news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Fisioterapi, Dunia Sunyi para Juara (3): RI Butuh Tambahan 25 Ribu Fisioterapis

Konten Media Partner
19 Juni 2021 13:07 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi mahasiswa Fisioterapi. Foto: King London Physiotherapy
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa Fisioterapi. Foto: King London Physiotherapy
ADVERTISEMENT
Fisioterapi merupakan profesi yang terhitung baru di Indonesia. Perkembangannya baru dimulai pada tahun 1957, dua belas tahun setelah kemerdekaan. Berawal dari didirikannya Sekolah Perawat Fisioterapi di Solo pada tahun tersebut, disiplin ilmu ini semakin berkembang mengikuti zaman.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya tahun, kini banyak akademi maupun universitas memiliki jurusan studi ilmu fisioterapi. Para lulusan fisioterapi dihasilkan setiap tahunnya. Berdasarkan catatan Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI), kini telah ada 16.000-17.000 fisioterapis yang tersebar di seluruh Indonesia.
Lalu bagaimana kondisi dunia fisioterapi di Indonesia saat ini? pada awal hujan di bulan Juni ini, Pandangan Jogja berkesempatan mewawancarai, Ketua Umum IFI dan juga pengajar di Universitas Aisiyah Yogyakarta (Unisa), Moh. Ali Imron.
Ditemui di lobby Universitas Aisyiyah Yogyakarta (UNISA), Ali Imron memaparkan bagaimana kondisi dunia fisioterapi hari ini dan juga tantangan yang dihadapi.
Ketua Umum IFI dan juga pengajar di Universitas Aisiyah Yogyakarta (Unisa), Moh. Ali Imron. Foto: Dokumen Pribadi
Sekarang berapa jumlah fisioterapis yang ada di Indonesia?
Sekarang yang memiliki surat register itu sekitar 15-16 ribu.
Kalau jumlah ideal fisioterapi di Indonesia ada berapa?
ADVERTISEMENT
Proporsinya yang ideal adalah setiap 7.000 penduduk ada satu fisioterapi. Itu sudah sangat bagus dengan kondisi Indonesia yang memiliki tingkat kecelakaan yang sangat tinggi dan ini berbeda dengan negara-negara lain.
Jadi masih jauh dari kondisi ideal ya jumlahnya?
Kita itu sampai tahun 2025 perlu sekitar 35-40 ribuan untuk penduduk Indonesia yang 300 juta jiwa. Kalau untuk sekarang kita masih belum mencukupi. Untuk menuju ke kondisi ideal itu masih jauh.
Kalau kondisi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri seperti apa? Apakah sudah mencukupi atau belum?
Kalau melihat rumah sakit yang ada di DIY, pada hampir setiap puskesmas yang ada di Bantul, Sleman, Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta itu sudah ada. Tapi yang paling bagus itu di Bantul dan Kulon Progo di mana hampir semua puskesmas dan rumah sakit ada fisioterapisnya. Kalau di Sleman dan Kota baru sebagian. Sebenarnya kondisi ini sudah cukup bagus di Jogja. Cuma kalau dari sisi kecukupannya total ada 300-400 dengan penduduk 3 jutaan itu masih kurang. Padahal dari 400 sendiri 20 di antaranya ada di RS dr. Sardjito.
ADVERTISEMENT
Kalau role modelnya negara mana yang sudah Ideal?
Paling bagus itu saya kira Jepang ya. Jepang itu dengan penduduk sekitar 40 juta, mereka punya hampir 170 ribu fisioterapis. Hampir 1 banding 7.000.
Ali Imron saat menangani pasien. Foto: Dokumen Pribadi
Kalau selama ini di Indonesia fisioterapi lebih banyak menangani kasus apa?
Saya kira hampir di kota-kota besar, kasus trauma kecelakaan pasti banyak. Di Jakarta setiap dua menit ada kecelakaan. Kemudian banyak penyakit kronik di Indonesia cukup tinggi kayak stroke dan diabetes. Fisioterapis juga menangani mereka.
Dengan banyaknya angka kecelakaan di Indonesia, tenaga fisioterapi di Indonesia makin dibutuhkan. Sementara itu jumlah sekolah fisioterapi di Indonesia sudah seberapa banyak?
Sudah lumayan. Kalau di seluruh Indonesia sudah ada 15-an. Kalau di pulau besar yang belum ada itu mulai dari Lombok hingga Papua. Kalau di Jawa persebarannya di Solo (4), Jogja (3), Surabaya (3), Semarang (2), Bandung (2), Malang (2), Madura (1), dan Kediri (1).
ADVERTISEMENT
Kualitas pendidikannya seperti apa?
Kalau dalam 10 tahun terakhir ini perkembangannya luar biasa. Karena teknologi berkembang dan perhatian pemerintah mulai ada. Selain itu kurikulumnya sudah sama dengan negara lain. mungkin yang masih harus dikembangkan itu adalah kualitas laboratorium karena alat-alatnya juga mahal.
Kalau menurut Pak Imron yang harus dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas dunia fisioterapi itu seperti apa?
