Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten Media Partner
Forum PRAKSIS ke-8 Bahas Topik 'Dari Reformasi ke Rekonsolidasi Militer'
27 April 2025 17:19 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Pada Jumat, 25 April 2025 di Jakarta, PRAKSIS (Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus) menyelenggarakan Forum PRAKSIS Seri ke-8 dengan tema “Dari Reformasi ke Rekonsolidasi Militer: Apakah Kita Sedang Mundur?”. Narasumber dalam forum ini adalah Nicky Fahrizal, peneliti Hukum dan Keamanan di Departemen Politik dan Perubahan Sosial, Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
ADVERTISEMENT
Di awal paparannya, Nicky membedakan dua konsep penting: militerisasi dan militerisme.
Menurutnya, "Militerisasi adalah sebuah ideologi yang mengagung-agungkan peran militer dan kekuatan bersenjata," sementara "militerisme adalah proses institusional atau kebijakan nyata yang memperluas peran militer dalam ruang sipil."
Ia menegaskan, bentuk militerisasi adalah nilai atau keyakinan, sedangkan militerisme mewujud dalam praktik dan kebijakan struktural. Militerisasi bertujuan menciptakan dominasi simbolik militer dalam kehidupan bernegara, sementara militerisme berfokus pada efisiensi, kontrol keamanan, dan integrasi fungsi militer ke dalam urusan sipil.
Nicky menjelaskan, aktor di balik militerisasi biasanya adalah elite politik, kelompok masyarakat pro-militer, atau media yang mendukung peran militer. Sebaliknya, militerisme lebih banyak dijalankan oleh pemerintah, personel militer, serta para penyusun kebijakan.
"Mereka yang terlibat dalam militerisme seringkali melakukannya dengan dalih efisiensi dan stabilitas," ujar Nicky.
ADVERTISEMENT
Dampaknya pun berbeda. Militerisasi mendorong pemusatan kekuasaan dan membenarkan represi atas nama stabilitas, sementara militerisme mengaburkan batas sipil-militer dan melemahkan supremasi sipil.
"Militerisasi dan militerisme sama-sama membahayakan demokrasi, tapi dalam bentuk yang berbeda," kata Nicky.
Mengacu pada pemikiran Shang Yang (2021), Nicky mengungkapkan bahwa militerisasi lahir dari pandangan negara sebagai proyek rasional. "Negara kuat dipandang sebagai hasil rekayasa historis, bukan warisan suci," paparnya.
Menurutnya, cara pandang ini mendorong lahirnya otoritarianisme halus, yaitu struktur kekuasaan yang hirarkis, terpusat, dan otoritatif. Dalam model ini, partisipasi publik dikorbankan, hak-hak sipil tersisihkan, dan stabilitas diprioritaskan di atas akuntabilitas.
Dalam struktur kekuasaan seperti itu, ada risiko pembalikan konfigurasi kekuasaan: supremasi sipil melemah, sementara supremasi militer menguat. "Jika ini dibiarkan, klaim militer atas peran-peran sipil akan makin sulit dibendung," tegas Nicky.
Lebih jauh, Nicky mengamati tren struktural militerisasi yang semakin kuat dalam kehidupan publik belakangan ini. Ia menyoroti normalisasi kehadiran militer dalam tata kelola sipil dan meningkatnya keterlibatan personel militer dalam fungsi non-pertahanan.
"Pembinaan teritorial di daerah-daerah tertentu sudah tidak lagi semata-mata untuk pertahanan, melainkan menyasar aspek-aspek sipil," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Nicky, jika tren ini terus dibiarkan, akan terjadi normalisasi kedaruratan. Hal ini membuka jalan bagi perluasan kewenangan eksekutif berbasis kekuatan militer tanpa akuntabilitas.
"Kita akan menghadapi situasi di mana tindakan-tindakan ekstra-yuridis makin lumrah, norma hukum menjadi kabur, dan negara hukum demokratis melemah," kata dia.
Di akhir forum, Nicky menekankan pentingnya peran aktif masyarakat sipil. Ia mengajak publik untuk mengawasi ekspansi kekuasaan, menjaga supremasi sipil, dan mencegah pemusatan kekuasaan melalui kanal-kanal hukum.
"Kalau masyarakat sipil diam, sejarah bisa berulang. Demokrasi yang kita perjuangkan sejak Reformasi bisa runtuh tanpa terasa," pungkas Nicky.