Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Hardjuno: Kasus Sukena di Bali Wajah Timpangnya Penegakan Hukum Lingkungan
11 September 2024 20:25 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Ahli hukum Hardjuno Wiwoho menyoroti ketidakadilan dalam penegakan hukum yang dialami oleh I Nyoman Sukena, seorang warga Bali yang terancam lima tahun penjara karena memelihara landak Jawa, sebuah spesies yang dilindungi.
ADVERTISEMENT
"Apa yang terjadi pada Sukena menunjukkan kurangnya proporsionalitas dalam penerapan hukum. Seharusnya yang ditekankan adalah prinsip keadilan, bukan hanya hitam putih aturan yang tertulis dalam undang-undang," ujar kandidat doktor di bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga (Unair) dalam rilis pers, Rabu (11/9).
Menurut Hardjuno, kasus ini juga menjadi catatan penting bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta pihak konservasi terkait sosialisasi aturan tentang satwa yang dilindungi.
"Seharusnya sosialisasi kepada masyarakat diperkuat, agar masyarakat tahu bahwa ada peraturan tentang memelihara satwa yang dikategorikan langka. Tanpa sosialisasi yang memadai, wajar jika masyarakat awam tidak mengetahui aturan ini," jelasnya.
Kasus Sukena disidang di Pengadilan Negeri Denpasar setelah ia ditangkap oleh Ditreskrimsus Polda Bali pada 4 Maret 2024 karena memelihara empat ekor landak Jawa (Hystrix javanica), yang merupakan spesies satwa dilindungi.
ADVERTISEMENT
Sukena, warga Desa Bongkasa Pertiwi, Badung, Bali, didakwa melanggar Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ia terancam hukuman penjara lima tahun dan denda sebesar Rp 100 juta. Satwa tersebut didapatkan Sukena dari mertuanya tanpa mengetahui bahwa memelihara hewan itu melanggar hukum.
Setelah video Sukena yang menangis histeris di pengadilan viral di media sosial, netizen ramai-ramai menunjukkan dukungan untuknya. Mereka mengunggah tagar #KamiBersamaSukena dan menyatakan bahwa hukuman yang dihadapi Sukena tidak sebanding dengan tindakannya, mengingat ia tidak memiliki niat jahat. Banyak netizen membandingkan kasus ini dengan pelanggaran serupa oleh pejabat yang tidak mendapatkan hukuman setimpal, sehingga semakin memicu simpati publik terhadap Sukena.
ADVERTISEMENT
Hardjuno menekankan bahwa asas **ultimum remedium**—di mana hukuman pidana adalah upaya terakhir—seharusnya diterapkan dalam kasus ini.
"Pidana jangan menjadi jalan pertama dalam setiap kasus. Penjara kita akan penuh jika setiap pelanggaran kecil langsung dihukum pidana. Pidana seharusnya menjadi opsi terakhir," tegas Hardjuno.
Ia juga menambahkan bahwa dalam banyak kasus pidana lingkungan, pendekatan sanksi administratif lebih ditekankan untuk pencegahan dan pemulihan. "Pidana tidak memperbaiki lingkungan, tetapi berfungsi untuk memberikan efek jera. Yang lebih penting adalah pemulihan dan pencegahan kerusakan," tambahnya.
Kasus Sukena mencerminkan masalah yang lebih luas dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia, di mana kasus-kasus besar yang melibatkan kerusakan lingkungan akibat tambang sering kali tidak diproses dengan cepat dan tegas.
ADVERTISEMENT
Misalnya, banyak kasus kerusakan alam akibat tambang batu bara di Kalimantan Timur yang merusak ekosistem, mencemari sumber air, dan menimbulkan bencana lingkungan. Hingga kini, masih banyak kasus serupa yang belum diproses secara hukum, meskipun dampak kerusakannya sudah sangat jelas.
Hardjuno mengingatkan bahwa hukum harus digunakan dengan bijak dan adil, serta mempertimbangkan dampak dari setiap keputusan hukum terhadap masyarakat dan lingkungan.
"Penegakan hukum tidak boleh hanya tegas terhadap kasus kecil dan lemah terhadap kasus besar. Keadilan harus ditegakkan di semua lini, baik itu pada kasus satwa langka maupun kerusakan lingkungan besar yang masih belum terselesaikan," pungkas Hardjuno.