Sekarang ini perhatian pemerintah di Indonesia masih pada kebutuhan kesehatan dasar seperti dokter umum, bidan, dan perawat. Di sini pemerintah masih menggolongkan fisioterapi sebagai kebutuhan pelayanan lanjut. Padahal kalau fisioterapi sudah dimasukkan dalam salah satu kebutuhan dasar, maka pendidikan akan tumbuh sangat pesat karena memang dibutuhkan di tingkat dasar. Artinya seluruh Puskesmas memiliki fisioterapis.
ADVERTISEMENT
Selama ini kan profesi fisioterapis sering disamakan dengan tukang pijat. Nah, kebijakan promotif apa yang dilakukan IFI untuk mengenalkan fisioterapi pada masyarakat?
Jadi gini, memang salah satu keterampilan fisioterapi adalah menggunakan pijat sebagai metode. Tapi itu bukan satu-satunya sehingga mengambil kesimpulan sederhana kalau fisioterapi itu tukang pijat. Selain itu orang juga tidak banyak mengenal profesi ini karena awalnya jumlahnya tidak terlalu banyak.
Maka dari itu kebijakan yang sekarang kita ambil adalah melakukan social campaign melalui praktik-praktik nyata. Misalnya saja dalam momen COVID-19 ini saya membuat program fisioterapi untuk negeri. Kemudian kita selalu hadir dalam setiap ada bencana, misalnya yang terakhir kali gempa di Palopo awal tahun 2021 kemarin. Saat itu kita kirim satu tim ke sana soalnya banyak orang yang rumahnya runtuh, kejatuhan, terus tulangnya patah.
ADVERTISEMENT
Lalu yang kedua, kita anjurkan bagi teman-teman fisioterapi untuk buka praktik. Jadi sekarang di tiap-tiap kota ada praktik fisioterapi. Itu salah satu cara juga untuk mengenalkan, biar masyarakat tahu apa bedanya tukang pijat dan fisioterapi.
Selain itu saat tiap hari ulang tahun fisioterapi, terutama sebelum pandemi ini, kita juga mengadakan kegiatan massal di seluruh Indonesia. Kita menyebutnya sebagai “service on the road”.
Ali Imron saat melayani wawancara di Lobby Universitas Aisyiyah. Foto: Agam Rasyid
Kalau kebijakan preventif sendiri contohnya seperti apa?
Misalnya waktu mudik kemarin kan perjalanan panjang. Kita buat edukasi di tempat-tempat peristirahanan. Di sana kita membuka layanan dan menjelaskan pada pengendara bagaimana cara stretching setelah naik motor berjam-jam, bagaimana cara agar tidak kesemutan sewaktu berkendara.
Kalau selama ini kebijakan untuk tetap menjaga standar kompetensi para fisioterapis itu seperti apa?
ADVERTISEMENT
Jadi yang pertama, tiap dua tahun sekali kita akan mengadakan kredensial bagi para fisioterapis. Misalnya fisioterapis kerjanya di rumah sakit spesialis paru. Makanya dia harus dikredensi sebagai orang yang mengerti di bidang paru. Lalu ada pula fisioterapi yang bekerja di pelayanan khusus anak, dia harus mengerti cara menangani anak. Kalau dia pengalamannya mengatasi penyakit anak tapi kerja menangani paru kan nggak bisa ngapa-ngapain.
Kalau boleh tahu, gaji fisioterapis itu berapa sih?
Kalau di Jakarta gaji fisioterapis per bulan Rp15-20 juta. Kalau di Jogja ini sekitar 3-4 kalinya UMR Jogja. Kalau di pemerintah jangan tanya. Kalau di rumah sakit tipe A hitungan profesionalnya kan besar.
Kalau kebijakan yang dilakukan IFI dalam melayani masyarakat itu seperti apa? Apalagi ini jumlah kasus yang harus ditangani fisioterapi makin overload.
ADVERTISEMENT
Pertama, kami meminta pada pemerintah untuk mencantumkan info fisioterapi pada puskesmas di seluruh Indonesia. Kemudian kami juga membuka layanan mandiri sebanyak-banyaknya ke eluruh lapisan masyarakat. Misalnya kemarin ada teman buka praktik di Tuban selama pandemi secara door to door. Karena selama pandemi ini pasien-pasien kan nggak bisa ke mana-mana. Karena takut kena COVID-19 mereka pasti di rumah dan nggak ngapa-ngapain. Ini membuat kondisi mereka malah makin buruk. Layanan itu dilakukan secara gratis.
Kalau evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan tersebut seperti apa?
Jadi pertama, kita melakukan peningkatan kompetensi dengan revolusi kurikulum. Kalau dulu kan nggak ada konsentrasi ilmu yang membahas bagaimana cara melayani orang sakit. Jadi ada perubahan di kurikulum tentang promotif dan preventif.
ADVERTISEMENT
Lalu yang kedua semakin banyak menciptakan kegiatan di komunitas-komunitas. Jadi IFI harus lebih banyak terjun ke komunitas-komunitas karena itu bagian dari promosi. Kami kemudian membuat bidang baru yang bernama fisioterapi komunitas. Mereka bergaul bersama komunitas, menciptakan kelompok senam, agar orang bisa jadi lebih sehat.
Baca Juga: