Dimensi Politik Walisongo dalam Napak Tilas Perjuangan Walisongo DPP PKB (1)

Konten Media Partner
11 September 2023 19:36 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ini adalah seri pertama dari naskah opini oleh Aguk Irawan MN, Penulis Budayawan dan Sejarawan Nahdliyin.
Penulis Budayawan dan Sejarawan Nahdliyin, Aguk Irawan MN. Foto: Istimewa
Pasca gegap-gempita peresmian Koalisi Nasdem-PKB dengan mengusung Pasangan Anis dan Cak Imin sebagai Capres-Cawapres yang amat mengejutkan Publik. Kini DPP PKB menyelenggarakan kegiatan yang tak kalah mengejutkan, "Tour de la Neufs Saints; Napak Tilas Perjuangan Wali Songo", dimulai dari tanggal 7-11 September 2023. Acara yang diberi tema, "Seri Halaqoh Pemikiran Politik Wali," ini tidak seperti biasanya diselenggarakan di hotel atau auditorium Kampus, tapi kali ini PKB ingin mendapatkan berkah, dengan tawasul dari jarak yang sangat dekat, yaitu di masing-masing makam para wali. Harapannya supaya energi dan spirit dari keteladanan walisongo bisa lebih dirasakan.
ADVERTISEMENT
Lalu apa yang dimaksud dengan "wali" dalam term diatas? Menurut Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arabi, kata ‘wali’ berasal dari bahasa Arab, asal katanya berasal dari ‘wala-yali-walyan’ dan ‘walayatan’ yang berarti mengambil urusan dan tanggung-jawab; memimpin, menolong; menjadi sekutu; dan mengasuh, bentuk muannats-nya al-waliyyah, yaitu kekuasaan atau daerah tritorial atau al-walayah yaitu pertolongan, dan bentuk jamaknya al-awliya' yaitu para penguasa atau kekasih.
Sementara Sanga (Songo) atau sembilan yang disematkan setelah kata wali, berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia atau terpuji. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana (sono) berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat. Tetapi pendapat yang paling populer, Sanga dipahami Songo atau sembilan dan ini dikaitkan dengan jumlah dari tingkat kewalian (term tasafuw) yang dipaparkan oleh Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi dalam kitab Futuhat al-Makkiyah, yaitu terkait maqamat tis'ah; quthub, aimmah, autad, abdal, nuqabah, nujabah, hawariyun, rajabiyun, khatama.
ADVERTISEMENT
Ada juga pendapat yang mengkaitkan dengan jumlah sembilan dari huruf-huruf Arab yang membentuk kata Allah dan Muhammad. Kedua kalimat yang mengidentikkan sesuatu yang agung dan mulia. Selain itu, angka sembilan bisa dikaitkan dengan kepercayaan Kapitayan, agama Jawa Kuno yang memuja dewa utama atau Tuhan yang disebut Sanghyang Taya (yang berarti entitas yang tidak terbayangkan). Agar dapat disembah, Sanghyang Taya mempunyai nama pribadi dan sifat yang disebut “Tu” atau “To” artinya “kekuatan gaib” dan “bersifat gaib”. Tu atau to pada dasarnya tunggal—satu kesatuan. Penganutnya mempercayai adanya kekuatan gaib pada sembilan benda yang populer yaitu; tu-gu, tu-lang, tu-nggul, tu-mbak, tu-mbu, tum-peng, to-peng, to-san, dan to-ya.
Nama Organisasi
Foto para Wali Songo. Foto: Istimewa
Penggunaan kata Wali di atas, sebenarnya jika dilacak berdasarkan sumber manuskrip, mereka tidak bermaksud masuk dalam term tasawuf, selain karena mengenal wali (Allah) itu lebih sulit daripada mengenal Allah menurut Ibnu Attaillah Al-Iskandari, tetapi memang secara bahasa seakar dengan kata wali itu adalah wilayah, atau daerah. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa penamaan walisongo adalah organisasi dakwah yang mempunyai struktur kepemimpian daerah atau teritorial yang berjumlah sembilan dan tergabung dalam sebuah lembaga atau majelis. Karena sembilan ini adalah komando, maka diangkatlah wali lain sebagai pengganti setiap kali diantara wali (komando) ada yang wafat atau pergi.
ADVERTISEMENT
Pendapat ini setidaknya punya beberapa alasan. Pertama, berdasarkan kitab Kanzul Ulum karya Ibnu Bathuthah, yang penulisannya dilanjutkan oleh Syekh Maulana Maghribi. Di dalamnya disebutkan tentang pembagian wilayah dakwah, yaitu Maulana Malik Ibrahim, Maulana İshaq, dan Syekh Jumadil Kubra di Jawa Timur. Kemudian Syekh Subakir dan Syekh Maulana Maghribi mendapat wilayah Jawa Tengah. Sementara Jawa bagian barat ditugaskan kepada Maulana Malik Isra'il, Syekh Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, dan Maulana Aliyuddin.
Kedua, berdasarkan dokumen Kropak Ferrara, disebutkan sarasehan dan musyawarah Walisongo angkatan ketiga, tentang term makrifatullah yang dikenalkan Syakh Siti Jenar. Dalam musyawarah tersebut dipimpin oleh Sunan Giri sebagai pengganti Sunan Ampel sekaligus sebagai tuan rumah di Ampel Denta. Para Wali yang hadir secara keseluruhan sebanyak sembilan wali. Akan tetapi, Sunan Kudus sebagai salah seorang anggota Walisongo berhalangan hadir.
