Konten Media Partner

Film Jenama Kota +Jakarta: Urgensi Sebuah Logo Membangun Peradaban Kota

25 Februari 2023 13:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi film Jenama Kota +Jakarta yang disutradarai Darwin Nugraha di Tempuran Space, Yogya. Foto: Widi RH Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi film Jenama Kota +Jakarta yang disutradarai Darwin Nugraha di Tempuran Space, Yogya. Foto: Widi RH Pradana
ADVERTISEMENT
Setelah terlibat sebagai penata gambar dalam produksi film Invisible Hopes, film dokumenter panjang terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2021, Darwin Nugraha, melanjutkan kiprahnya dalam dunia perfilman dengan menyutradarai film dokumenter Jenama Kota +Jakarta. Film ini menceritakan bagaimana proses panjang pembuatan logo ‘+Jakarta’ (Plus Jakarta), sebuah wadah penggerak seluruh elemen kota dengan masyarakat Jakarta untuk berkolaborasi.
ADVERTISEMENT
Pada Jumat (24/2), filmnya diputar dan didiskusikan di Tempuran Space, Yogya. Ada sekitar 100 orang yang hadir dalam pemutaran filmnya, yang sebagian besar merupakan mahasiswa.
“Sebenarnya ini adalah film tutorial membuat logo,” kata Darwin Nugraha berkelakar di depan para penonton.
Tentu film ini bukan sekadar tutorial membuat logo. Dalam situasi yang lebih serius, Darwin menjelaskan mengapa proses pembuatan logo (khususnya logo +Jakarta) penting untuk difilmkan.
Darwin menceritakan bahwa film Jenama Kota +Jakarta terinspirasi dari film dokumenter Helvetica (2007) yang disutradarai oleh Gary Hustwit. Film ini bercerita tentang tipografi dan desain grafis font Helvetica, dengan menampilkan keindahan dan kelaziman font tersebut sekaligus menunjukkan sosok-sosok yang berkecimpung di dunia desain huruf.
“Dari film itu aku melihat, dari sebuah font, kota bahkan negara ternyata bisa tertata. Orang yang dulunya awut-awutan, enggak bisa antre, setelah font kotanya diganti ternyata bisa tertata,” kata dia.
Logo Jakarta Kota Kolaborasi. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Di tengah pandemi dengan semua pembatasan mobilitas yang ada, Darwin kemudian melihat logo +Jakarta sebagai city brand baru Ibu Kota. Logo itu mengingatkannya lagi pada film Helvetica yang pernah dia tonton. Setelah melakukan riset cukup panjang, akhirnya dia bisa bertemu dan berdiskusi langsung dengan tim desainer logo tersebut.
ADVERTISEMENT
“Setelah diskusi, aku jadi jauh lebih mengerti bahwa ini bukan sekadar logo ternyata, tapi ada turunan-turunannya secara teknis desain maupun konsep branding-nya,” lanjutnya.
Apalagi Darwin kemudian mendapat informasi bahwa ada sebuah komunitas atau wadah yang bernama +Jakarta. Merekalah yang kemudian aktif menyosialisasikan tentang visi yang terkandung dalam logo tersebut kepada khalayak luas sehingga bisa menggerakkan masyarakat, terutama untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota kolaborasi.
Melalui orang-orang dalam komunitas itulah kemudian logo +Jakarta bisa memberikan dampak lebih besar, bukan sekadar tempelan belaka.
“Ternyata sebuah karya seni itu bisa diejawantahkan untuk menata sebuah peradaban,” kata dia.
Dalam proses riset pembuatan filmnya, Darwin mengaku telah mempelajari 514 logo milik kabupaten dan kota yang ada di Indonesia. Namun ternyata masih sangat sedikit yang dalam pembuatan logonya menggunakan teori-teori branding secara optimal seperti yang dipakai dalam pembuatan logo +Jakarta.
ADVERTISEMENT
Umumnya, logo sebuah kota dibuat asal keren, tanpa memuat visi apa yang ingin diwujudkan di dalam logo tersebut. Hal itu membuat sebuah logo jadi tidak memiliki ruh yang dapat menggerakkan inisiatif masyarakat.
“Aku pengin film ini bisa ditonton semua di berbagai wilayah, sehingga pembuatan logo sebuah kota bisa dilakukan lebih baik, bukan jadi tempelan saja,” kata Darwin Nugraha.
Dari kiri: Direktur Operasional +Jakarta, William Reynold; Deputi Komunikasi Publik ICCN, Affi Khresna; Sutradara Jenama Kota +Jakarta, Darwin Nugraha. Foto: Widi RH Pradana
Direktur Operasional +Jakarta, William Reynold, mengatakan bahwa gerakan +Jakarta sebenarnya didasari dari perspektif pemerintah provinsinya. Saat itu, ada inisiatif dari pemerintah untuk membuat city branding setelah berkaca pada sejumlah kota di dunia. Seperti city branding Be Berlin (Jerman), I Love New York (Amerika Serikat), I Amsterdam (Belanda), dan sebagainya.
Dari situlah muncul keinginan membuat city branding untuk Jakarta. +Jakarta kemudian dipilih sebagai city branding Jakarta karena dinilai dapat merepresentasikan Jakarta sebagai kota kolaborasi.
ADVERTISEMENT
“Siapapun bisa ada di situ, Aku +Jakarta, Kamu +Jakarta, mau individu, organisasi, perusahaan, yayasan, semuanya bisa berkolaborasi dengan Jakarta. Karena sebagai kota, Jakarta tidak bisa berdiri sendiri,” kata William Reynold.
Sejak diluncurkan pertama sejak 2020 silam, city branding +Jakarta menurut William juga sudah mulai mendorong berbagai bentuk kolaborasi di banyak sektor. Dalam skala besar di ranah provinsi misalnya, pemerintah telah berkolaborasi dengan Forum Diskusi Transportasi Jakarta (FDTJ) untuk membuat penunjuk arah di jalur transportasi.
Di level warga dan komunitas, pada tahun 2022 kemarin menurutnya juga sudah ada sejumlah kegiatan kolaborasi seperti belajar bahasa isyarat, bermain bersama di taman, dan sebagainya. Dalam dua tahun terakhir, Festival #IniJakarta yang mengundang para komunitas di Jakarta untuk membuat acara mereka masing-masing di festival tersebut.
ADVERTISEMENT
“Untuk logo sendiri memegang peran yang sangat penting ya, karena logo itu memanifestasikan apa sebenarnya tujuan kita. Meskipun logo memang tidak bisa berdiri sendiri, tapi logo itu bisa menjadi spirit untuk setiap gerakan masyarakat,” ujarnya.