Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Dosen Ilmu Komputer UGM Sebut Mesin PSE Kominfo Kemahalan Tapi Tak Canggih
1 Agustus 2022 17:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Kebijakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terkait Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) menjadi polemik. Pasalnya, akibat kebijakan itu, sejumlah situs atau penyedia layanan internet yang penting terancam kena blokir gegara tidak mendaftarkan diri dalam sistem tersebut.
ADVERTISEMENT
Kepala Peneliti di grup riset Cloud and Grid Technology di Lab Sistem Komputer dan Jaringan, Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika (DIKE) FMIPA UGM yang juga pakar di bidang Big Data, Mardhani Riasetiawan, menilai kebijakan yang mewajibkan seluruh penyedia layanan internet mendaftar ke sistem PSE bukanlah kebijakan tepat.
Kebijakan itu menurutnya kurang praktis dan efisien, sebab semua penyedia layanan PSE mesti mendaftar secara manual. Dengan teknologi yang ada sekarang, mestinya hal itu bisa dilakukan secara otomatis.
“Kebijakan PSE seperti saat ini menurut saya kurang cermat dan menunjukkan tidak canggihnya engine atau mesin yang dipakai, padahal nilainya sangat mahal,” kata Mardhani Riasetiawan kepada Pandangan Jogja @Kumparan, Senin (1/8).
Ketimbang mengimplementasikan kebijakan PSE yang ada sekarang, sebenarnya menurut Mardhani ada beberapa metode lain yang lebih praktis dan efisien untuk dilakukan. Cara pertama adalah dengan menutup semua penyedia layanan PSE dan membuka yang diperbolehkan.
ADVERTISEMENT
Artinya, Kominfo pertama mesti menyiapkan daftar layanan PSE, mana yang statusnya diminta untuk mendaftar dan mana yang tidak perlu mendaftar. Perlu ada pemilahan, mana layanan di internet yang menguasai hidup orang banyak dan esensial menjadi backbone perekonomian, pertumbuhan digital, keamanan, kesehatan, atau layanan-layanan lain yang esensial.
“Engine yang katanya canggih tadi seharusnya sudah memiliki kemampuan ini, sehingga tidak serta-merta semuanya by default ditutup,” ujarnya.
Selain itu, penyedia layanan PSE yang mengajukan pendaftaran juga mesti difasilitasi dan prosesnya harus cepat untuk dibuka kembali. Mesin yang canggih menurutnya harus bisa lebih otonom untuk melakukan hal tersebut, bukan malah berdasarkan pada pengajuan pengguna.
“Sebagai ilustrasi mahasiswa S1 saya saja bisa membuat analisis dan klasifikasi website atau aplikasi yang di-block atau dibuka aksesnya melalui IDS open source dengan machine learning dan deep learning,” lanjutnya.
Cara kedua yang bisa dilakukan adalah dengan membuka semua layanan PSE dan menutup yang diperlukan. Strategi ini justru dinilai lebih menarik dan cocok dengan karakteristik internet yang terbuka.
ADVERTISEMENT
Buka semua di sini juga bukan berarti semua situs dan aplikasi bisa diakses, tapi tetap ada penyaringan. Saat ini, sudah ada Internet Sehat dan filter-filter lain yang dimiliki masing-masing provider. Tinggal bagaimana nantinya Kominfo memperbaiki dan memperkuat sistem penyaringan yang ada.
“Penutupan seharusnya dilakukan otomatis oleh engine yang mahal tadi, mestinya engine sudah punya database yang kuat untuk mendeteksi ini dan melakukanya secara otomatis dan update, lebih keren lagi bisa adaptif dengan perkembangan yang ada,” ujarnya.
Menurut dia, mesin seperti itu mestinya bisa dibangun sendiri dengan biaya yang sewajarnya. Sebab, saat ini sudah banyak rintisan baik di perguruan tinggi maupun komunitas teknologi. Karena itu, Kominfo tidak bisa menjadi satu-satunya pihak yang memegang kendali atas pembangunan sistem PSE tersebut, butuh kolaborasi dengan banyak pihak untuk melakukan riset dan pengembangan teknologi di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Apa yang dikerjakan oleh mesin milik Kominfo dengan harga yang mahal itu menurut Mardhani mestinya bisa diselenggarakan, dibangun, dan dikelola secara mandiri, tak perlu membeli produk luar negeri.
“Secara value kita jadi pumya kemampuan sendiri untuk membangun dan menjalankannya. Kapan lagi kita bisa mandiri dan berdaulat dari sisi teknologi jika masih melakukan pendekatan yang tidak presisi?” ujar Mardhani Riasetiawan.