ADVERTISEMENT
Ketiga, berdasarkan manuskrip Tambo Minangkabau MS Ml 40 koleksi PNRI, h. 11. (2) Undang-undang Minangkabau, ditulis di Pagaruyung hari Senin tanggal 8 Syawal 1180 H/9 Maret 1767 M (Naskah RAS Maxwell Malay 047), f 41v. Para wali memperkenalkan konsep dasar negara dengan empat pembagian kekuaasaan di Kesultanan Nusantara (Pagaruyung), seperti diperkenalkan oleh Syekh Jumadil Kubro (Sayid al-Husain Jamaluddin al-Akbar) agar kekuasaan tidak menjadi feodal-monarkis: 1) Sultan di Pagar Ruyong, 2) Titah di Sungai Terap, 3) Qadli di Padang Genting, dan 4) Makhdum di Sumanik.
Menurut LOr 2305, konsep empat pembagian kekuasaan di Kasultanan Pagaruyung tersebut kemudian diadopsi dalam Kesultanan Demak: Sultan (Raden Patah), Patih (Mangkurat), Wali (Wali Songo), Qadli (Sunan Kudus). Jadi walisongo yang dimaksud diatas adalah semacam organisasi atau lembaga yang menyerupai MPR.
ADVERTISEMENT
Kiprah dan Peran
Penulis Budayawan dan Sejarawan Nahdliyin, Aguk Irawan MN. Foto: Istimewa
Tentu saja kiprah dan peran Walisongo adalah berdakwah. Tetapi, lebih dari itu, menurut Antonio Pigafetta, pengembara asal Venesia dan Antoni Galvao asal Portrugis sekitar abad 15, para wali itulah yang mengajari orang Jawa, Tidure, Maluku, Sumatra ilmu pertanian dan perkebenunan untuk menanam rempah-rempah, juga ilmu perdagangan (Anthony Ried; 16). Jadi, dengan dakwah Islam secara kultural, para wali ini fokus pada pemberdaayan ekonomi masyarakat, sehingga mereka mengenal mata uang baru dari negeri luar. Gambaran mengenai Hamukti Tanah Jawi yaitu memakmurkan tanah Jawa itu juga digambarkan di banyak babad dan Hikayat, salah satunya adalah Hikayat Tanah Hitu.
Bersamaan dengan pemberdayaan ekonomi, dirintislah pesantren sebagai pusat pengajaran Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh Raden Rahmat atau Kanjeng Sunan Ampel. Nama Ampel sendiri disematkan ketika Raden Rahmat telah berhasil mengelola tanah perdikan atau pinjaman dari Raja Majapahit, yang awalnya gersang menjadi subur dengan ditanami rempah-rempah, masyarakat sekitar berduyun-duyun ikut berkebun. Lalu, tak lama berdirilah tajug atau pesantren, kemudian sang Paman, Maulana Ishaq, berkunjung dan menyebut sang keponakan dengan sebutan Sunan Ing Ampel Denta. (Babad Tanah Jawi, versi Drajat; EAP 061/2/54).
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, cerita mengenai berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa itu dimulai ketika Sunan Ampel memerintahkan santrinya Raden Fatah putra Brawijaya Majapahit yang selama itu sudah bertahun-tahun nyantri (mondok) di Pesantren Ampel, Denta, untuk membuka pesantren di daerah hutan Glagah Arum (daerah bekas kekuasaan Kalingga) di sebelah selatan Jepara pada tahun 1475 M. Pesantren tersebut kemudian mendapatkan kemajuan yang pesat, sehingga Glagah Arum, kampung kecil itupun turut maju, akhirnya berubah menjadi kota Kabupaten, yaitu Bintoro, dan raden Fattah menjadi bupatinya.
Kemudian, sekitar setahun kemudian (1476), Walisongo membentuk organisasi Bayangkare Islah (Angkatan Pelopor Perbaikan) untuk merintis berdirinya kerajaan Islam yang memisahkan diri dari Majapahit, tujuannya supaya dakwah Islam lebih terstruktur dan masif. Berdirinya kerajaan Islam Demak itu, dikemudian hari, menjadi “role model” untuk pendirian keraton-keraton Islam di daerah lain, yang awalnya pusat pengembangan ekonomi menjadi pesantren, lalu keraton (kerajaan Islam), sebagaimana yang terjadi kemudian hari dengan Kesultanan Banten yang didirikan Maulana Hasanudin (w.1570), putra dari Kanjeng Sunan Gunug Jati.
ADVERTISEMENT
Keraton Banten mulanya adalah hutan dan bukit Pulosari, disana Maualana Hasanudin membersamai 800an orang untuk dilatih berkebun, lalu mereka memeluk Islam. Pesantren berdiri dan berubah menjadi Keraton. Para Walisongo generasi berikutnya adalah aktor utamanya, sekaligus masuk dalam struktur menjadi semacam MPR. Demikian juga yang terjadi pada Kerajaan Pajang, Mataram Islam dan lain sebagainya. Itulah beberapa strategi-strategi para Wali di Jawa melakukan Islamisasi, sekaligus memperkuat ke-Nusantaraan dengan jalur ekonomi dan politik kekuasan. Dimensi politik inilah yang menjadi embrio berdirinya NKRI di kemudian hari. Wallahu'alam bishawab.
Bantul, 4 September 2023