Hari Hutan Sedunia 21 Maret, Restorasi Hutan Utopia Belaka?

Konten Media Partner
22 Maret 2021 15:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ILustrasi hutan. Foto: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
ILustrasi hutan. Foto: Pexels
ADVERTISEMENT
Sejak 2012, setiap 21 Maret diperingati hari hutan sedunia. Hari hutan sedunia tahun ini, PBB mengangkat tema ‘Restorasi Hutan: Jalan Menuju Pemulihan dan Kesejahteraan’. Tapi, tema itu dinilai terlalu utopis untuk diwujudkan, bahkan terkesan hanya sebatas slogan belaka.
ADVERTISEMENT
Pakar Kehutanan UGM yang juga Direktur Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus Wanagama, Dwiko Budi Permadi, mengatakan bahwa sangat sulit menyelaraskan restorasi dengan kesejahteraan masyarakat. Pasalnya, ketika berbicara restorasi, artinya ekosistem hutan harus dikembalikan atau dipulihkan seperti sediakala.
“Itu agak susah mengkomproikan antara restorasi dengan kesejahteraan rakyat kalau dengan pengertian klasik. Dalam konteks kehutanan itu berat,” kata Dwiko Budi Permadi ketika dihubungi, Kamis (18/3).
Jika ingin melakukan restorasi hutan, menurutnya perlu ada kajian ilmiah yang mendalam untuk mengetahui seperti apa ekosistem awal hutan tersebut, atau mengacu pada kearifan lokal setempat.
Restorasi hutan juga sulit untuk berjalan beriringan dengan kesejahteraan rakyat, jika yang dimaksudkan adalah kesejahteraan dalam konteks materi misalnya dalam bentuk produk tangible seperti kayu dan sebagainya. Sebab, jika sumber daya hutan seperti kayu itu dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomis, maka kaidah restorasi tidak lagi terpenuhi.
ADVERTISEMENT
“Itu tidak akan tercapai, itu hanya utopis belaka,” ujarnya.
Namun jika kesejahteraan yang dimaksud adalah dalam bentuk intangible, misalnya seperti kebahagiaan masyarakat ketika melihat hutan yang pulih lagi, menikmati udara segar, pemandangan, air, atau jasa lingkungan, itu sangat mungkin untuk diwujudkan.
Yang jadi persoalan adalah, apakah masyarakat kita sudah sampai pada kesadaran di level tersebut? Jika memang benar-benar ingin melakukan restorasi, maka kesadaran itu harus ditanamkan lebih dulu melalui berbagai upaya edukasi kepada masyarakat, dan itu pekerjaan yang kompleks dan lama.
“Apakah itu hanya sekadar jargon, lebih keren restorasi daripada rehabilitasi, tidak tahu juga,” ujarnya.
Yang lebih mungkin untuk dilakukan menurut Dwiko adalah rehabilitasi hutan. Jika restorasi berarti memulihkan ekosistem hutan seperti semula, rehabilitasi berarti memulihkan eksosistem hutan tanpa harus mengacu pada ekosistem sediakala. Dengan begitu, masyarakat masih bisa memanfaatkan produk-produk hutan seperti kayu tentunya dengan takaran tertentu.
ADVERTISEMENT
Hari hutan sedunia sendiri menurut Dwiko selama ini baru sebatas acara seremonial setahun sekali. Hal itu tidak semuanya buruk. Seremonial ini bisa saja dimanfaatkan untuk mengkampanyekan lagi kesadaran masyarakat atas pentingnya hutan bagi kehidupan.
Dengan catatan, momentum itu jangan hanya berhenti di media sosial, karena masalah yang sebenarnya ada di lapangan dalam hal ini hutan. Untuk bisa bermanfaat menghasilkan air, energi, udara bersih, kayu, dan sebagainya, hutan harus ada pohonnya. Jika tidak ada pohon, maka tidak akan terbentuk ekosistem tersebut.
“Artinya, pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, ya harus betul-betul menjalankan tugasnya sebaik mungkin dalam menjalankan restorasi dan rehabilitasi,” kata Dwiko.
Hutan Rakyat Jadi Penyelamat Ekosistem DIY
Pelepasan burung di hutan Wanagama UGM. Foto: Humas UGM
Hutan di kawasan DIY menurut Dwiko Budi Permadi memiliki karakteristik yang cukup unik. Luas hutan tetap di Yogyakarta hanya seluas sekitar 19.000 hektar atau 7 persen dari luas provinsi DIY. Angka ini sangat kecil jika mengingat standar luas hutan minimal adalah 30 persen dari total luas provinsi. Tapi justru dengan hutan tetap yang kecil itu menurut Dwiko membuatnya dapat dikelola dengan baik.
ADVERTISEMENT
Keunikan hutan lain di DIY adalah, kawasan hutan rakyat yang jauh lebih besar, yakni lebih dari 86.000 hektar. Dengan tambahan hutan rakyat, luasan hutan DIY menjadi lebih dari 30 persen kawasan provinsi.
“Jadi hutan di DIY itu didominasi oleh community forestry atau hutan rakyat, dan itu yang menyelamatkan ekosistem Jogja,” kata Dwiko Budi Permadi.
Atas dasar itu, Dwiko berharap model hutan rakyat ini dimasukkan ke dalam bagian dari tutupan hutan yang dijadikan standar oleh pemerintah. Terlebih, hutan rakyat ini bisa diambil manfaat ekonominya oleh masyarakat karena bisa ditebang atau diambil kayunya dengan silvikultur tebang pilih.
“Tidak ada rakyat menebang habis hutannya, pasti memilih yang terbaik kemudian melakukan penanaman atau regenerasi setelah itu,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Dwiko mencontohkan bagaimana Wanagama dikelola menggunakan visi kehutanan sosial dan manajemen adaptif. Model pengelolaan tersebut dipilih setelah melihat bahwa Wanagama erupakan bagian dari ekosistem pedesaan yang hubungan antara manusia dan hutannya sangat erat.
Pendekatan tersebut menurutnya sangat berbeda drastis dibandingkan dengan pendekatan sebelumnya yang menganggap bahwa hutan merupakan sistem yang terpisah dari sekitarnya.
“Jadi Wanagama kita tempatkan sebagai ekosistem pedesaan yang harus dijaga sehingga bisa diambil manfaatnya,” ujarnya.
Awalnya, ekosistem hutan Wanagama telah rusak total pada tahun 1940 sampai 1960-an. Berbagai upaya pemulihan dilakukan, namun selalu menemui kegagalan. Kawasan tersebut sudah divonis tidak akan bisa pulih dalam waktu seratus tahun.
Tapi setelah tahun 1960-an, upaya pemulihan dilakukan secara berbeda, yakni dengan menanam pohon murbei sebagai tanaman pionir. Pohon murbei itu dapat dimanfaatkan oleh masyarat sebagai pakan ulat sutra, yang nilainya jauh lebih tinggi ketimbang kayunya. Dengan begitu, masyarakat tetap bisa mendapatkan manfaat ekonomi tanpa harus merusak ekosistem hutan.
ADVERTISEMENT
Manfaat lainnya adalah masyarakat bisa memanfaatkan ranting-ranting kering sebagai kayu bakar, memanfaatkan lahan hutan untuk menanam bahan pangan seperti kacang, padi, atau jagung, serta mencari pakan ternak karena sebagian besar masyarakat di sekitar hutan memiliki hewan ternak seperti kambing atau sapi.
“Itu manfaat langsung yang diperoleh masyarakat dari Wanagama,” ujarnya.
Setelah sukses dengan upaya pemulihan ekosistem hutan, Wanagama juga dijadikan sebagai tempat konservasi eksitu untuk jenis-jenis tanaman langka atau hampir punah seperti cendana dari NTT, eboni dari Sulawesi, serta jenis-jenis eukaliptus dari Indonesia bagian timur. Kawasan hutan juga dijadikan sebagai lokasi penelitian tanaman komersil seperti jenis-jenis akasia.
Hutan Produksi untuk Wisata
Sekelompok mahasiswa UGM sedang melakukan penelitian lapangan di Wanagama UGM. Foto: Humas UGM
Berdasarkan data Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) DIY, ada 76.472 keluarga di DIY yang tinggal di sekitar hutan, dan 18,38 persen dinyatakan sebagai keluarga miskin. Padahal, hutan sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk menunjang perekonomian masyarakat di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Kepala Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) DIY, Aji Sukmono Nurjaman, dalam sebuah diskusi daring yang diadakan oleh Institut Pertanian Intan bulan lalu mengatakan bahwa dibutuhkan inovasi pengelolaan hutan untuk mengoptimalkan manfaat ekonomi yang bisa dirasakan masyarakat.
Inovasi ini misalnya dilakukan oleh masyarakat di Mangunan, Bantul. Prosesnya sudah dimulai sejak 2013, saat itu masyarakat sudah memanfaatkan hutan pinus seluas 120 hektar untuk disadap getahnya.
“Ternyata aspek ekonomi, ekologi, maupun sosialnya tidak optimal,” ujar Aji Sukmono Nurjaman.
Pemerintah melalui Balai KPH kemudian melakukan pendampingan untuk mengembangkan sektor pariwisata di Mangunan. Masyarakat dibina untuk menjadi pelaksana operasional pengelolaan wisata.
Perlahan, dampak pengembangan pariwisata mulai dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan di Mangunan. Manfaat yang paling signifikan adalah keterserapan tenaga kerja, yang tadinya hanya 87 orang yang menyadap getah pinus, menjadi 656 orang yang terlibat dalam pengelolaan pariwisata.
ADVERTISEMENT
“Dari sisi penghasilan, sekarang masyarakat setempat paling tidak mendapatkan Rp 1,5 juta sampai Rp 3 juta perbulan, bisa lebih,” ujarnya.
Sebelumnya, dengan bekerja sebagai penyadap getah pinus, pendapatan masyarakat hanya di kisaran Rp 400 ribu sampai Rp 800 ribu saja. Selain itu, pendapatan koperasi masyarakat Mangunan juga mencapai angka yang fantastis, pada 2018 pendapatan koperasi mencapai angka Rp 6,78 miliar.
“Jadi jauh lebih besar daripada ketika hutan dimanfaatkan untuk diambil getah pinusnya,” lanjutnya.
Inovasi tersebut juga menumbuhkan usaha-usaha lain, yang semula hanya ada 65 sektor usaha, kini ada sekitar 450 usaha yang ditekuni oleh masyarakat di Mangunan.
Program inovasi ini menurut Aji Sukmono sangat mungkin untuk direplikasi di tempat lain. Pada 2019, inovasi ini juga sudah direplikasikan di kawasan hutan lain di bawah KPH Yogyakarta, misalnya di Nglipar dan Mulo Gunungkidul.
ADVERTISEMENT
“Pada 2017, inovasi ini telah dirujuk sebagai kebijakan nasional melalui PermenLHK No. 49 Tahun 2017 tentang Kerja Sama Pemanfaatan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)