Dulu Kondangan di Desa Jadi Metode Investasi, Kini Investasinya Sering Bodong

Konten Media Partner
27 September 2023 12:11 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi amplop kondangan berisi uang. Foto: Thinkstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi amplop kondangan berisi uang. Foto: Thinkstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tingginya biaya sosial di Gunungkidul, seperti jagong atau kondangan di tempat orang hajatan disebut memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat. Hal itu disampaikan oleh Bupati Gunungkidul, Sunaryanta, pada sebuah acara bersama perangkat kalurahan di Gunungkidul pekan kemarin.
ADVERTISEMENT
Selain nominal kondangan yang semakin besar, jumlahnya juga terus meningkat terutama untuk para tokoh masyarakat seperti perangkat kalurahan. Pada bulan-bulan tertentu misalnya, perangkat kalurahan bisa kondangan sampai 10 kali dalam sehari dengan uang yang dikeluarkan mencapai Rp 100 ribu untuk tiap kondangan.
Guru Besar Antropologi yang kini menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Bambang Hudayana, mengatakan bahwa pada awalnya budaya jagong atau kondangan di pedesaan adalah kebiasaan yang baik. Ia menyebutnya hal ini sebagai budaya resiprositas, atau pertukaran timbal balik.
Praktik ini tak hanya terjadi di Gunungkidul atau desa-desa lain di Indonesia, tapi juga di semua masyarakat di belahan dunia.
Pada kondisi tertentu, seseorang memberikan bantuan atau sumbangan kepada orang lain yang sedang membutuhkan atau memiliki hajat untuk meringankan bebannya. Namun setelah itu ada kewajiban sosial bagi penerima bantuan tersebut untuk mengembalikannya di kemudian hari saat si pemberi bantuan memiliki hajat atau sedang membutuhkan bantuan.
ADVERTISEMENT
“Sehingga ini bisa disebut juga sebagai metode investasi. Di desa kan begitu prinsipnya, namanya pertukaran resiprositas,” kata Bambang Hudayana saat ditemui di kantornya pada Selasa (26/9).
Guru Besar Antropologi yang kini menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Bambang Hudayana. Foto: Widi RH Pradana/Pandangan Jogja
Karena itu, budaya jagong atau kondangan ini pada awalnya sebenarnya bukanlah biaya sosial, melainkan sebagai bagian dari kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup. Sebab, jika semua hal atau hajat diurus sendiri, maka akan menjadi tidak efektif dan efisien. Karena itu, dibutuhkan resiprositas sebagai bentuk gotong royong di dalam kehidupan masyarakat.
Namun permasalahan muncul ketika cakupan praktik pertukaran atau resiprositas itu semakin luas. Yang dulu praktik itu hanya berlangsung di lingkup keluarga dekat, RT, RW, atau paling luas dusun, kini skalanya sudah sampai ke luar desa bahkan luar kota. Apalagi jika orang tersebut adalah tokoh masyarakat seperti perangkat kalurahan.
ADVERTISEMENT
Dengan cakupan yang semakin luas dan melibatkan orang yang tidak benar-benar dekat, maka seringkali uang sumbangan yang diharapkan kembali, tidak pernah kembali saat orang tersebut mengadakan hajatan.
“Sehingga dia merugi. Tradisi yang dulunya positif untuk ketahanan ekonomi justru menjadi negatif karena pertukarannya meluas. Yang dulu jadi metode investasi, sekarang sering jadi investasi bodong,” paparnya.
Ilustrasi memberikan kado pernikahan. Foto: Shutterstock
Meluasnya praktik resiprositas atau budaya jagong di tengah masyarakat ini disebabkan oleh banyak hal. Misalnya karena pekerjaan dan pendidikan seseorang yang membuatnya bertemu dengan semakin banyak orang dan jaringan.
Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat juga menjadi salah satu variabel. Sekarang, orang di seluruh belahan dunia bisa saling terhubung hanya lewat genggaman tangan.
“Orang sekarang kirim undangan sudah enggak perlu datang ke rumah, cukup kirim lewat HP. Dan kalau mau nyumbang juga tidak harus datang langsung, bisa transfer, jadi seolah-olah tidak ada alasan untuk tidak nyumbang,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Praktik resiprositas yang semakin luas ini mesti diantisipasi oleh masyarakat itu sendiri sehingga budaya jagong yang awalnya positif tidak malah menjadi beban di tengah masyarakat. Misalnya, ketika seseorang mengadakan hajatan perkawinan maka yang diundang adalah orang-orang yang masuk ke jaringan-jaringan intim saja.
“Tidak terlalu meluas ke orang-orang yang tidak terlalu dikenal. Kalau terlalu luas ya tidak akan kembali uangnya, prinsip investasi jadi tidak berlaku lagi,” kata Bambang Hudayana.