Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Harga Susu Segar yang Rendah Picu Daurat Persusuan Nasional
26 Maret 2021 13:58 WIB
ADVERTISEMENT
Indonesia mengalami darurat persusuan nasional. Rendahnya harga jual susu segar dituding menjadi sebab utama rendahnya produksi Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) sehingga kebutuhan susu nasional sebagian besar disuplai dari impor.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data BPS pada 2019, meski kebutuhan susu Indonesia baru di angka 4,33 juta ton pada tahun 2019, tapi ternyata produksi Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) hanya mampu menyuplai 22 persen. Sedangkan 78 persen sisanya, disuplai dari susu impor.
Populasi sapi perah juga masih sangat rendah, hanya sebanyak 561.061 ekor pada 2019, dengan rerata kepemilikan tiap peternak sekitar tiga sampai lima ekor. Sementara produk susu segar yang dihasilkan hanya sebesar 996.442 ton dalam setahun.
Dekan Fakultas Peternakan IPB, Idat Galih Permana, mengatakan bahwa rendahnya harga susu segar menyebabkan sedikit orang saja yang berminat menjadi peternak susu perah. Sehingga sampai sekarang, sangat sedikit peternakan sapi perah berskala industri yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Hal ini menunjukkan bahwa iklim investasi di persusuan belum begitu menarik bagi para investor. Sebagian besar produksi susu nasional masih didominasi oleh para peternak kecil yang tergabung ke dalam koperasi,” kata Idat Galih Permana dalam diskusi daring yang diadakan oleh Fakultas Peternakan IPB, Rabu (24/3).
Tingkat konsumsi susu masyarakat juga masih rendah, hanya berkisar 16,23 kg/kapita/tahun. Jumlah ini masih jauh dibandingkan dengan konsumsi susu di negara-negara Asia Tenggara, dimana Brunei Darussalam sudah mencapai 129,1 liter, Malaysia 50,9 liter, Singapura 46,1 liter, bahkan lebih rendah dari Vietnam yang konsumsi susunya mencapai 20,1 liter/kapita/tahun.
Dalam dua dekade terakhir, produksi SSDN memang cenderung stagnan, tak ada perkembangan yang signifikan. Selama pandemi setahun terakhir, sebenarnya harga susu mengalami sedikit kenaikan karena adanya peningkatan konsumsi susu oleh masyarakat. Untuk alasan kesehatan, mulai banyak yang menyediakan susu di rumahnya.
ADVERTISEMENT
Adanya sedikit kenaikan harga itu membuat para peternak yang tadinya vakum, mulai mengisi lagi kandangnya dengan sapi perah.
“Hal ini menunjukkan bahwa memang insentif harga memang sangat penting bagi para peternak sehingga menumbuhkan gairah untuk kembali menekuni usaha sapi perah ini,” ujarnya.
Lambannya Perkembangan Peternakan Sapi Perah Nasional
Ketua Dewan Peternak Rakyat Nasional, Teguh Budiyana mengakatan bahwa perkembangan peternakan sapi di Indonesia sangat lamban, bahkan dari ilmu pengetahuannya. Menurutnya, dalam setengah abad terakhir, pola pikir peternakan sapi perah di perguruan tinggi masih berdasarkan pada peternakan kecil.
“Peternakan sapi perah rakyat yang dua atau empat ekor sebagai usaha tani, itu selalu menjadi pembuka. 50 tahun,” kata Teguh Budiyana.
Hal itu menurut dia membuat perkembangan peternakan sapi perah nasional sangat lambat, bahkan cenderung stagnan. Masalah lain adalah, sudah 40-an tahun peternakan sapi perah rakyat menjadi pemasok susu segar sebagai bahan baku industri pengolahan susu, sampai hari ini.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, peternakan sapi perah rakyat tidak mendapatkan nilai tambah. 40 tahun menurut dia merupakan waktu yang sangat lama, mestinya peternak sapi perah sudah bisa memproduksi susu segarnya sendiri menjadi berbagai macam produk olahan sehingga bisa mendapatkan nilai tambah.
“Kita bicara hilirisasi, tapi yang namanya nilai tambah itu tidak diperoleh,” lanjutnya.
Wadah koperasi susu yang sempat mencapai angka 235 koperasi, saat ini menurut dia juga tinggal hanya 55 unit. Alih-alih menunjukkan peningkatan namun malah menurun drastis.
Populasi sapi yang ada sekarang berdasarkan BPS, menurut dia juga masih lebih baik ketimbang kenyataan yang ada di lapangan. Pasalnya, angka populasi sapi perah yang tercatat masih mencantumkan sapi betina maupun sapi jantan yang notabene tidak menghasilkan susu.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, sapi jantan mestinya tidak dimasukkan ke dalam sapi perah, melainkan sapi potong. Sehingga data yang dihasilkan bisa lebih riil sesuai yang ada di lapangan. Jika hal itu dilakukan, menurut dia sapi perah laktasi yang ada di Indonesia jauh di bawah data dari BPS.
“Karena di dalam 600 ribu tadi sapi perah jantannya kira-kira 200 ribu, yang notabene adalah sapi potong,” ujarnya.
Politik Anggaran Tidak Berpihak
Teguh Budiyana mengatakan bahwa selama ini komitmen pemerintah untuk perkembangan sapi perah sangat kecil. Dia membandingkan politik anggaran yang digunakan untuk mengembangkan sapi perah dan sapi potong oleh pemerintah.
Untuk mewujudkan swasembada daging sapi, sejak 2005 sampai 2014 sudah menghabiskan anggaran sedikitnya Rp 18 triliun. Sedangkan periode berikutnya, pemerintah mengeluarkan anggaran sekitar Rp 5 triliun untuk program swasembada daging sapi.
ADVERTISEMENT
“Hampir 22 sampai 23 triliun Rupiah. Maaf, dan itu gagal total, tidak swasembada. Karena hari ini kita masih mengimpor daging sapi dan kerbau itu 250 ribu ton,” ujar Teguh Budiyana.
Peternakan sapi perah sebenarnya sempat bergeliat ketika pada 1978, Bustanil Arifin yang kala itu menjabat sebagai Menteri Koperasi berhasil menekan Industri Pengolahan Susu (IPS) untuk menaikkan harga susu segar dari Rp 60 menjadi Rp 150. Kebijakan itu kemudian diikuti oleh kebijakan pendukung lain seperti kredit sapi perah, impor sapi perah, dan sebagainya sehingga menciptakan iklim yang sangat kondusif bagi sapi perah rakyat.
Hasilnya, pada 1995 susu segar dalam negeri mampu memasok 50 persen kebutuhan nasional. Namun setelah kebijakan itu dicabut pada 1998 dan tak ada lagi kebijakan serupa sampai saat ini, produksi susu dalam negeri merosot drastis.
ADVERTISEMENT
“APBN terletak banyak di Kementerian Pertanian, silakan cek berapa yang dialokasikan untuk pengembangan sapi perah. Enggak ada,” kata Teguh Budiyana. (Widi Erha Pradana / YK-1)