Konten Media Partner

Demokrasi Substantif di Indonesia Dinilai sebagai Tantangan yang Belum Terwujud

29 Desember 2024 12:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana diskusi Praksis seri ke-4 di Jakarta, Jumat (27/12). Foto: Dok. Praksis
zoom-in-whitePerbesar
Suasana diskusi Praksis seri ke-4 di Jakarta, Jumat (27/12). Foto: Dok. Praksis
ADVERTISEMENT
JAKARTA – Konsep demokrasi substantif masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Meski secara prosedural demokrasi telah berjalan dengan adanya pemilu, pemilihan kepala daerah, dan lembaga perwakilan, namun partisipasi aktif dan sederajat dari seluruh masyarakat belum sepenuhnya terwujud.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menjadi bahasan utama dalam diskusi Forum Praksis seri ke-4 yang digelar oleh Pusat Riset dan Advokasi Serikat Yesus (JRS) di Jakarta pada Jumat (27/12).
Stefanus Hendrianto SJ, narasumber tunggal dalam forum tersebut, menilai bahwa istilah seperti "de-demokrasi" atau "erosi demokrasi" kurang tepat digunakan di Indonesia.
"Istilah-istilah itu mengandaikan bahwa kita pernah memiliki demokrasi substantif yang sekarang mengalami kemerosotan. Faktanya, demokrasi substantif belum pernah sepenuhnya terwujud," ujar Hendrianto, doktor hukum konstitusional lulusan University of Washington, AS.
Stefanus Hendrianto SJ saat menjadi pembicara dalam forum Praksis. Foto: Dok. Praksis
Menurutnya, demokrasi substantif mengacu pada tradisi Yunani dan Romawi. Dalam tradisi Yunani, seperti yang diungkapkan Plato dan Aristoteles, demokrasi memerlukan civic friendship atau persahabatan warga yang didasarkan pada nilai kebaikan bersama, bukan kepentingan sesaat. Hal ini mensyaratkan kepercayaan dan keadilan antarwarga sebagai fondasi demokrasi.
ADVERTISEMENT
“Artinya, bersamaan dengan itu, friendship atau persahabatan mensyaratkan adanya keadilan, sehingga persahabatan dan keadilan tidak bisa dipisahkan satu sama lain,” jelasnya.
Sementara, tradisi Romawi mendasarkan demokrasi pada konsep pietas atau keutamaan kewajiban dan dedikasi tinggi terhadap dewa, keluarga, dan negara. Bertolak dari konsep pietas ini setiap warganegara merasa memiliki kewajiban dan dedikasi (a sense of duty and devotion) yang tinggi terhadap para dewata, keluarga, dan negara.
Kewajiban terhadap para dewata antara lain diungkapkan dalam bentuk kesetiaan mengikuti ritual-ritual keagamaan dan penghormatan terhadap tradisi. Kewajiban kepada keluarga diekspresikan dalam sikap hormat dan taat terhadap orangtua dan leluhur, serta bakti kepada rumah-tangga masing-masing. Sedang kewajiban kepada negara diwujudkan dalam bentuk siap berkorban demi kepentingan negara, sikap hormat terhadap hukum dan tradisi, serta kesediaan untuk lebih mengutamakan kebaikan bersama atau common good daripada kepentingan diri.
ADVERTISEMENT
Pada satu sisi sikap hormat yang berlebihan pada orangtua, tradisi leluhur, serta elit politik sebagai representasi negara dapat menghambat pelaksanaan demokrasi secara murni.
"Konsep pietas ini relevan untuk menghadirkan partisipasi publik dalam pemerintahan di tengah sistem feodal dan monarkikal yang dominan saat itu," jelas Hendrianto.
Kritik terhadap Demokrasi Schumpeterian
Foto: Dok. Praksis
Hendrianto juga mengkritik model demokrasi Schumpeterian yang mereduksi demokrasi menjadi sekadar masalah perwakilan. Ia menilai, konsep pietas dapat menjadi alternatif untuk mendorong demokrasi yang lebih substantif di Indonesia, tentu dengan penyesuaian seperti menggantikan dedikasi kepada dewa dengan dedikasi kepada Tuhan.
Sebagai mantan aktivis Reformasi 1998, Hendrianto mengungkapkan bahwa reformasi di Indonesia baru menghasilkan demokrasi elektoral tanpa mencapai demokrasi substantif. "Pada era 1950-1959, meski terjadi perdebatan keras antar kelompok politik, ideologi dan tujuan mereka untuk Republik Indonesia masih jelas. Namun, selama 20 tahun terakhir, tujuan utama atau telos politik di Indonesia cenderung samar-samar," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Sistem Dapil dan Tantangan Representasi
Dalam sesi tanya jawab, Hendrianto mengungkapkan kelemahan sistem daerah pemilihan (dapil) di Indonesia. "Wakil rakyat sering kali kehilangan kendali dari pemilihnya setelah menduduki jabatan nasional. Hal ini berbeda dengan di Inggris, di mana warga dapil bisa menyampaikan aspirasi langsung kepada wakilnya di lobi Parlemen.”
“Dari situ lalu muncul istilah lobbying atau me-lobi," ujarnya.