Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
16 Ramadhan 1446 HMinggu, 16 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten Media Partner
Forum Praksis ke-7 Bedah Kekuatan Komunitas Agraris Subsisten di Indonesia
15 Maret 2025 20:28 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Masyarakat agraris subsisten sering kali dianggap tertinggal dan tidak produktif dalam sistem ekonomi modern. Namun, dalam Forum Praksis ke-7 yang berlangsung di Jakarta, Jumat (14/3), peneliti Ruth Indiah Rahayu membantah anggapan ini. Ia menegaskan bahwa komunitas agraris subsisten justru memiliki ketahanan pangan yang kuat dan mampu mengelola sumber daya alam secara mandiri.
ADVERTISEMENT
Dalam paparannya, Ruth menjelaskan bahwa komunitas agraris tradisional memiliki sistem produksi pangan yang berbasis keberlanjutan.
Ia mencontohkan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar di Banten Kidul, yang telah membangun lumbung pangan dengan kapasitas bertahan hingga 90 tahun ke depan. Selain itu, mereka juga menerapkan teknologi mikrohidrolik untuk menghasilkan listrik dan menjaga keseimbangan ekosistem sungai di sekitar mereka.
"Mereka tidak bergantung pada supermarket atau jaringan distribusi pangan besar. Mereka memiliki sistem ketahanan pangan sendiri yang tidak hanya cukup untuk bertahan, tetapi juga lestari selama puluhan tahun," kata Ruth, peneliti di Research Center for Crisis and Alternative Development Strategies (INKRISPENA) sekaligus Ketua Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara (IKAD) ini.
Lebih lanjut, di forum ini, Ruth Indiah Rahayu juga membahas bagaimana perempuan memegang peran penting dalam menjaga ketahanan pangan di komunitas agraris. Di beberapa daerah, perempuan bahkan memimpin perjuangan untuk merebut kembali hak atas tanah yang telah diambil oleh korporasi besar.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh adalah perjuangan masyarakat di Desa Bandung Jaya, Kabupaten Kepahyang, Bengkulu. Sejak tahun 1986, tanah adat mereka diambil alih oleh perusahaan untuk kepentingan industri. Namun, pada tahun 2014, komunitas setempat, yang dipimpin oleh seorang perempuan bernama Supriyanti, berhasil merebut kembali tanah tersebut dan menjadikannya hutan sosial yang dikelola bersama.
"Perempuan punya peran besar dalam membangun kembali ruang sosial di komunitasnya. Mereka tidak hanya mempertahankan sumber daya alam, tetapi juga memastikan keberlanjutan pangan dan ekonomi lokal," jelas Ruth.
Ia menambahkan bahwa banyak komunitas agraris memiliki cara tersendiri dalam menjaga ekosistem dan membangun sistem pangan yang independen. Sayangnya, paradigma ekonomi modern yang mengedepankan pertumbuhan berbasis industri sering kali mengabaikan kontribusi penting ini.
Di akhir paparannya, Ruth mengajak semua pihak untuk ikut bersedia memikirkan nasib komunitas-komunitas subsisten yang telah menjadi korban akumulasi primitif. Ia juga mendorong kesediaan semua pihak untuk tak enggan mengambil inspirasi dari mereka yang sedikit banyak telah mampu melakukan resistensi terhadap brutalnya praktik akumulasi primitif.
ADVERTISEMENT
Salah satunya adalah dengan mengembangkan konsep tata-kelola ruang hidup yang lebih bersifat inklusif dan berkelanjutan, dengan cara mengedepankan konsep commoning. Melalui konsep tersebut, diharapkan bahwa orang akan semakin tergerak untuk membangun dan mengedepankan kepentingan bersama, dan bukan hanya melulu kepentingan pribadi.
Forum Praksis ke-7 menjadi ruang diskusi bagi berbagai pihak untuk menggali lebih dalam strategi mempertahankan hak-hak komunitas agraris. Dengan semakin banyaknya perempuan yang terlibat dalam perjuangan ini, diharapkan konsep ketahanan pangan berbasis komunitas dapat terus berkembang sebagai solusi atas eksploitasi sumber daya alam yang semakin masif.