Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Haedar Nashir Terima Anugerah HB IX 2024, Sampaikan Orasi di Keraton Yogya
20 Desember 2024 13:41 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Penerima Anugerah Hamengku Buwono IX 2024 sekaligus Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyampaikan orasi bertajuk ‘Transformasi Mentalitas dan Kebudayaan Indonesia’.
ADVERTISEMENT
Orasi tersebut disampaikan di Bangsal Sri Manganti Keraton Yogyakarta, Kamis (19/12) malam, dihadiri oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Wakil Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam X, dan sejumlah pimpinan serta alumni UGM.
Sebelum Haedar menyampaikan orasi, Sultan HB X dalam sambutannya menyampaikan ucapan selamat kepada Haedar Nashir sebagai penerima anugerah Hamengku Buwono IX.
“Saya menyambut baik disertai ucapan selamat, apresiasi yang tinggi atas diberikannya anugerah Hamengku Buwono IX kepada Prof. KH. Haedar Nashir,” kata Sultan HB X dalam sambutannya, Kamis (19/12).
Kritik Sosial dan Budaya
Haedar memulai orasinya dengan menyinggung kelemahan budaya yang perlu diperbaiki oleh masyarakat Indonesia. Ia mengutip Koentjaraningrat yang mengidentifikasi rendahnya etos kerja masyarakat Indonesia, termasuk minimnya disiplin dan semangat inovasi.
ADVERTISEMENT
“Kita harus introspeksi, mengapa budaya kerja keras, disiplin, dan inovasi belum menjadi karakter bangsa ini,” ujar Haedar.
Selain itu, Haedar juga mengkritisi pragmatisme berlebihan dalam masyarakat yang hanya berorientasi pada hasil instan. Ia mencatat adanya fenomena cultural lag atau keterlambatan budaya, yang membuat masyarakat sulit beradaptasi dengan perubahan zaman.
Haedar juga mengutip Mochtar Lubis, yang dalam bukunya menguraikan sifat-sifat negatif manusia Indonesia, seperti mentalitas feodal dan kurang bertanggung jawab terhadap masa depan bersama.
Menurut Haedar, kritik ini penting untuk membangun kesadaran kolektif dan mendorong masyarakat untuk memperbaiki kelemahan tersebut.
“Budaya adalah kunci transformasi bangsa. Jika budaya kita tidak maju, sulit bagi kita untuk bersaing di kancah global,” tegasnya.
Sifat Dasar Manusia yang Baik
ADVERTISEMENT
Dalam orasinya, Haedar memberikan pandangan optimistis tentang sifat dasar manusia. Ia mengutip buku Human Kind karya Rutger Bregman, yang menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk baik.
“Manusia secara alami memiliki kecenderungan untuk bekerja sama, saling menolong, dan berbuat baik. Pesimisme bahwa manusia cenderung egois atau destruktif harus dilawan,” ujar Haedar, merujuk pada argumen dalam buku tersebut.
Namun, Haedar menekankan bahwa sistem sosial yang buruk dapat merusak sifat dasar manusia yang baik ini. Oleh karena itu, ia menyerukan perlunya membangun lingkungan sosial yang mendukung kebajikan dan solidaritas.
“Agama dan spiritualitas memiliki peran penting dalam mengarahkan sifat dasar manusia menuju kebaikan yang lebih besar,” tambahnya.
Kepemimpinan Visioner dan Revolusioner
Haedar juga menyinggung pentingnya kepemimpinan visioner yang mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat. Ia mengangkat teladan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pemimpin yang visioner, rendah hati, dan mengutamakan kepentingan rakyat.
ADVERTISEMENT
“Sultan Hamengku Buwono IX adalah contoh nyata pemimpin yang tidak hanya memikirkan istananya, tetapi juga rakyatnya,” kata Haedar.
Pemimpin visioner, menurut Haedar, harus memiliki visi jangka panjang, mampu memahami realitas sosial-budaya, dan melibatkan masyarakat dalam proses transformasi. Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mencapai kemajuan bersama.
“Kepemimpinan yang baik bukan hanya soal kekuasaan, tetapi soal melayani dan memajukan masyarakat,” ujar Haedar.
Keseluruhan Gagasan Orasi
Dalam keseluruhan orasinya, Haedar berhasil menghubungkan kritik sosial-budaya, sifat dasar manusia, dan kepemimpinan visioner ke dalam satu kerangka besar tentang transformasi bangsa. Ia mengingatkan bahwa perubahan tidak bisa terjadi tanpa introspeksi dan tindakan kolektif.
Dengan mengutip berbagai tokoh dan literatur, seperti Koentjaraningrat, Mochtar Lubis, dan Rutger Bregman, Haedar menunjukkan kedalaman refleksi intelektualnya. Ia juga memberikan solusi yang konkret, seperti membangun sistem sosial yang baik, memperkuat budaya kerja, dan melahirkan pemimpin yang inklusif dan revolusioner.
ADVERTISEMENT
Orasi ini menjadi pengingat penting bahwa membangun bangsa tidak hanya membutuhkan inovasi teknologi, tetapi juga penguatan nilai-nilai budaya, spiritualitas, dan kepemimpinan yang berorientasi pada masa depan.
“Budaya, manusia, dan pemimpin adalah tiga pilar utama yang akan menentukan arah bangsa kita ke depan,” pungkas Haedar.
Tokoh-tokoh yang Disebut dalam Orasinya
Dalam orasi tersebut, Haedar Nashir mengutip pernyataan atau karya dari beberapa tokoh, yaitu: Syeikh Ahmad Syauqi, Romo Magnis Suseno, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Emanuel Kant, Koentjaraningrat, Mochtar Lubis, William Ogburn, Francis Fukuyama, Peter L. Berger, Ranggawarsito, Buya Syafii Maarif, dan Rutger Bregman.