Konten Media Partner

Di Dusun Kedungrong Kulon Progo Pakai Listrik Berapa pun Cukup Bayar Rp 12 Ribu

11 September 2022 19:02 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pesta pora listrik warga desa: saat seluruh dunia dibuat pusing oleh kenaikan harga energi, warga Dusun Kedongrong, Kulon Progo, DIY cukup bayar Rp 12 ribu untuk pemakaian alat elektronik berapa pun.
Teknisi PLTMH Kedungrong, Widarto sedang mengecek kotak transimisi. Foto: Arif UT
zoom-in-whitePerbesar
Teknisi PLTMH Kedungrong, Widarto sedang mengecek kotak transimisi. Foto: Arif UT
Tiada hari tanpa bising suara mesin las, milling, hingga kompresor di bengkel kecil milik Suparman di Dusun Kedungrong, Desa Purwoharjo, Samigaluh, Kulon Progo, DIY. Dari pagi sampai menjelang malam, mesin-mesin di bengkelnya terus bekerja silih berganti, nyaris tiada henti.
ADVERTISEMENT
Selain berbagai mesin itu, di bengkel yang menyatu dengan rumahnya juga terdapat televisi tabung, pompa air, hingga kulkas. Jika dihitung-hitung, ongkos listrik yang harus dia bayar tiap bulan bisa mencapai ratusan ribu, bahkan satu juta. Biaya yang sangat berat bagi pengusaha bengkel di dusun kecil seperti Suparman.
Untungnya Suparman tak harus membayar ongkos listrik semahal itu. Untuk semua listrik yang dia pakai, Suparman cukup membayarnya Rp 12 ribu untuk 35 hari. Semua ini berkat Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang menyuplai listrik hampir seluruh rumah di Dusun Kedungrong.
“Dulu biaya listrik itu salah satu yang paling berat, sekarang sudah enggak mikirin lagi,” kata Suparman, Sabtu (10/9).
Biaya yang sebelumnya dia pakai untuk bayar listrik, kini bisa dialihkan untuk beli spare part atau tambah alat. Dengan begitu, bengkel kecilnya bisa terus berkembang, bahkan di situasi sulit seperti saat pandemi COVID-19 dua tahun ini.
ADVERTISEMENT
“Kalau masih harus bayar listrik normal mungkin sudah gulung tikar saya,” ujarnya.
Suparman menggunakan mesin las dengan listrik mikro hidro pada awal 2021 lalu. Foto: Widi Erha Pradana.
Kebisingan yang terjadi di bengkel kecil Suparman juga terjadi di rumah Supriadi, warga Kedungrong lain. Jika di bengkel Suparman ada mesin las hingga kompresor, di rumah Supriadi ada mesin gerinda, bor, mesin serut kayu, hingga gergaji. Supardi adalah tukang kayu andal pembuat berbagai furnitur yang sudah banyak dijual ke luar kota.
Mesin-mesin kerjanya juga bekerja nyaris setiap hari, terutama jika pesanan sedang ramai. Jika dihitung-hitung, konsumsi listrik mesin-mesin di tempatnya tak kalah besar dibanding mesin di bengkel Suparman. Dan Supriadi cukup membayar Rp 12 ribu tiap 35 hari.
“Hemat berkali-kali lipat. Mau pakai apa saja, ya bayarnya tetap Rp 12 ribu jadi enggak pernah pusing lagi sama tagihan listrik yang membengkak,” kata Supriadi.
ADVERTISEMENT
Berawal dari Bencana yang Tewaskan 7 Warga
Cahyono Adi Nugroho. Foto: Arif UT
Tujuh orang tewas dalam sebuah bencana tanah longsor yang terjadi di Dusun Kedungrong pada tahun 2000 silam. Tahun itu menjadi salah satu tahun paling muram bagi dusun yang dikelilingi oleh perbukitan. Meski dua dasawarsa lebih telah berlalu, namun warga Kedungrong masih ingat jelas bagaimana rumah-rumah di dusun mereka dibuat luluh lantak.
Cahyono Adi Nugroho adalah saksi hidup peristiwa kelam itu. Dia salah seorang warga Kedungrong yang saat itu menjadi ketua posko penanganan bencana. Sampai hari ini, Cahyono masih bisa mendengar tangisan warga tetangga-tetangganya yang kehilangan anggota keluarga mereka.
Tapi pepatah lama mengajarkan, selalu ada hikmah di balik setiap musibah. Bencana itu juga yang membuat Warga Dusun Kedungrong selama sepuluh tahun terakhir tak pernah peduli lagi dengan tarif listrik yang terus naik. Tarif listrik PLN mau naik berapapun, mereka cukup bayar Rp 12 ribu, bahkan beberapa tahun sebelumnya lalu hanya Rp 7 ribu.
