Hakim Agung Tersangka KPK, PUKAT UGM: Tanda Jual-Beli Perkara Masih Subur di MA

Konten Media Partner
23 September 2022 13:13 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hakim Agung Sudrajad Dimyati. Foto: Antara
zoom-in-whitePerbesar
Hakim Agung Sudrajad Dimyati. Foto: Antara
ADVERTISEMENT
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menetapkan sejumlah tersangka terkait kasus suap pengurusan perkara, salah satu di antaranya adalah Hakim Agung di Mahkamah Agung (MA), Sudrajad Dimyati. KPK menyebut, Sudrajat menerima suap senilai Rp 800 juta dalam rangka pengurusan perkara di MA.
ADVERTISEMENT
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, mengatakan bahwa kasus suap yang melibatkan Hakim Agung dan sejumlah tersangka lain menunjukkan bahwa pembaruan di institusi peradilan masih belum menyentuh aspek dasar, yakni perubahan budaya. Meski ada perbaikan dalam peningkatan kualitas layanan dan sarana prasarana, namun kebiasaan jual-beli perkara di lingkungan MA ternyata masih tumbuh subur.
“Ada satu kebiasaan buruk yaitu jual-beli perkara tampaknya masih belum bisa bersih dari institusi Mahkamah Agung,” kata Zaenur Rohman saat dihubungi Pandangan Jogja @Kumparan, Jumat (23/9).
Ketua KPK Firli Bahuri menunjukkan barang bukti terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) pegawai Mahkamah Agung di Gedung KPK RI, Jakarta, Jumat (22/9/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Sebelumnya, praktik jual-beli perkara di lingkungan MA memang sudah menjadi rahasia umum. Hal ini ditandai dengan adanya sederet nama hakim yang juga telah ditangkap oleh KPK, baik di tingkat pertama maupun banding. Ditangkapnya Hakim Agung Sudrajad Dimyati menurut Zaenur Rohman telah membuat wajah MA semakin buruk.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, pembaruan MA tak cukup sekadar meningkatkan kualitas layanan dan sarana prasarana saja, tapi juga harus menyentuh aspek yang lebih mendasar, yakni perubahan perilaku dan cara berpikir.
“Harus ada yang bertanggung jawab atas kejadian ini. Jika seorang hakim terbukti melakukan tindak pidana korupsi, seharusnya tidak hanya yang bersangkutan saja yang diberikan sanksi, tapi juga atasannya yaitu dalam bentuk pengunduran diri,” jelasnya.
Yang semakin mengkhawatirkan, bisa jadi kasus ini adalah fenomena gunung es di dalam tubuh MA. Karena itu, MA menurut dia perlu menyikapi persoalan ini dengan serius, tidak hanya melihatnya sebagai masalah kasuistik tapi harus melihatnya secara sistematis.
MA harus bisa menemukan di mana lubang-lubang yang menimbulkan kebocoran sehingga praktik suap masih saja bisa dilakukan di dalam internal MA padahal sudah ada banyak sekali program pembaruan, termasuk penerapan sistem manajemen antipenyuapan.
ADVERTISEMENT
“Harus ada evaluasi mendalam, menyeluruh, dan harus ada perubahan besar-besaran di internal Mahkamah Agung apabila badan peradilan masih ingin dihormati, dihargai, dan dipercayai oleh masyarakat,” ujarnya.
Peneliti PUKAT UGM, Zaenur Rohman. Foto: Istimewa
Risiko terbesar dari suburnya praktik korupsi di tubuh peradilan menurut Zaenur adalah semakin hilangnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi peradilan. Hal ini akan mengakibatkan masyarakat mencari dan menggunakan cara-cara di luar hukum dalam menyelesaikan setiap permasalahan di sekitarnya.
“Bahkan memakai cara-cara melawan hukum ketika menghadapi permasalahan, seperti semakin banyaknya main hakim sendiri. Itulah dampak yang paling mengerikan dari merebaknya kasus suap di institusi peradilan,” kata Zaenur Rohman.