Konten Media Partner

Gepeng Protes ke Dinsos DIY: Pengamen Ukulele Ditangkap, yang Pakai Sound Tidak

30 April 2025 12:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pertemuan para gepeng dengan Dinsos DIY, Selasa (29/4). Foto: Resti Damayanti/Pandangan Jogja
zoom-in-whitePerbesar
Pertemuan para gepeng dengan Dinsos DIY, Selasa (29/4). Foto: Resti Damayanti/Pandangan Jogja
ADVERTISEMENT
Sebanyak 16 gelandangan dan pengemis (gepeng) mendatangi Kantor Dinas Sosial (Dinsos) DIY pada Selasa (29/4) pagi. Mereka mempersoalkan pelaksanaan Perda DIY Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gepeng yang dianggap tidak adil dan tidak memberi jalan keluar jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Koordinator Persatuan Komunitas Eben-Ezer, Petrus Alexander Yamlean, yang mendampingi para gepeng mengatakan, para gepeng yang hadir merupakan kelompok yang kerap terkena razia dan keluar-masuk rumah rehabilitasi. Mereka bekerja sebagai manusia silver dan pengamen ukulele, khususnya di Kota Yogyakarta.
Koordinator Persatuan Komunitas Eben-Ezer, Petrus Alexander Yamlean. Foto: Resti Damayanti/Pandangan Jogja
Ada dua persoalan utama yang disampaikan: perlakuan razia yang berbeda dan fasilitas rehabilitasi yang dinilai tidak memadai.
“Penerapan Perda diskriminatif, hanya memberikan ruang untuk pengamen angklung, sound (akustik). Selama ini ketika mereka dirazia, mereka ditangkap (pengamen menggunakan ukulele), lalu pengamen lainnya yang musik itu tidak pernah ditangkap,” ujar Petrus.
Petrus juga menyebut rumah rehabilitasi tidak menyediakan pelatihan keterampilan. Para gepeng hanya diberi makan dan minum, lalu dilepas kembali ke jalan.
“Teman-teman ketika direhabilitasi itu hanya di camp assessment, dikasih makan, dilepas. Besok ditangkap lagi, dibawa lagi, dikasih makan, dilepas, tidak ada program pelatihan yang terampil di camp assessment,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Respons Dinsos dan Satpol PP
Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinsos DIY, Budhi Wibowo (kanan). Foto: Resti Damayanti/Pandangan Jogja
Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinsos DIY, Budhi Wibowo, mengakui belum optimalnya koordinasi dengan instansi lain, seperti dinas tenaga kerja, untuk menyediakan pelatihan keterampilan.
“Kalau seandainya di situ ada keterampilan bengkel, titik tembaknya bukan mereka bisa bengkel, tapi itu alat untuk rehabilitasi, mengubah perilaku,” kata Budhi.
Ia menambahkan bahwa keterbatasan anggaran dan tenaga pelatih menjadi kendala. Beberapa pelatihan sempat berjalan berkat instruktur sukarela, namun terhenti karena alasan finansial.
“Masing-masing punya penekanan sendiri-sendiri. Kalau di camp assessment cuma dikasih makan, minum, pagi untuk olahraga, bimbingan agama, kemasyarakatan—ya itu yang kita lakukan,” ujar Budhi.
Kepala Satpol PP Kota Yogya, Octo Noor Arafat. Foto: Resti Damayanti/Pandangan Jogja
Kepala Satpol PP Kota Yogyakarta, Octo Noor Arafat, menjelaskan razia dilakukan berdasarkan aduan masyarakat yang merasa terganggu. Tindakan tersebut mengacu pada Perda DIY Nomor 1 Tahun 2014.
ADVERTISEMENT
“Selama ini yang kita razia adalah dalam rangka menangani aduan dari berbagai pihak dan sifatnya mengganggu,” kata Octo.
Ia menambahkan bahwa Satpol PP Kota hanya menangani sampai pada tahap non-yustisi dan tetap mengikuti arahan Satpol PP DIY.
Pasal 5 Perda tersebut memuat empat kriteria gelandangan: tidak memiliki KTP, tidak punya tempat tinggal tetap, tidak berpenghasilan tetap, dan tidak memiliki rencana hidup. Sementara pasal 6 mendefinisikan pengemis sebagai orang yang menggantungkan hidup dari belas kasih, berpakaian compang-camping, berada di ruang publik, dan/atau memperalat orang lain untuk meminta-minta.
“Kami mengikuti arahan Satpol PP DIY terkait penanganan yang dimaksud dan untuk saat ini fokus pada kegiatan yang mengganggu ketertiban umum serta menindaklanjuti pengaduan masyarakat,” tutup Octo.
ADVERTISEMENT