ADVERTISEMENT
“Enggak masalah tarif listrik mau naik berapa aja, hasil listrik dari PLTMH saja sudah lebih-lebih, mau buat pakai apapun sudah bisa, enggak perlu takut meterannya anjlok,” kata Cahyono Adi Nugroho.
Saluran air setelah melewati turbin pembangkit. Foto: Airf UT
Tapi ada cerita panjang di balik listrik murah yang dinikmati oleh warga Kedungrong saat ini. Kisah itu bermula saat salah seorang ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM) ikut meninjau lokasi bencana tanah longsor di Kedungrong. Ketika melihat ada saluran irigasi dengan debit air cukup besar melintas di Dusun Kedungrong, dia melihat ada potensi untuk membangun PLTMH di lokasi tersebut.
“Ke saya beliau bilang, ini ada air terjun sayang kalau enggak dibikin PLTMH,” ujarnya.
Dari dosen UGM itulah Cahyono mendapat beragam informasi mengenai apa itu PLTMH dan manfaatnya untuk masyarakat, apalagi sebelumnya listrik konvensional dari PLN seringkali terputus terutama saat musim penghujan. Tak lama setelah pertemuan itu, dalam sebuah forum penjaringan aspirasi DPRD Kabupaten Kulon Progo di Dusun Kedungrong, Cahyono memberanikan diri untuk mengusulkan program pembangunan PLTMH di dusunnya.
ADVERTISEMENT
Sayang, usulan itu macet. Tak pernah ada perkembangan selama bertahun-tahun hingga akhirnya Cahyono menjadi anggota dewan pada 2004. Ternyata selama ini aspirasinya hanya sekadar ditampung, tanpa ditindaklanjuti.
Setelah menjadi anggota dewan, barulah Cahyono mendorong kembali supaya pengajuan program tersebut bisa direalisasi. Bukan perkara gampang, butuh waktu waktu delapan tahun sampai program tersebut diterima dan direalisasikan pada tahun 2012 di bawah Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP-ESDM) Kabupaten Kulon Progo.
“Selama proses itu kebetulan ada mahasiswa KKN UGM datang, jadi sekalian mereka melakukan pendampingan sampai masyarakat bisa mengelola sendiri PLTMH ini,” kata Cahyono.
Dari 5 KK, Menjadi 50 KK
Teknisi PLTMH Kedungrong, Widarto. Foto: Arif UT
Sampai hari ini, setelah 10 tahun berjalan, PLTMH Kedungrong terus mengalami perkembangan. Dikelola secara mandiri oleh masyarakat, PLTMH yang pada awal berdirinya hanya digunakan oleh 5 kepala keluarga (KK), kini sudah digunakan oleh hampir semua warga Dusun Kedungrong sebanyak 50 KK. Kapasitas listrik yang dihasilkan oleh PLTMH juga sudah mencapai 20 KW.
ADVERTISEMENT
“Hanya satu KK yang sekarang belum pakai listrik mikro hidro, soalnya kalau mau pasang kan harus instalasi listrik lagi,” kata teknisi PLTMH Kedungrong, Widarto.
Widarto adalah salah satu relawan yang setiap hari melakukan perawatan dan maintenance mesin PLTMH. Arus listrik yang semakin stabil dari PLTMH menurutnya membuat warga berani untuk memutuskan beralih ke listrik mikro hidro. Alasan lain tentu karena biayanya jauh lebih murah.
Satu-satunya kendala dari PLTMH Kedungrong saat ini adalah banyaknya sampah yang mengalir di saluran irigasi, terutama saat musim penghujan. Sampah-sampah tersebut membuat putaran turbin menjadi terganggu, sehingga harus dibersihkan setiap sore. Saat dibersihkan, otomatis mesin harus dipadamkan, sehingga listrik yang mengalir ke rumah-rumah warga juga akan ikut padam.
ADVERTISEMENT
“Pemadamannya sebenarnya hanya sebentar, paling 10 menitan setiap sore,” ujarnya.
Sebenarnya, kalau saja listrik dari PLTMH tersebut dapat disimpan, pemadaman tersebut tidak perlu dilakukan. Sebab, meskipun mesin dimatikan, nantinya listrik tetap bisa dialirkan ke rumah-rumah warga dari baterai yang dipakai untuk menyimpan listrik tersebut.
Apalagi saat ini sebagian listrik dari PLTMH juga terbuang sia-sia karena tak dipakai, sebab daya yang dikonsumsi oleh masyarakat tak sebesar kapasitas yang dihasilkan oleh pembangkit tersebut.
“Kalau saja kelebihan listriknya bisa disimpan, bakal makin lancar jaya,” kata Widarto.