Konten Media Partner

Fenomena Haji dengan Visa Non-haji dan Dilemanya

13 Juni 2024 19:22 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ini adalah catatan yang dibuat oleh Pengasuh Pesantren Baitul Kilmah Yogyakarta dan Anggota Tim Pengawas Haji 2024, Aguk Irawan MN, dari Mekah.
Aguk Irawan (belakang kanan) bersama pimpinan DPR RI saat menjalankan ibadah Haji, Juni 2024. Foto: Dok. Pribadi
Musim haji itu momentum bisnis, tentu saja di samping beribadah. Hal itu diisyaratkan dalam al-Quran, seperti pada ayat 198 surat Al-Baqarah. "Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu." Namun, berbisnis pun harus mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan, penuh kejujuran, terus-terang, dan tanpa penipuan.
ADVERTISEMENT
Musim haji memang menawarkan potensi ekonomi yang besar, mulai dari layanan perjalanan, penginapan, hingga akomodasi. Namun, peringatan Rasulullah Saw bahwa "tempat yang paling dibenci Allah adalah pasar," (HR Muslim) tidak bisa dihindari dengan mudah. Segala daya dan upaya selalu menyisakan ruang kelemahan, dan inilah yang terjadi pada kebijakan pelayanan haji 2024.
Bermula dari fakta bahwa Islam menjadi salah satu agama yang terbesar di dunia. Umat muslim tersebar di seluruh penjuru dunia. Sementara salah satu kewajiban dalam Islam adalah menunaikan ibadah haji pada waktu-waktu dan tempat-tempat tertentu. Hal inilah yang menyebabkan potensi penuh sesak (crowded), sekaligus mendorong pengusaha-pengusaha muslim sejak era Kekhalifahan Turki Utsmani menerbitkan aturan pemberlakuan visa haji untuk pelayanan dan pembatasan.
Pengasuh Pesantren Baitul Kilmah Yogyakarta dan Anggota Tim Pengawas Haji 2024, Aguk Irawan MN
Visa haji bukan semata dokumen kelengkapan haji bagi jemaah haji, melainkan sistem yang dibuat untuk melayani dan mengontrol jemaah, demi memastikan pelayanan yang terbaik. Melalui skema visa haji, pemerintah Arab Saudi sebagai tuan rumah dan pemerintah negara-negara muslim bisa mengukur kuota-kuota haji. Dengan begitu, mau tidak mau pembatasan jumlah jemaah setiap tahun bisa diatur dengan rapi.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, pembatasan kuota jemaah haji memiliki dampak negatif. Di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia seperti Indonesia, muncul fenomena baru berupa antrian panjang. Calon jemaah haji harus rela menunggu berpuluh-puluh tahun hingga tiba giliran mereka diberangkatkan. Padahal, pada saat yang sama, animo besar masyarakat muslim Indonesia untuk menyempurnakan rukun Islam menjadi impian setiap muslim yang tertanam iman di hatinya, makanya tak mengherankan jika ada saudaranya sudah lebih dulu haji, selalu yang lain mohon didoakan untuk segera menyusul.
Dari sinilah, problem baru bermunculan. Salah satunya, banyak pengusaha-pengusaha travel yang menawarkan visa umal muaqotan (kerja musiman), visa ziarah bahkan visa umroh berbonus haji. Dengan begitu, calon jemaah haji tidak perlu menunggu antrian panjang bertahun-tahun. Padahal, cara-cara seperti ini dianggap non prosedural. Sebab pemerintah Indonesia dan pemerintah Arab Saudi bersepakat, mereka yang boleh menunaikan ibadah haji hanya pemegang visa haji, bukan visa umroh maupun visa ziarah. Tetapi doktrin dalam al-Quran surat al-Hajj, haji perlu dijalankan dengan segala tekad dan keterbatasan, meskipun dengan cara jalan kaki atau mengendarai kendaraan yang terbatas.
Foto: Dok. Pribadi
Pada akhirnya, tekad kuat untuk tulus beribadah dengan segala pengorbanan, tidak sedikit yang menjadi korban "penipuan" berbagai pihak. Belum lagi ketika mereka sudah terlanjur berada di tanah haram, Makkah Madinah. Di sana, muncul lagi akal-akalan pengusaha Arab, yang menawarkan dokumen Tasyrih, semacam surat ijin untuk dapat menunaikan haji bagi yang tidak punya visa haji. Tentu saja tujuan utama penjualan Tasyrih ini supaya prosedur haji terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Karena penerbitan dokumen Tasyrih tidak diakui secara resmi oleh pemerintah Arab Saudi, tetapi di lapangan masih banyak "oknum" Syirkah menawarkan dan menjual bebas. Sementara di lapangan, bagi pemegang Tasyrih, meski sudah membeli ke Syirkah dengan sejumlah uang, masih belum tentu mendapatkan kartu nusuk (smart card) untuk masuk Armuzna yang mulai diberlakulan tahun ini, bahkan mereka yamg sudah mengeluarkan uang itu masih berpotensi ditangkap dan dideportasi oleh pihak berwenang.
