center excellence-nya di bidang kedokteran, ya center of referral artinya orang Kebumen, orang Temanggung, mesti referensinya ke Yogyakarta, kan begitu.
ADVERTISEMENT
Nah tentu ini yang lebih luas lagi urusan publik, layanan publik, ya harusnya Kota Yogyakarta menjadi referensi untuk layanan publik, juga menjadi excellent untuk layanan publik, karena mimpi saya itu ya orang suruh studi ke Jogja itu kan sudah tertarik duluan, karena tempatnya, karena makna Jogja, ada Keraton, ada Sultan, dan kemudian itu udah jadi magnet tersendiri, ini kan sebagai suatu kekuatan, kekuatan ini harus dimanfaatkan dong, menjadi center of excellence bagi banyak hal, itu yang jadi obsesi kami. Untuk menjadi central of excellence, central of referral, harus menjadi best practice, sehingga dalam bidang layanan publik itu kita harus jadi best practice, itu salah satu obsesi kami.