Konten Media Partner

Didukung UNESCO, 15 Seniman di Jogja Gelar Ruang Rupa Taman Sesaji

12 Desember 2024 17:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Acara Ruang Rupa Taman Sesaji yang digelar oleh 15 seniman di Jogja. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Acara Ruang Rupa Taman Sesaji yang digelar oleh 15 seniman di Jogja. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
15 seniman dan budayawan di Jogja menggelar Ruang Rupa Taman Sesaji pada 7 sampai 11 Desember 2024. Acara ini menjadi kampanye melawan misinformasi, disinformasi, dan malinformasi, dengan dukungan dari UNESCO, Social Media 4 Peace, dan Wikipedia Foundation.
ADVERTISEMENT
Acara ini menggabungkan seni tradisi dan dialog budaya untuk memberikan pemahaman yang lebih luas tentang isu-isu informasi yang salah, khususnya dalam konteks tradisi dan budaya lokal.
Pada pembukaan acara, Sabtu (7/12), akademisi dan budayawan Jawa, Hajar Pamadhi, menyampaikan pentingnya memahami tradisi sesaji sebagai ekspresi estetika dalam kosmologi Jawa. Ia menjelaskan bahwa tatanan seni tradisional meliputi tiga unsur utama, yaitu Dana Rupa, Dana Pangripta, dan Dana Raos, yang mencerminkan harmoni dalam kehidupan.
Acara Ruang Rupa Taman Sesaji yang digelar oleh 15 seniman di Jogja. Foto: Dok. Istimewa
Sebanyak 15 seniman berpartisipasi dalam acara ini, yakni Hangno Hartono, Eko Hand, Agus Suyamto, Ipong Suranto, Arita Savitri, Guntur Ajisaka, Yan Santana, Iwan Wijono, Sindu Cutter, Tukirno B. Sutejo, Bejo Ludiro, Bejo Wage Su, Laksmi Sitoresmi, Fio Retno, dan Tri Suharyanto. Karya mereka hadir dalam bentuk pameran lukis dan kriya, serta performa seni yang mendalam dan penuh makna.
ADVERTISEMENT
Salah satu seniman yang berpartisipasi, Hangno Hartono, mengangkat dampak negatif misinformasi pada tradisi budaya. Ia memberikan contoh bagaimana Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan sajen sebagai makanan untuk makhluk halus, yang berpotensi menciptakan stigma peyoratif.
Hangno juga mengingatkan tentang persekusi tradisi sesaji yang sempat viral di Gunung Semeru pada 2022 dan ujaran kebencian terhadap budaya lain seperti wayang yang terjadi pada tahun yang sama.
“Narasi semacam ini harus segera diluruskan agar tidak berdampak lebih jauh pada budaya lainnya,” kata Hangno, Rabu (11/12) kemarin.
Acara Ruang Rupa Taman Sesaji yang digelar oleh 15 seniman di Jogja. Foto: Dok. Istimewa
Pada kesempatan yang sama, Wahjudi Jaya, menjelaskan bahwa tradisi sesaji bukan hanya memiliki nilai spiritual, tetapi juga berfungsi sebagai sarana konservasi lingkungan. Ia menyatakan pentingnya menjaga dan mengembangkan warisan kearifan lokal ini, seraya menyebutkan bahwa komunitas Taman Sesaji memiliki visi untuk mengusulkan tradisi sesaji sebagai warisan budaya dunia.
ADVERTISEMENT
“Selain itu, tradisi ini memiliki potensi besar untuk dijadikan destinasi pariwisata alternatif yang unik dan prospektif,” kata Wahjudi.
Pertunjukan seni performatif menjadi salah satu kegiatan dalam acara ini, dengan penampilan dari Iwan Wijono, Tri Suharyanto, Laksmi Sitoresmi, Bejo Ludiro, dan Kelompok Surya Sakethi.
Acara Ruang Rupa Taman Sesaji yang digelar oleh 15 seniman di Jogja. Foto: Dok. Istimewa
Laksmi Sitoresmi menampilkan “Bumi Sedang Tidak Baik-Baik Saja” dengan menggunakan uborampe sesaji kembang yang diletakkan di empat penjuru mata angin, dilengkapi lilin sebagai penerang. Laksmi menyebutkan bahwa simbol-simbol ini mencerminkan empat nafsu manusia, yaitu amarah, lauwamah, mutmainah, dan sufiah.
“Melalui pertunjukan ini, harapannya semua godaan nafsu dapat teratasi, membawa pencerahan bagi manusia dan dunia,” ujarnya.
Pada hari ketiga, Iwan Wijono menampilkan seni performa bertema Sukerto, yang menggambarkan proses pembersihan diri melalui ritual budaya. Dalam penampilannya, ia melibatkan audiens dengan meminta mereka menuliskan kata-kata bebas yang kemudian dibakar. Ritual ini diiringi tarian melingkar sebanyak tujuh kali sambil menggigit keris dan menaburkan bunga.
ADVERTISEMENT
Setiap penampilan seni performatif diikuti dengan dialog karya yang dipandu oleh pengamat seni Nanang Arizona, Mahmod Algadri, dan Wenri Wanhar, memberikan ruang bagi audiens untuk memahami lebih dalam makna di balik setiap karya. Selain itu, karya-karya dalam pameran ditulis dengan narasi unik menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Jawa, serta aksara Jawa Kuno, baik Carakan maupun Kawi.
Sebagai penutup acara, filolog Jawa Kuno dan Sanskerta, KRT Manu J Widyaseputra, memberikan sambutan yang menegaskan pentingnya pelestarian tradisi sebagai solusi menghadapi tantangan modern. Dengan pendekatan seni, tradisi, dan dialog, Ruang Rupa Taman Sesaji tidak hanya menjadi wadah pelestarian budaya, tetapi juga media efektif untuk melawan narasi misinformasi sekaligus mempromosikan nilai-nilai budaya lokal di tingkat global.
ADVERTISEMENT