Di sinilah jamaah dirugikan dua kali; pertama, ketika masih berada di tanah air, saat diiming-imingi travel nakal peluang menunaikan haji tanpa visa haji. Kedua, ketika mereka membeli Tasyrih tanpa ada jaminan. Maka dalam kondisi inilah negara wajib hadir mencari solisi bersama dengan negara tujuan (Arab), dan tidak cukup hanya menyalahkan biro nakal, lebih-lebih kepada jamaah yang sedang berjuang menunaikan rukun Islam kelima meski non prosedural.
ADVERTISEMENT
Mencari Jalan Tengah
Penimbangan koper bagasi jemaah haji Indonesia di sektor 4 Raudhah, Makkah, Kamis (13/6/2024). Foto: MCH 2024
Kondisi di tanah suci per hari ini terlanjur penuh sesak. Namun, patut diapresiasi bagi jemaah-jemaah yang nekat ingin menjalankan ibadah haji. Sebab aturan pemerintah berupa kewajiban menunggu antrian kuota terlalu lama, nyaris tidak masuk di akal, hampir 30-an tahun. Para calon jemaah haji betul-betul harus berjuang menunggu nasib dan takdir usia panjang. Animo besar umat muslim Indonesia ini seakan-akan jawaban atas panggilan Allah SWT: " (Wahai Ibrahim, serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh," (QS. Al-Hajj: 27).
Upaya mengapresiasi animo besar umat muslim untuk berhaji harus disertai dengan prosedur-prosedur yang tepat. Tentu perlu dicarikan jalan keluar bersama, yang tidak membahayakan tatanan. Jika pemerintah Arab Saudi dan Indonesia memang berkomitmen menjaga situasi kondusif bagi pelaksanaan haji, maka perlu menerapkan aturan lebih ketat. Misal, pemerintah Indonesia melarang bepergian (melalui imigrasi) ke tanah suci ketika memasuki musim haji bagi pemegang visa non haji dan tegas hanya pemegang visa haji yang boleh ke tanah suci.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, publik akan aman dari akal-akalan pengusaha yang coba membujuk calon jemaah haji dengan dokumen-dokumen lain, bahkan seperti penjualan Tasyrih liar oleh oknum dan tak diakui secara resmi oleh pemerintah Saudi. Jika poin-poin penting ini tidak dipenuhi, maka akan sulit menjaga tatanan dan kondusifitas pelaksanaan haji. Sebab, ujung-ujungnya para kapitalis memanfaatkan keinginan kuat jemaah haji untuk berhaji, karena problem antrian haji reguler mengular panjang.
Anggota Tim Pengawas Haji 2024, Aguk Irawan MN, sedang melakukan pengawasan pelaksanaan haji 2024. Foto: Dok. Pribadi
Ruhullah Syari'ati (2018) dalam Qawa'id Al Fiqh Al Siyasi mengatakan, politik diplomasi untuk kebijakan yang saling menguntungkan demi satu tujuan harus didasarkan pada upaya mewujudkan kesepakatan-kesepakatan bersama. Tujuannya dalam rangka menjamin keselamatan dan kenyamanan bersama (hlm. 343). Inilah alasan penting pemerintah Indonesia terus bekerjasama dengan pemerintah Saudi untuk membuat aturan bersama, yang dijalankan secara ketat bersama-sama pula.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, menurut hemat penulis, animo besar jamaah yang berangkat haji dengan berbagai macam visa tidak cukup hanya disalahkan pada jemaah dan travel semata tanpa solusi. Niat mulia mereka untuk berhaji harus dicegah dengan kebijakan politik yang solutif-prosedural. Toh para jamaah bukan kriminal dan keinginan mereka ke Saudi demi panggilan jiwa dan agamanya, --hanya memang-- jika dibiarkan tanpa batas, bisa menganggu ketertiban dan keamanan sosial, menciptakan kondisi yang 'crowded', di situlah madharatnya.
Sekali lagi, keinginan mereka perlu diberikan prosedur yang baik, (tentu di luar cara haji furada yang terlampau mahal) bukan prosedur yang cacat seperti selama ini. Mereka menjadi korban kapitalisme pihak-pihak tertentu. Sekali lagi silahkan berdagang, seperti dijamin dalam Islam. Tetapi janganlah berdagang yang ilegal dan non prosedural yang akibatnya tidak saja berpotensi merugikan calon jamaah, tapi juga tatanan sosial dan memperburuk diplomasi suatu bangsa.[]
ADVERTISEMENT
*