Guru Besar Hidrologi UGM: Banjir Jakarta Hanya Matematika Sederhana

Konten dari Pengguna
5 Januari 2020 8:06 WIB
comment
46
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Guru Besar Hidrologi Fakultas Teknik UGM, Profesor Joko Sujono. Foto : Dok. UGM
zoom-in-whitePerbesar
Guru Besar Hidrologi Fakultas Teknik UGM, Profesor Joko Sujono. Foto : Dok. UGM
ADVERTISEMENT
Banjir yang terjadi di Jakarta awal tahun 2020 ini musti dilihat melalui dua peristiwa, yakni, banjir yang diakibatkan oleh hujan lokal yang tidak mampu diserap oleh tanah maupun dialirkan ke sungai-sungai di Jakarta dan banjir kiriman dari Bogor. Dengan memilah masing-masing masalah maka akan jelas apa yang sesungguhnya terjadi di Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Jadi sebenarnya ini matematika sederhana saja. Jangan diperumit, malah membingungkan rakyat,” kata Guru Besar Hidrologi Fakultas Teknik UGM, Joko Sujono, saat menjawab wawancara di Yogyakarta, kemarin.
Hujan ekstrem yang terjadi di Jakarta pada Rabu (1/1) lalu, menurut laporan BMKG, tertinggi mencapai 377 milimeter per hari yang terekam di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Di TMII mencapai 335,2 mm, Jatiasih 259,6 mm, dan di semua tempat rata-rata di atas 200 mm per hari.
“Nah kalau angka rata-rata 200 bahkan lebih dari 300 mm itu besar sekali. Luas Jakarta 600 km2, kalikan saja 0,3 meter berarti ada berapa juta meter kubik air, nah lari kemana airnya kan di Jakarta ruang terbuka hijau tinggal sedikit sekali,” papar Joko.
ADVERTISEMENT
Tiap 1 km2 sama dengan 1 juta m2. Luas Jakarta 600 km2 sama dengan 600 juta m2 dan dikalikan 0,3 m2 curah hujan hasilnya adalah 180 juta meter kubik air menghantam tanah Jakarta pada 1 Januari lalu.
Ruang terbuka hijau di Jakarta saat ini tinggal tersisa 9,9 persen artinya 90 persen air hujan tidak bisa terserap tanah dan akan langsung mengalir ke tempat-tempat rendah yang menghasilkan banjir di 300-an titik di Jakarta yang menewaskan 30-an orang dan lebih dari 30 ribu jiwa mengungsi.
“Dan tanah di Jakarta itu lihat, kemampuan meresapkan airnya kecil,” terang Joko.
Di luar kondisi hujan ekstrem pada awal tahun ini, curah hujan di Jakarta pada tahun-tahun normal yakni sekitar 3500-4000 mm per tahun, menurut Joko sudah lebih besar 2 kali lipat dari Yogya. Padahal, tanah di Jakarta didominasi tanah liat yang kemampuan meresapkan airnya sangat kecil jika dibandingkan dengan Yogya yang tanahnya berupa tanah berpasir. Hal itu masih ditambah dengan masalah ruang terbuka hijau Jakarta yang sangat kecil jika dibandingkan dengan Yogya dan kota-kota lain di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Topografi Jakarta juga relatif datar dan rendah sehingga kecepatan aliran dari lahan terbuka ke sungai relatif kecil sehingga seluruh wilayah di Jakarta sesungguhnya sangat mudah tergenang.
“Itu semua belum ditambah dengan 13 sungai yang melewati Jakarta yang membawa air dari Bogor, Puncak, Cianjur. Tapi tanpa menghitung limpahan dari Bopunjur, dengan curah hujan tinggi ya pasti banjir lokal sudah terjadi,” jelas Joko.
Jika mengkalkulasi tambahan debit air dari aliran Ciliwung saja, dengan volume total Kali Ciliwung dari pintu air Katulampa hingga hulu yang diperkirakan sebesar 400 km2, dengan curah hujan 200 mm per hari saja maka akan ada tambahan limpahan sebesar 80 juta m kubik air.
“Tapi ingat butuh waktu 13 jam air dari hulu Ciliwung memasuki Jakarta. Dan kalau banjir kiriman yang terdampak ya sekitar Ciliwung saja, seperti Kampung Melayu dan sekitarnya itu. Nah banjir awal tahun ini kan skalanya lebih luas lagi,” jelas Joko Sujono yang mendapat gelar Guru Besar pada 2015 ini.
ADVERTISEMENT
Menurut Joko, untuk menangani banjir Jakarta, mau tidak mau, harus membenahi tata ruang di Jakarta dan juga di hulu. Semua harus dilakukan secara integral dan bekerja sama. Mau langkah apa pun yang diambil, normalisasi atau naturalisasi, yang jelas air hujan di Jakarta harus dikendalikan. (ES Putra / YK-1)