news-card-video
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten Media Partner

Dikendalikan Faktor Pragmatis, 75% Pemenang Pilkada 2024 Sudah Terprediksi

10 Maret 2025 10:46 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penyampaian hasil analisis DPP Fisipol UGM. Foto: Dok. Humas UGM/Pandangan Jogja
zoom-in-whitePerbesar
Penyampaian hasil analisis DPP Fisipol UGM. Foto: Dok. Humas UGM/Pandangan Jogja
ADVERTISEMENT
Hasil analisis Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) mengungkap lebih dari 75 persen pemenang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 sudah dapat diprediksi sejak sebelum pemilihan berlangsung.
ADVERTISEMENT
Akhmad Fadillah, mahasiswa Fisipol UGM yang melakukan penelitian, menyebutkan hanya 131 dari 545 daerah yang mengalami kontestasi kompetitif dalam Pilkada Serentak 2024.
“Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa hanya 24,04 persen daerah yang mengalami kontestasi kompetitif, sementara lebih dari 75 persen daerah memiliki pemenang yang sudah dapat diprediksi sejak pra-pemilihan,” ujar Fadil dalam konferensi persnya, Rabu (5/3) lalu.
Fenomena ini disebut sebagai Uncontested Election, yaitu situasi di mana hanya kelompok politik besar yang memiliki peluang menang.
Dalam pemetaan koalisi, dari total daerah yang menggelar Pilkada, sebanyak 239 daerah (43,85 persen) dimenangkan oleh koalisi besar partai mayoritas. Selain itu, 133 daerah (24,40 persen) didominasi oleh Surplus Majority Coalition, yang memiliki kekuatan besar di legislatif.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Grand Coalition terbentuk di 40 daerah (7,34 persen). “Tentunya ini sangat mengurangi esensi demokrasi, karena demokrasi yang baik adalah predictable procedures dan unpredictable results. Tapi kita sudah bisa memprediksi pemenang di pra pemilihan,” jelas Fadil.
Dosen DPP Fisipol UGM, Alfath Bagus Panuntun, menilai Pilkada di Indonesia semakin dikendalikan oleh faktor pragmatis ketimbang demokrasi. Salah satunya adalah mahalnya biaya politik yang membuat persaingan hanya terbuka bagi kelompok tertentu.
“Biaya politik semakin mahal dari waktu ke waktu itu merupakan suatu hal yang terprediksi sebenarnya. Orang berkeyakinan untuk memajukan tokoh yang memiliki modal sosial yang besar,” ujarnya.
Alfath juga menyinggung bahwa hanya dua kelompok yang dominan dalam kontestasi politik, yakni mereka yang berasal dari keluarga politik dan kalangan pengusaha. Kandidat dari masyarakat umum yang melalui kaderisasi partai cenderung sulit bersaing.
ADVERTISEMENT
“Masyarakat sudah distrust, karena mereka merasa tidak akan ada yang berubah setelah pemilihan. Ini gejala nasional yang terjadi dalam demokrasi kita,” katanya.